Amy Beatrice Carmichael adalah seorang wanita misionaris Kristen yang melayani masyarakat India selama 56 tahun tanpa cuti sama sekali. Fokus pelayanannya ialah anak-anak. Ia membuka panti asuhan dan mendirikan Dohnavur Fellowship, yaitu pelayanan khusus untuk menyelamatkan anak-anak yang terabaikan, terluka, dan teraniaya di India. Selain itu, ia juga telah menulis 35 buku yang bertema misi serta menceritakan pekerjaan misionaris, seperti His Thoughts Said… His Father Said (1951), If (1953), Edges of His Ways (1955), dan Things as They Are: Mission Work in Southern India (1903). Yang terakhir bahkan ini dianggap sebagian orang sebagai buku misi terbaik, terutama bagi kaum muda, karena menginspirasi kaum muda terjun ke pelayanan misi bagi anak-anak di India.
Amy lahir di desa kecil Millisle di negeri Irlandia Utara, dari pasangan David dan Catherine Carmichael, pada tanggal 16 Desember 1867. Amy merupakan anak pertama dari delapan bersaudara, dengan tiga adik perempuan dan empat adik laki-laki. Keluarga Amy hidup sederhana. Setelah ayahnya meninggal, ia diadopsi oleh Robert Wilson, pendiri Konvensi Keswick (perkumpulan orang-orang Kristen Injili yang bertemu setahun sekali di kota Keswick, Inggris). Setiap kali sejak diadopsi, Amy melihat ayah angkatnya itu melayani orang lain. Amy juga bertemu banyak misionaris dan memahami pergumulan yang dihadapi dalam pelayanan mereka. Ironisnya, hal-hal itulah yang justru membuat Amy merasa tidak cocok sebagai misionaris. Sementara ia mengerti betapa mulianya panggilan untuk melakukan pelayanan misi, hatinya kecut dan tawar karena tubuhnya menderita neuralgia: penyakit saraf yang membuat tubuhnya lemah dan berbaring berminggu-minggu lamanya setiap kali kambuh.
Sejak kecil, Amy memimpikan untuk memiliki sepasang mata biru, bukan mata cokelat seperti miliknya. Ia berdoa agar Tuhan mengubah warna matanya, lalu kecewa karena Tuhan tidak menjawab doanya. Saat menginjak usia dewasa, Amy mulai memasuki ke ladang misi dan menyadari bahwa Tuhan menciptakan dirinya bermata cokelat agar mudah diterima dalam pelayanan memenangkan orang-orang India, yang bermata cokelat.
Pada suatu sore, Amy bersama saudara laki-lakinya berjalan melewati seorang pengemis perempuan tua yang tersandung dan jatuh. Pengemis itu merangkak dan berusaha meraih tasnya, tetapi ia terluka. Amy pun tergerak untuk membantu dan mengantarkannya pulang. Rupanya, pengalaman itu benar-benar mengubah seluruh kehidupan Amy di kemudian hari. Ia terdorong untuk menyerahkan diri dan melayani Tuhan sepenuh waktu. Apalagi pada tahun 1887 yaitu usia 20 tahun, Amy mengikuti kebaktian misi di Keswick Convention. Pembicaranya ialah misionaris Inggris di Tiongkok, yang bernama Hudson Taylor. Di sinilah Tuhan benar-benar memngorbankan hati Amy untuk menyerahkan diri sepenuhnya di dalam pelayanan misi. Amy bergabung dengan Church of England Zenana Missionary Society dan organisasi itu mengutusm Amy ke Jepang selama 15 bulan. Sayang, di Jepang Amy tidak merasa cocok untuk melakukan pelayanan misi. Amy awalnya tidak menyangka bahwa India merupakan tempat yang disediakan Tuhan bagi dirinya, untuk melayani sampai akhir hidupnya. Namun ketika diutus dan tiba di India, ia pun tahu bahwa India adalah tujuan hidupnya.
Di India, Amy melayani perempuan-perempuan muda untuk menyelamatkan mereka dari praktik prostitusi. Pada kelanjutannya, Amy melihat kelompok lain yang perlu diperhatikan, yaitu anak-anak. Hal inilah yang mendorongnya mendirikan Dohnavur Fellowship bagi anak-anak yang terluka, terbuang, dan tak diinginkan. Amy menyusuri jalan-jalan raya untuk memberitakan Kristus kepada anak-anak yang tidak berpengharapan.
Dalam pelayanannya sehari-hari, Amy dan timnya mengenakan pakaian khas India, sari, dalam rangka menghormati budaya India. Ia berjalan ke tempat-tempat yang panas dan berdebu demi menyelamatkan anak-anak jalanan dari penderitaan. Banyak penolakan terjadi dari masyarakat setempat saat itu terhadap kekristenan, karena kekristenan meninggikan kesetaraan derajat manusia sebagai ciptaan Tuhan sehingga dianggap merusak sistem kasta India. Hal ini membuat banyak misionaris menyerah dan meninggalkan India. Namun, Amy bertahan. Hatinya teguh bagi anak-anak India, dan pikirannya tak henti berfokus kepada mereka yang terlantar, dianiaya, dan mati.
Salah satu ucapan bijak yang masih terkenal sampai saat ini ialah buah perenungan Amy. Amy menulis, “One can give without loving, but one cannot love without giving,” yang berarti, “Kita bisa saja memberi tanpa mengasihi, tetapi kita tak mungkin bisa mengasihi tanpa memberi.” Salah satu karya nyata Amy yang berwujud fisik dari perenungan ini ialah rumah singgah di Dohnavur, yang didirikannya untuk menampung anak-anak gadis India yang melacurkan diri. Tuhan mengirim banyak tenaga sukarela yang membantu melayani anak-anak perempuan di Dohnavur. Kebanyakan tenaga sukarela ialah para perempuan Kristen yang mengasihi Tuhan. Pada tahun 1918, masuklah anak laki-laki pertama di rumah singgah itu, dan hal ini kemudian diikuti oleh ratusan anak laki-laki lainnya. Amy bergembira menyaksikan karya Tuhan bagi anak-anak India. Ia menyebut anak-anak itu sebagai butir-butir mutiara yang berharga di hatinya. Mereka pun memanggilnya “Amma”, yang berarti “ibu” atau “mama” yang dikasihi dalam bahasa Tamil. Amy tidak pernah menikah, tetapi Tuhan memberinya ratusan anak yang dikasihi sampai akhir hidupnya.
Pada tahun 1931, Amy mengalami cedera serius di punggung karena kecelakaan. Cedera ini amat membatasi aktivitas Amy selanjutnya, sehingga ia menghabiskan waktu 20 tahun di tempat tidur saja. Namun, hati dan pikiran Amy tetap berkobar dengan kasih untuk jiwa-jiwa yang dilayaninya. Tuhan memberikan banyak ide kepada Amy di tempat tidur untuk menulis beberapa buku misi yang menggetarkan hati dan membangkitkan para misionaris muda. Salah satu buku itu berjudul If, menggambarkan hubungan kasih yang Amy alami dengan pribadi Tuhan yang disalib. Setelah perjuangan pelayanan panjang yang tak kenal lelah meski sambil terbaring itu, pada tahun 1951, dalam usia 83, Amy meninggal. Sebelum meninggal, ia telah berpesan agar anak-anaknya tidak menaruh batu nisan di makamnya kelak. Namun, anak-anak itu tidak mematuhi pesan Amy. Mereka justru mengukirkan panggilan sayang “Amma” di atas batu nisan Amy, untuk mengabadikan kasihnya sebagai ibu bagi mereka.