Beberapa waktu yang lalu, Cassie Karstens (penulis buku “The World Needs A Father”) dalam khotbahnya di Abbalove Industri menjelaskan kepedulian Allah tentang ketiadaan bapa, termasuk bahwa Allah akan mengadili pemimpin-pemimpin yang tidak peduli akan ketiadaan bapa yang terjadi di dunia ini (Mzm. 82:1-8). Mengapa Allah demikian peduli terhadap ketiadaan bapa di dunia? Ketiadaan bapa adalah penyebab utama kerusakan keluarga, yang pada akhirnya berdampak pada kerusakan yang lebih luas di lingkungan masyarakat dan di dunia. Karena itulah, Allah ingin memulihkan fungsi bapa dalam keluarga maupun keluarga rohani (gereja). Sebagai Gereja, kita perlu mengerti dampaknya dan turut menjadi jawaban atas persoalan serius ini.
Ketiadaan bapa dapat terjadi ketika bapa jasmani maupun bapa rohani tidak hadir untuk proses tumbuh kembang anak. Dalam pertumbuhan rohani setiap orang percaya, dibutuhkan figur bapa rohani (tidak mengacu pada gender laki-laki atau perempuan, tetapi fungsi dan peran sebagai orang tua rohani kepada anak rohani), dan prosesnya berlangsung dalam komunitas sesama orang percaya di Gereja. Untuk memahaminya, mari kita bandingkan dua jemaat yang dibahas di dalam Alkitab. Kedua jemaat ini dibapai oleh bapa rohani yang sama, tetapi ternyata mengalami pertumbuhan rohani yang sangat berbeda: Paulus ialah bapa rohani yang membapai baik jemaat di Korintus maupun jemaat di Tesalonika, tetapi jemaat di Korintus gagal bertumbuh dan bahkan menjadi gereja terparah pada masa Gereja mula-mula, sedangkan sebaliknya jemaat di Tesalonika menjadi gereja teladan yang luar biasa pada waktu itu.
Nah, apakah penyebab dari kegagalan jemaat di Korintus, dan apa pula kunci keberhasilan gereja di Tesalonika?
“Hal ini kutuliskan bukan untuk memalukan kamu, tetapi untuk menegor kamu sebagai anak-anakku yang kukasihi. Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu. Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku! Justru itulah sebabnya aku mengirimkan kepadamu Timotius, yang adalah anakku yang kekasih dan yang setia dalam Tuhan. Ia akan memperingatkan kamu akan hidup yang kuturuti dalam Kristus Yesus, seperti yang kuajarkan di mana-mana dalam setiap jemaat.” – 1 Korintus 4:14-17, TB
Penyebab kegagalan pertumbuhan jemaat di Korintus adalah karena mereka, walaupun mempunyai bapa rohani yang begitu baik, tidak memiliki “hati anak”. Mereka lama kelamaan makin menolak kebapaan Paulus, mereka lebih mengindahkan “pendidik-pendidik” (dalam konteks masa kini, pengajar, pengkhotbah, pembicara yang hebat dan menyampaikan pesan yang nyaman didengar) daripada Paulus sebagai bapa rohani mereka. Ini menunjukkan bahwa jemaat di Korintus kurang memiliki “hati (roh) anak”. Akibatnya, mereka gagal bertumbuh rohani dan justru menjadi gereja yang paling parah kondisinya di zaman itu. Mereka mengizinkan “roh yatim piatu” (orphan spirit) bekerja dan menguasai mereka, sehingga terjadilah ketiadaan bapa yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran moral di tengah-tengah mereka sendiri. Namun, berbeda halnya, jemaat di Tesalonika yang sangat kuat memiliki “hati (roh) anak”, sehingga pertumbuhan rohani mereka menjadi optimal melalui pembapaan Paulus, sehingga akhirnya mereka menjadi gereja teladan yang sangat luar biasa. Jemaat di Tesalonika menjadi gereja yang menjadi teladan di wilayah sekitarnya, bahkan di seluruh dunia misi pada zaman itu.
“Tetapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya. Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi. Sebab kamu masih ingat, saudara-saudara, akan usaha dan jerih lelah kami. Sementara kami bekerja siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapa pun juga di antara kamu, kami memberitakan Injil Allah kepada kamu. Kamu adalah saksi, demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami berlaku di antara kamu, yang percaya. Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang, dan meminta dengan sangat, supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya.” – 1 Tesalonika 2:7-12, TB
Jemaat Tesalonika berhasil bertumbuh menjadi gereja teladan adalah karena proses pertumbuhan rohani mereka didukung oleh kedua faktor esensialnya: mengalami hati bapa dari pihak Paulus, sekaligus memiliki hati anak dari pihak jemaat. Jelaslah, pertumbuhan rohani gereja ditentukan oleh kedua faktor ini, yaitu peran bapa rohani dan peran anak rohani, yang keduanya berjalan bersama-sama.
