///(Bagian yang Belum) Serupa dengan-Nya

(Bagian yang Belum) Serupa dengan-Nya

Namaku Kaning. Aku dibesarkan oleh seorang ibu tunggal karena ayahku telah tiada sejak usiaku lima tahun. Aku bersama adikku terbiasa hidup mandiri, karena ibuku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Ibu mengajari kami bahwa hidup adalah perjuangan, misalnya untuk mendapatkan sepatu dan tas baru yang kami butuhkan saja, kami harus menabung lebih dahulu hingga kenaikan kelas. Masih terngiang rasanya ucapan yang sering kali diwanti-wanti oleh ibuku, “Jangan bergantung dengan orang lain,” dan “Jangan pernah berutang!” Ucapan-ucapan ini tertanam menjadi doktrin yang membentuk pola pikirku hingga dewasa dengan gaya hidup hemat, rajin menabung, dan suka mengumpulkan uang. Apakah semua ini salah? Menurutku sih, baik sekali…

 

Namun, setelah aku berkeluarga, ternyata suamiku memiliki gaya hidup yang berbanding terbalik dengan diriku. Soal uang, suamiku orang yang tidak pernah “perhitungan”, gemar memberi termasuk kepada orang-orang yang tidak dikenalnya atau yang hanya bertemu sekali saja. Bahkan para satpam dan tukang ojek yang tak dikenal pun bercerita kepada temanku bahwa suamiku sering memberi mereka uang meskipun sebenarnya mereka tidak saling kenal. Kalau dibandingkan dengan suamiku, aku jadi terlihat pelit, padahal sebenarnya aku pandai mengatur keuangan karena ajarran ibuku untuk hidup hemat.

 

Suatu saat, ketika suamiku dan sahabatnya mengalami masalah dalam usaha bersama, mereka harus membayar utang kepada bank. Nilai utang itu begitu besar, dan memikirkannya membuat hari-hariku tidak tenang. Bayangkan saja, seumur hidup aku tidak pernah berutang, apalagi utang kepada bank, yang ditambah bunga. Dalam pikiranku kalimat-kalimat resah berlompatan, “Ya Tuhan… Harus berapa lama aku hidup seperti ini dengan utang? Bagaimana membayar utang yang begitu besar ini? Kenapa sih suamiku tidak menabung saja supaya waktu itu bisa memulai usaha tanpa harus berutang? Mengapa semua ini harus terjadi menimpaku?”

 

Aku kecewa, terhadap suamiku, terhadap temannya, terhadap situasi ini. Seringkali dalam perbincangan di pertemuan komuntas sel kuungkapkan kekecewaan ini, dan berulang kali juga kukatakan bahwa aku sudah mengampuni mereka, tetapi sebenarnya jauh didalam hati aku belum bisa merasa lepas dan tenang dengan semuanya itu.

 

Hatiku terus larut dalam kekecewaan, sampai pembicaraan terjadi bersama pemuridku, yaitu Kak Rara. Kak Rara membagikan sepotong ayat kepadaku, yaitu 1 Korintus 6:20a,“Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar.” Kemudian, Kak Rara bertanya kepadaku, “Apa saja, Kaning, yang sudah lunas dibayar dalam hidupmu oleh Tuhan?”

 

Pertanyaan pendek dari Kak Rara itu menempelak diriku begitu dalam ketika aku menangkap maksud Tuhan lewat ayat yang dibagikan. Seharusnya, ketika hidupku sudah lunas dibayar oleh Tuhan, aku menjadi orang yang merdeka. Namun kenyataannya, hidupku belum merdeka, karena aku masih memegang rasa amanku kepada tabungan dan uang yang banyak. Aku tidak bisa mengalami damai sejahtera dan ketenteraman ketika rasa amanku itu terancam atau terusik. Ternyata, aku telah terikat oleh gaya hidup keuangan yang “baik” sehingga aku justru hidup dalam kekhawatiran. Bahkan, aku menjadi orang yang sulit mengampuni kegagalan orang lain ketika pencobaan datang! Kesadaran ini begitu jelas datang padaku, dan rasanya keadaanku ini memalukan mengingat sebenarnya aku bukan orang Kristen baru. Singkatnya, aku mengaku kepada orang-orang terdekatku dan bertobat sungguh-sungguh. Komunitas sel dan pemuridan menolongku melewati proses Tuhan sehingga aku bisa mengalami terobosan serta kemenangan dalam bagian ini pada diriku: kemerdekaan keuangan.

