Ya! Sekarang sudah tepat pukul 9 pagi, pasti sebentar lagi bel jam istirahat akan berbunyi.
Krriiinnnggggg… ‘Tuh ‘kan, let’s go kita ke kantin!
“Jajan apa kamu, Ray?” tanyaku pada Raymond.
“Biasalah, siomay Bu Wati. Enak sekaligus murah, hahaha!” jawab Raymond, “Eh, btw si Joey mana? Biasanya bareng kita… Gak jajan dia?”
“Hmm, iya ya, gak kelihatan dari tadi. Udah duluan ‘kali dia, lapar…” jawabku asal-asalan.
Aku, Raymond, dan Joey memang sudah bersahabat sejak kecil. Kami dijuluki “cowok tiga sepaket” di sekolah karena selalu bersama ke mana-mana. Namun, Joey sebenarnya cukup berbeda dariku dan Raymond. Dia mudah sekali marah dan sering tidak bisa mengontrol emosinya. Saat seseorang melakukan atau mengatakan sesuatu yang tidak dia sukai, dia bisa langsung emosi, berkata kasar, dan tak jarang terpancing untuk langsung berkelahi secara fisik. Kami sudah berulang kali berusaha menenangkan dan menasihatinya, tetapi yang didengarnya selalu hanya bertahan sesaat. Aku mengerti, kemungkinan besar penyebab emosinya yang meledak-ledak itu adalah karena ayahnya juga demikian dan dia pun sering diperlakukan kasar oleh ayahnya.
Nah, hari ini lagi-lagi ada yang aneh dengan Joey. Benar saja, semakin dekat kami dengan kantin, suara-suara teriakan dan kericuhan semakin jelas terdengar. Ada apa ini?
“Chris, Ray, cepat sini, Joey berantem lagi!!!”
Gawat! Pantas saja sejak tadi perasaanku tak enak saat memikirkan Joey yang tidak terlihat. Aku langsung meminta bantuan guru untuk melerai perkelahian, lalu bersama Ray aku mencoba untuk menenangkan Joey sambal mengajaknya mengobrol.
“Jo, lagi berantem sama papa loe? Dari pagi gak kelihatan, tiba-tiba jam istirahat udah ribut aja loe sama anak kelas sebelah…” tanya Ray.
“Hahaha, udah ketebak banget sih, ya…” ucap Joey. “Capek banget sih gue aslinya. Papa di rumah ribut terus. Gue udah gak tahan lagi ngeliat kelakuannya. Tadi pagi aja pas gue mau berangkat dia bilang gue mending gak usah pulang lagi sekalian, gara-gara dia ribut sama mama dan dia jadi katain gue anak sial sejak semalam. Eh, pagi ini si Brian bertingkah, ledekin muka gue. Udah gila ‘kali muka gue disuruh senyum-senyum padahal di rumah kayak gitu… Rasanya mending gue hajar lah mulutnya!”
“Ah, gitu toh ceritanya,” komentarku.
“Gue juga kepengen bisa sabar, bisa asik-asik aja sama orang-orang… Tapi panas dada gue kalo inget papa gue!” lanjutnya.
Kami diam saja mendengarkan luapan hati Joey, sambil menyodorkan minuman dingin kepadanya. Jam istirahat sudah selesai, tetapi guru memberi kami izin khusus untuk masuk kelas setelah situasi bersama Joey mereda.
“Eh, dulu loe ‘kan juga biang ribut, Chris? Gue masih inget ‘tuh, loe pernah dihukum berdiri di lapangan 2 jam pas panas-panas tengah hari gara-gara mukul mukanya si Bobby senior kita. Kapok deh si tukang bully itu sejak loe hajar, hahaha… Ngomong-ngomong, gimana caranya sih loe sekarang bisa sabar gini, Chris?”
Joey benar. Aku dulu juga sama dengan dirinya. Biang ribut. Masalahku pun mirip: keluarga yang berantakan, kakak yang jarang pulang karena sibuk mengedarkan narkoba di lingkungannya, dan orang tua yang tiap hari bertengkar hebat. Dan, Joey pun benar bahwa aku kini sudah berubah menjadi lebih sabar. Aku pun merasakannya, kini aku tak lagi terbakar dengan panas hati saat ada hal-hal yang tak sesuai dengan keinginanku. Pertanyaan penasaran Joey yang terkesan sambil lalu barusan membuatku sadar bahwa ini waktunya dia mendengar kisahku. Soal perubahanku dan alasan aku berubah. Jadilah, aku mengajak Raymond dan Joey untuk makan siang di rumahku sepulang sekolah hari itu, dan mereka setuju.
Di rumahku siang itu, kami saling bertukar cerita di meja makan. Sambil menikmati masakan Mbok Rumi yang sedap, aku langsung memanfaatkan kesempatan untuk memperkenalkan Yesus kepada Joey.
“Jo, loe tadi tanya kan di sekolah, kenapa gue bisa berubah sedrastis ini… Nih, gue ceritain… Bener banget, dulu gue pernah ada di posisi kayak loe. Gue panas melulu, sering berantem sama orang-orang, karena emang nahan kesel terus soal suasana di rumah. Kakak gue gak pernah pulang, orang tua gue saling nyalahin melulu. Pas kelas 1, gue sempet diajak Ray ikut ibadah Natal di gerejanya. Ray ngajak loe juga ‘kan tapi loenya gak mau. Gue udah males ikut sebenernya, tapi gue kasihan liat tampang si Ray yang memelas, hahaha… Mana dia bilang bakal ada hadiah Natal juga dibagiin, ya udah gue ikut lah…” aku memulai ceritaku.
