*Tulisan ini tentu boleh dibaca semua orang, tetapi secara khusus ditujukan untuk kita yang biasa atau sering berucap, “Aku baik-baik aja.”
Bagi sebagian orang, “aku baik-baik aja” terdengar basi, bahkan palsu. Kalimat ini memang biasanya diucapkan hanya sebagai obrolan basa-basi dengan kawan yang sudah lama tak bersua, atau dengan teman di komunitas sel yang sekilas menanyakan kabar sebelum rangkaian acara dimulai. “Aku baik-baik aja” adalah kalimat yang paling tepat untuk menekspresikan betapa malasnya kita jika harus menjabarkan panjangnya rentetan permasalahan dan ujian hidup yang datang bertubi-tubi.
Namun, bagi sebagian orang lainnya yang mungkin bisa dianggap sebagai kaum minoritas, “aku baik-baik aja” itu jujur. Terlalu jujur. Televisi boleh saja menyiarkan kecelakaan dan kekacauan bumi yang terjadi setiap hari. Internet boleh saja mempublikasikan berbagai kasus kenakalan remaja seperti perjudian, pemakaian narkoba, seks bebas, dan lainnya. Sedangkan aku, “aku baik-baik aja”. Aku tidak berjudi apalagi mencuri. Aku tidak menggunakan narkoba atau merokok. Aku tidak mabuk-mabukan maupun melakukan seks bebas. Sudah kubilang, aku baik-baik saja. Aku sungguh baik-baik aja.
Jika pengucapnya ini tergolong seorang aktivis gereja, “aku baik-baik aja” bermakna lebih “Kristen” lagi. Aku baik-baik aja, kok. Keluargaku baik dan harmonis. Seluruh keluargaku percaya Yesus Kristus pula. Setiap minggu aku beribadah, entah secara fisik atau online. Sekolahku baik, kuliahku baik, pekerjaanku pun baik. Keuanganku juga cukup baik. Aku tidak berutang dan tidak berfoya-foya. Aku setia membayar persepuluhan dan aku kadang berbagi kepada teman-temanku yang membutuhkan. Dalam hidupku, memang ada beberapa masalah, tetapi semuanya itu masih aman. Tenang saja, ‘toh ada teman-temanku di komunitas sel yang selalu mendukung aku. Aku memang hidup di bumi tetapi hidupku bagaikan surga, semuanya baik-baik aja. Memangnya apa yang salah dengan kondisi yang baik-baik aja ini?
Yuk, kita perhatikan lebih cermat. Yang terpenting dalam ucapan “aku baik-baik aja” dengan segala maknanya itu bukanlah soal benar atau salah, melainkan fokus penilaiannya. Coba hitung, ada berapa kata “aku” atau tambahan “-ku” dalam paragraf sebelumnya? Apakah definisi “baik-baik aja” hanya dinilai berdasarkan fokus pada diri kita sendiri? Apakah hidup kita semata-mata tentang diri sendiri?
Sekali lagi, ini bukanlah soal benar atau salah. Ini soal dengan kacamata siapa kita melihat atau menilai hidup kita selama ini. Kalau kita melihat dan menilainya dari kacamata Allah, pada saat awal Allah menciptakan manusia pertama kalinya, Allah berfirman, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi,” (Kej. 1:26). Hidup dan diri kita baru tepat dinilai “baik-baik aja” jika sudah sesuai dengan kriteria ini: kondisinya menurut gambar dan rupa Allah.
Pertanyaannya, seperti apa gambar dan rupa Allah itu? Jelas, seperti Yesus. Yesus adalah wujud Allah yang nyata sebagai manusia, yang menjadi pola atau teladan hidup semua anak-anak Allah tentang gambar dan rupa-Nya. Kehidupan yang baik-baik saja adalah kehidupan yang serupa dengan Yesus.
Yesus hidup di dunia dengan tujuan yang jelas. Dia mencintai dan taat pada kehendak Allah melebihi apa pun juga, bahkan melebihi kemanusiaan-Nya sendiri. Sepanjang hidupnya sebagai manusia, Dia mengasihi diri-Nya sendiri, tetapi tidak pernah hanya hidup untuk kepentingan diri-Nya sendiri. Dia menghasilkan banyak buah dengan melayani jiwa-jiwa, mengerjakan kehendak Allah Bapa. Sama seperti Yesus, kita pun seharusnya mengasihi diri kita sendiri, tetapi tidak hidup hanya untuk diri kita sendiri. Allah juga mau kita menghasilkan banyak buah-buah dengan melayani jiwa-jiwa dan mengerjakan kehendak-Nya.
Matius 12:33 berkata, “Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal.” Pohon yang baik bukanlah yang sekadar terlihat baik dan indah, tetapi yang produktif menghasilkan sesuatu. Apakah buahnya segar dan lezat untuk bisa dinikmati yang memetiknya? Apakah daunnya lebat dan dahan serta rantingnya rindang untuk melindungi orang yang berteduh di bawahnya?
Kalau pohon saja berbuah, bagaimana dengan diri kita? Bertumbuh hingga produktif dan berbuah adalah proses yang tidak mudah dan tidak enak. Dengan analogi pohon ini, sudah jelas bahwa Allah menciptakan kita bukan supaya kita menjadi baik-baik saja hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain. 2 Timotius 2:3-4 menegaskan hal ini, “Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus. Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian dia berkenan kepada komandannya.” Yesus pun begitu; Dia melewati proses penderitaan yang luar biasa. Yesus lelah, disalahpahami, difitnah, dikhianati, diperlakukan tidak adil, disiksa, bahkan disalib sampai mati, bukan untuk diri-Nya sendiri, tetapi untuk seluruh umat manusia, agar kita semua dapat memiliki kehidupan baru yang sungguh “baik” menurut rancangan Allah itu.
Menjadi anak Allah (orang Kristen) tidak menjamin bahwa hidup kita akan selalu baik-baik saja menurut standar diri kita sendiri. Justru, Yesus sendiri meminta kita mengambil bagian dalam penderitaan-Nya. Tentu, kita tidak perlu menderita dengan menyusahkan atau menyiksa diri kita sendiri tanpa tujuan, tetapi kita perlu rela menanggung proses yang Allah kerjakan melalui peristiwa hidup apa pun, demi bertumbuh makin serupa dengan Dia, meski proses itu terasa sebagai penderitaan. Dengan menekan ego dan melembutkan hati dalam penderitaan yang dikehendaki Allah itu, kita mengambil bagian dalam pekerjaan Allah di bumi.
Satu pertanyaan tersisa bagi kita yang masih hanya memikirkan diri sendiri: apa kehendak Allah bagi hidupku supaya aku bisa terus berbuah, bukan hanya untuk diriku, tetapi juga untuk orang lain? “Baik-baik aja” untuk diri sendiri saja itu salah, tetapi hidup yang rela menderita berbagai hal dalam proses bertumbuh makin segambar dan serupa Allah itu benar-benar baik, sebab Dia mengerjakan kehendak-Nya melalui hidup kita bagi banyak orang.