 

Aku sadar, mengikut Tuhan bukan berarti tidak pernah ada masalah. Tuhan justru mengizinkan masalah datang untuk memproses diriku agar aku bertumbuh makin serupa dengan-Nya. Lewat masalah, aku diuji agar ditemukan bagian-bagian pada diriku yang belum serupa dengan Kristus.Ketika seorang murid memiliki nilai dibawah standar kelulusan atau belum mencapai penguasaan atas suatu pelajaran, biasanya seorang guru akan memberikan latihan terus menerus dan ujian demi ujian agar murid itu makin menguasai pelajaran dan lulus. Demikian pula yang Tuhan lakukan dengan diriku. Ketika Tuhan memanggilku menjadi murid-Nya, Tuhan menghendaki rencana-Nya sejak semula atas manusia terwujud padaku, yaitu keserupaan yang sempurna dengan Kristus.Firman-Nya jelas menyatakan hal ini: “…Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…” – Kej. 1:26; “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna,”– Mat. 5:48. Bagian-bagian tertentu pada diriku yang ditemukan-Nya belum sempurna akan terus disempurnakan-Nya melalui berbagai cara.

 

Ketika Yesus memanggil 12 orang murid-Nya, mereka bukanlah orang-orang yang hebat;mereka semua adalah orang-orang biasa yang memiliki berbagai masalah karakter dan kelemahan. Namun, Tuhan menginginkan kesempurnaan dan keserupaan dengan diri-Nya, dan itulah sebabnya Tuhan memproses setiap murid-Nya. Termasuk aku. Selama ini aku cukup banyakmengetahui ayat-ayat Firman Tuhan, dan sudah begitu sering mengikuti retret pemulihan, tetapi Dia terus bekerja menemukan hal-hal dihidupku yang harus ditanggalkan, diproses,dan disempurnakan. Bagaimana aku bisa memiliki keberanian menjadi saksi-Nya, apalagi pada masa yang penuh pencobaan seperti sekarang, kalau aku sendiri tidak pernah memiliki pengalaman iman pribadi bersama Tuhan dan kebenaran-Nya? Sudah selayaknyalah aku setia di dalam proses kehidupanku bersama Tuhan, karena Dia membawaku menuju kesempurnaan! Kadang proses itu terasa berat seperti kuk yang membebani, tetapi seperti dua ekor lembu yang dipasangi kuk bersama, lembu dewasa akan membimbing lembu muda dalam perjalanan mereka bersama. Ketika aku setia berjalan mengikut Tuhan,Dia membimbingku untuk belajar dari-Nya.

 

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.–Matius 11:28-30

 

Pertanyaan Refleksi:

  1. Adakah hal-hal yang menghalangimu untuk bertumbuh makin serupa dengan Kristus? Bagian-bagian mana pada dirimu/hidupmu yang sulit engkau tanggalkan dalam mengikut Yesus?Mengapa?
  2. Apakah engkau masih setia hidup dalam komunitas sel dan memiliki seorang pemurid? Apakah engkau masih setia terbuka dengan komunitas sel dan kelompok pemuridanmu? Adakah bagian-bagian tertentu pada dirimu/hidupmu yang masih engkau tutupi dari mereka karena engkau masih enggan untuk berubah?
  3. Adakah pengalaman iman bersama Tuhan yang membawamu bertumbuh makin serupa dengan Kristus? Ceritakan perbuatan-perbuatan yang telah Tuhan lakukan padamu itu kepada orang lain sebagai kesaksian yang hidup.
2020-10-29T12:54:55+07:00