Suatu hari di sebuah persimpangan jalan di tanah Moab, ia berdiri bersama-sama dengan ibu mertua dan saudara iparnya. Perpisahan memang bukanlah hal yang mudah untuk dijalani dan dikenang, tetapi peristiwa itu memang sulit dilupakannya. Dengan segala pertimbangan dan disertai dengan hati yang berat akhirnya kembalilah iparnya kepada keluarganya. Tinggal dia seorang diri dengan sang ibu mertua.
“Telah pulang iparmu kepada bangsanya dan kepada para allahnya; pulanglah mengikuti iparmu itu,”(1) begitu ibu mertuanya berkata. Entah mengapa pernyataan itu justru membawa relung hatinya cepat menapaki hari-harinya saat hidup dan tinggal bersama dengan sang ibu mertua. Saat itu seluruh keluarga termasuk almarhum ayah mertuanya, suami, dan ipar laki-lakinya masih hidup. Ah, itu adalah saat-saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya, yang tanpa terasa mereka lalui bersama selama 10 tahun… Selama itu, dia melihat bagaimana keluarga suami dan mertuanya menjalani hidup sehari-hari mereka. Cara dan nilai hidup mereka seolah didasari suatu prinsip yang kokoh dan tak terbantahkan, suatu kekuatan besar yang membuat mereka bertahan hidup di sebuah tanah asing. Sedetik kemudian dia tersadar; ada kekuatan dari dalam batinnya untuk menjawab pernyataan ibu mertuanya. “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, aku pun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya Tuhan menghukum aku, bahkan lebih lagi daripada itu, jikalau sesuatu apa pun memisahkan aku dari engkau, selain dari pada maut!” (2)
Sejauh yang diingatnya, sejak pernyataan itu keluar dari hati dan mulutnya, sejak itulah hidupnya berubah. Mungkin tanpa disadarinya, Tuhan yang disembah oleh ibu mertuanya mulai juga menyatakan diri secara pribadi dalam hidupnya sebagai seorang perempuan dari bangsa Moab, bangsa yang dianggap kafir dan tidak mengenal Tuhan. Mengikuti ibu mertuanya kembali ke kampung halamannya berarti hidup bersama dengan ibu mertua di sebuah tanah yang asing baginya. Bisa saja dia enggan melangkah karena tidak ingin menjadi orang asing sendirian, tetapi rupanya kenyataannya sebaliknya. Keputusan ini menjadikan hatinya berkomitmen penuh untuk mengabdikan seluruh hidupnya mendampingi, menopang, dan menolong sang ibu mertua.
Betlehem adalah kota yang asing baginya. Bahasa, budaya, dan segala sesuatunya berbeda dengan di Moab, kota asalnya. Banyak hal baru yang harus dipelajarinya, tetapi semua ini tidaklah menjadi suatu halangan. Sebaliknya, dia justru merasa tertantang. Inilah babak baru dalam kehidupannya, sejak ia memutuskan untuk mengikuti sang ibu mertua. Sama sekali tidak ada penyesalan di dalam dirinya. Benar saja, kedatangan mereka segera menjadi perhatian orang-orang di kota Betlehem: dua orang janda dengan status mertua dan menantu, keduanya berasal dari bangsa berbeda dan memiliki usia yang berbeda; mereka menjadi perbincangan yang mengherankan di antara banyak orang. Sungguh sebuah tantangan untuk membangun kehidupan yang baru bersama!
Namun, hidup harus terus berjalan, di mana pun itu… Maka, tanpa menunda-nunda, dicarinyalah pekerjaan guna menghidupi kebutuhan mereka sehari-hari. Memungut jelai gandum adalah pekerjaan sederhana yang biasa dilakukan oleh perempuan-perempuan di kota itu, dan itulah yang kemudian dikerjakannya untuk mencari nafkah. Segera, bekerja tanpa kenal lelah dari pagi hingga petang hari menghasilkan kekuatan karakter yang baru dalam hidupnya: kesetiaan.
Hari demi hari berlalu, dan kali ini ada yang berbeda. Begitu tekunnya dia bekerja, hingga pemilik ladang yang memperhatikannya secara khusus tidak disadarinya. Mungkin karena dia berbeda dari perempuan-perempuan Betlehem pada umumnya. Mungkin cara berpakaiannya, dialek bicaranya, atau bentuk wajahnya berbeda. Namun yang jelas, kerajinannya bekerja mulai menarik hati sang pemilik ladang untuk melindungi dan memberikan “kemudahan-kemudahan” istimewa secara tersembunyi. Sang pemilik ladang bahkan menyuruh pekerja-pekerja lainnya untuk “dengan sengaja” menjatuhkan jelai-jelai gandum supaya dapat dipungutnya. Setiap petang, dengan sukacita dia pulang ke rumah dan menyampaikan kabar gembira untuk sang ibu mertua dan menunjukkan berapa banyak jelai gandum yang didapatnya lewat pekerjaan hari itu. Setiap hari, yang ada di hati dan pikirannya hanyalah bekerja dan memastikan bahwa ibu mertuanya baik-baik saja. Bagaimana masa depannya di tanah yang asing pun tidak terpikirkan lagi.