“Anyway, gue akhirnya ikut juga karena kepingin dapet hadiahnya dan karena kasihan sama Ray. Konyol sih gue… jangan ditiru lah. Tapi kerennya, selama ibadah Natal itu, gue gak ngerti gimana, gue bisa enjoy nikmatin suasana yang adem dan damai. Gue jadi mengalami kasih Tuhan langsung untuk hidup gue, nyentuh hati gue. Jadi udah gak kepikiran sama sekali buat antre ambil hadiah Natal deh setelah ibadah itu. Yang ada, gue nangis sesenggukan ditemenin Ray dan kakak pembina di sana, ngelepasin rasa sakit dan panas di hati gue sejak lama. Gue baru sadar di ibadah itu, bahwa aslinya gue udah dapet kasih yang gak pernah tinggalin gue, dari Yesus. Yesus juga udah memberikan pengampunan dan hidup kekal buat gue. Sebelum itu, gue pikir gue sering marah karena gak bisa kontrol emosi doang, tapi ternyata gue punya dendam yang pahit banget urusan keluarga gue, dan kekecewaan ke temen-temen yang seringnya gak mau ngertiin cerita gue terus malah ninggalin gue. Tapi setelah gue tahu Yesus mengampuni gue dan mati disalib demi menebus gue jadi anak-Nya, gue jadi adem di hati. Malah, gue jadi kepengen orang tua dan kakak gue juga ngerasain kasih Yesus, dan gue jadi mengampuni temen-temen yang pernah ngecewain. Sejak itu, hati gue jauh lebih damai, lho! Gue inget ada kasih Yesus yang selalu tetap di hati gue, jadi gue gak kepingin marah-marah melulu bawaannya…” lanjutku di hadapan tatapan mata Joey yang tampak memperhatikan dengan penuh minat.
“Mungkin loe ngerasa gitu juga, Jo? Loe kayaknya bakal beda juga kalo udah ketemu kasih Yesus…” Ray menambahi.
“Mungkin loe belum berdamai sama papa loe di hati, Jo. Makanya loe bawa-bawa terus deh rasa panas itu. Oh iya, waktu loe mengampuni orang, belum tentu orang itu langsung berubah jadi baik. Di kasus gue, orang tua gue baru berubah belum lama ini, dan mereka jadi kepengen ke gereja juga karena kata mereka gue udah jarang marah-marah lagi sejak ke gereja. Sering sih, orang yang kita ampunin tetep sama ngeselinnya, atau malah tambah parah, tapi Tuhan justru bakal ngubah hati kita dan dari situ baru deh situasi jadi berubah!” tutupku dengan penuh semangat, selagi Joey terlihat berkonsentrasi mendengarkan.
“Nah, bener ‘tuh, Jo. Hebatnya, perubahan di hati dan di kelakuan kita itu bukan karena kita capek-capek ngusahain sendiri, lho. Memang betul perubahan hidup itu pilihan kita sendiri, tapi yang bikin kita berubah itu kasih Yesus, lewat kerjaan Roh Kudus di hati kita waktu kita baca Firman-Nya sehari-hari trus ngelakuin yang dibilang di Firman itu.,” kata Ray melengkapi ceritaku.
“Woy, hahaha… Kita udah kayak lagi komsel aja nih!” sahut Joey.
“Lho, emangnya loe tahu komsel, atau pernah ikut komsel?” tanyaku.
“Sempet diajakin tapi gue nolak terus. Tapi kayaknya mau lah sekarang. Atau ke gereja sekalian kayak loe, Chris. Capek gue panas hati melulu. Gue juga kepengen ngerasain kasih dan damai di hati…” kata Joey dengan sorot mata penuh arti.
__________________
Pernahkah kamu pernah mengalami hal yang serupa seperti Joey? Atau, kamu masih sedang mengalaminya sekarang? Ingatlah, kamu tidak berjuang sendiri! Teman-teman dan orang-orang di sekitarmu yang sudah mengenal Tuhan Yesus lebih dulu adalah mereka yang Tuhan tempatkan untuk kamu belajar, pulih, dan tumbuh bersama di dalam kasih-Nya. Tuhan Yesus berkata, “Segala perkara dapat kamu tanggung di dalam Aku yang memberi kekuatan kepadamu,” (Fil. 4:13) dan di dalam Dia itu berarti bersama-sama dengan komunitas yang berjalan denganmu dalam pertumbuhan di dalam Kristus. Itulah komunitas. Itulah saudara. Itulah pemuridan. Kita masing-masing bertumbuh dan belajar sebagai anak Tuhan, sebagai murid Kristus, untuk terus-menerus makin pulih dan menjadi makin serupa dengan Kristus.
Di sisi lain, mungkin kamu memiliki teman atau anggota keluarga yang perlu dipulihkan. Inilah saatnya untuk bergerak! Firman Tuhan di Kolose 1:28-29 berkata, “Dialah yang kami beritakan, apabila tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus. Itulah yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa-Nya, yang bekerja dengan kuat di dalam aku.” Seperti apa yang Chris dan Raymond lakukan, kita sudah semestinya bergerak sebagai alat dan saksi Kristus. Perkenalkan Kristus kepada mereka yang membutuhkan, ajak mereka untuk mengalami pemulihan oleh-Nya, dan temani mereka dalam komunitas dan dalam pemuridan yang bertumbuh bersama. Semua manusia berdosa dan kebutuhan semua manusia adalah Kristus.
Perubahan dan pertumbuhan adalah sesuatu yang pasti, jika kita memasuki proses pertumbuhan dan pemuridan dalam komunitas di dalam Kristus. Seberapa pun parah kondisinya saat ini, janji-Nya dan buah pekerjaan-Nya pasti akan terjadi. Perubahan 180 derajat!