Sekarang, mari kita lihat lebih jelas apa tepatnya peran bapa rohani dan peran anak rohani yang harus ada dalam pertumbuhan rohani agar optimal menuju kedewasaan
- Bapa memiliki dan mengayomi anak, anak memiliki bapa dan bersedia diayomi bapa (1 Kor. 4:15; Ibr. 13:17). Paulus adalah seorang bapa yang memiliki banyak anak rohani. Timotius adalah salah satu anak rohani Paulus. Paulus bersama tim kerasulannya (Paulus, Timotius, dan Silwanus) juga membapai jemaat di Tesalonika pada waktu perintisannya. Paulus selalu mengayomi anak-anak rohaninya, salah satunya yang utama, lewat doa. Seorang bapa (pemimpin) dipercayakan otoritas (tudung rohani) untuk menjaga (melindungi) jiwa anak-anak rohani agar tetap sehat dan aman (Ibr. 13:17), dan inilah fungsi doa-doa Paulus bagi jemaat-jemaat yang dibapainya. Namun sayangnya, pada jemaat di Korintus dampak rohani ini tidak optimal karena walaupun Paulus berfungsi baik sebagai bapa rohani, secara umum jemaat di Korintus menolak Paulus sebagai bapa rohani mereka. Ini berarti jemaat Korintus tidak memiliki atau menghidupi hati anak dalam hubungan mereka dengan Paulus, sehingga mereka bagaikan orang yang membuang payung yang melindunginya dari hujan/terik matahari. Mereka keluar dari tudung rohani sehingga kehidupan mereka menjadi terbuka terhadap serangan kuasa kegelapan, yang pada akhirnya menghancurkan mereka sendiri.
- Bapa menjadi teladan bagi anak, anak mengikuti teladan bapa (1 Kor. 4:16-17). Fungsi bapa berikutnya yang sangat penting adalah menjadi teladan bagi anak-anak rohaninya. Keteladanan adalah kekuatan terhebat yang mendorong perubahan hidup dalam diri anak-anak rohani. Bisa saja, anak rohani menerima pengajaran atau pengetahuan dari banyak orang lain (“pendidik-pendidik”), tetapi seorang bapa rohani bukan hanya mengajarkan pengetahuan sebagai teori; bapa rohani sungguh-sungguh hidup sebagai teladan tentang apa yang diajarkannya itu. Di antara jemaat Tesalonika Paulus memberi teladan, dan jemaat Tesalonika meneladaninya. Itulah sebabnya mereka disebut “penurut-penurut kami” dan “penurut-penurut Tuhan”. Namun sebaliknya, jemaat di Korintus lebih suka mendengarkan pengajaran-pengajaran dari pendidik-pendidik yang cenderung hanya mengajarkan pengajaran-pengajaran tanpa peneladanan Pengetahuan dan pengajaran itu baik, tetapi tidak berdampak optimal bagi pertumbuhan rohani jika tanpa teladan hidup. Jemaat di Korintus tidak bersedia meneladani Paulus, dan gagal bertumbuh rohani karena tidak menjadi “penurut-penurut Allah”.
- Bapa memberikan K.O.P.I. kepada anak, anak menerima K.O.P.I dari bapa:
Kasih tanpa ekspektasi (kasih Bapa/agape);
b. Otoritas moral;
c. Peneguhan potensi;
d. Identitas sejati.
Perhatikan bahwa Paulus sebagai bapa rohani yang baik telah memberikan empat hal yang sangat diperlukan oleh jemaat Korintus. Paulus memberikan mereka kasih Bapa, yaitu kasih agape yang tidak mengandung ekspektasi pamrih/imbalan apa pun; dia menyebut mereka sebagai “anakku yang kukasihi”. Paulus juga menetapkan otoritas moral kepada jemaat di Korintus dengan memberikan pengajaran-pengajaran Firman Tuhan (dari Sepuluh Perintah Allah) yang langsung diteladankan sendiri olehnya. Paulus pun meneguhkan potensi jemaat Korintus dalam hal karunia rohani, dengan mendorong mereka memperoleh dan menggunakan karunia-karunia Roh sesuai dengan yang diberikan oleh Allah. Selain itu, Paulus menyatakan dan menegaskan identitas sejati jemaat Korintus dengan menyebut mereka sebagai “ciptaan yang baru” bahkan sebagai “orang kudus”. Betapa tragisnya bahwa dengan semuanya yang diberikan Paulus dalam fungsi utuhnya sebagai bapa rohani ini, jemaat Korintus tidak berespons dengan hati anak, sehingga tidak berhasil menerima impartasi keempat hal ini dari Paulus. Kegagalan jemaat Korintus bertumbuh dewasa adalah akbat ketiadaan hati anak ini.
Kita dapat melihat bahwa peran dan fungsi bapa rohani serta anak rohani ini akan menghasilkan pertumbuhan rohani yang optimal jika kedua sisinya berjalan bersamaan, seperti yang terjadi pada jemaat di Tesalonika. Mari kita pun mempraktikkannya sebagai Gereja masa kini. Agar kita sebagai Gereja dapat bertumbuh dewasa, pastikan peran dan fungsi bapa rohani serta anak rohani berjalan dengan baik dalam pembapaan rohani.