Tanpa diketahuinya, sang ibu mertua pun memperhatikan dan mungkin mulai mendoakan dirinya, berseru kepada Allah yang disembahnya. Suatu hari, sang ibu mertua memberitahukan budaya di bangsanya bahwa untuk seorang janda ada kewajiban dari pihak keluarga suaminya untuk “menebus” hidupnya beserta dengan seluruh harta warisan keluarganya yang tersisa. Seolah semua sudah ada dalam agenda besar Allah Sang Pencipta alam semesta, ternyata hak menebus itu jatuh pada sang pemilik ladang yang selama ini jadi tempat bekerja menantu perempuannya yang spesial ini.
Di hati sang ibu mertua, menantunya ini melebihi sekadar menantu biasa. Biasanya, sulit bagi seorang ibu mertua hidup cocok dan menerima si menantu perempuan. Tetapi entah mengapa, menantunya yang satu ini seperti “hadiah” yang dikirim khusus oleh Sang Maha Tahu untuk hidupnya. Komitmen dan kesetiaannya luar biasa, sehingga menjadi catatan khusus yang tertoreh di hati sang ibu mertua. “Langka punya menantu perempuan seperti yang satu ini,” begitu kadang hatinya berkata. Gayung pun bersambut, ternyata sang kerabat jauh pemilik ladang itu memang betul menaruh hati kepada menantu perempuannya dan bersedia memperistinya. Catatan lain yang menjadi pertimbangan positif adalah bahwa menantunya ini hidup sebagai perempuan terhormat sekalipun dia menjadi orang asing di Betlehem. Alhasil, mereka pun dipersatukan dalam ikatan pernikahan, dan segera seorang bayi laki-laki lahir sebagai buah cinta mereka.
Sore itu, saat si menantu duduk bersama sang ibu mertua dengan bayi laki-laki di pangkuannya, tidak lama kemudian datanglah tetangga-tetangga perempuan mereka. Seperti biasanya ibu-ibu senang melihat anak bayi, demikian juga dengan mereka. Berkatalah para tetangga itu, “Terpujilah TUHAN, yang telah rela menolong engkau pada hari ini dengan seorang penebus. Termasyhurlah kiranya nama anak itu di Israel. Dan dialah yang akan menyegarkan jiwamu dan memelihara engkau pada waktu rambutmu telah putih; sebab menantumu yang mengasihi engkau telah melahirkannya, perempuan yang lebih berharga bagimu dari tujuh anak laki-laki.”(3)
“Aku ini menantu perempuan yang lebih berharga dari tujuh anak laki-laki….!” serunya dalam hati. Rasa syukur seolah menghangatkan hatinya. Tak pernah terpikirkan olehnya betapa perjalanan hidup yang telah dilewatinya ternyata jadi buku terbuka yang selama ini dibaca oleh banyak orang. Kehidupannya jadi berbeda saat mengenal Allah, Sang Sumber Kehidupan itu sendiri, dan menjadikanNya satu-satunya yang sesembahan yang dipuja dan dipercaya.
Bayi laki-laki dalam pangkuannya bergerak-gerak seolah memanggil dengan bahasa tubuhnya, menarik-narik leher bajunya. Senyum bahagia tersungging di wajahnya. Inilah buah cintanya dengan pria yang rupanya sudah dipersiapkan oleh Allah bukan saja untuk menebus hidupnya bersama dengan sang ibu mertua, tetapi juga meneguhkan pernyataan imannya dulu saat ibu mertuanya akan kembali ke Betlehem. Sore itu, pernyataan iman itu terngiang kembali di telinganya sendiri, “…Ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, aku pun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan….” Ya, sudah betul! Semua itu terjadi dalam hidupnya sejak dia percaya kepada Allah yang disembah oleh ibu mertuanya. Allah itulah yang menuntun hidupnya mengalami setiap peristiwa dan membawanya sampai sejauh ini.
Hidupnya yang telah ditebus itu ternyata menjadi hidup yang baru: hidup yang bahkan menjadi saluran kasih karunia Allah untuk lahirnya Sang Penebus dosa manusia, Yesus Sang Mesias yang dijanjikan sejak zaman para nabi. Mata jasmaninya tidak melihat semua hal itu terjadi, tetapi Kitab Suci mencatatnya dalam silsilah keturunan Sang Mesias (4).
(sebuah cerita pendek ilustrasi dari 4 pasal kitab Rut, direka ulang dari Kitab Rut dan Woman Study Bible versi NKJV terbitan Nelson)
Keterangan:
(1) Rut 1:15 (2) Rut 1:16 (3) Rut 4:14–15 (4) Matius 1
Pertanyaan refleksi:
1. Sesering apa Anda mengingat dan menceritakan kembali perjalanan pertobatan Anda ?
2. Sesering apa Anda menyadari dan mengagumi karya anugerah keselamatan dalam kehidupan Anda?
3. Sesering apa Anda melibatkan Tuhan dalam hidup Anda sehari-hari? Sesering apa Dia nyata dalam hidup Anda itu?
4. Berapa banyak orang yang telah mengenal Tuhan lewat hidup Anda?