Setiap kali membaca kisah tentang seorang perempuan di Alkitab yang bernama Abigail, aku jadi membayangkan dan meresapi setiap rasa dan gejolak batinnya. Kisah di 1 Samuel 25:2-44 ini sering kubaca sambil membayangkan aku ada dalam peristiwa itu, merasakan dan memahami apa yang dipikirkan oleh Abigail sehingga dia dicatat di awal kisah sebagai perempuan yang bijak dan cantik. Perempuan mana yang tak suka dipuji, apalagi soal kecantikannya? Selain itu, perempuan mana yang tak senang saat dinilai bijak? Tentu tidak ada perempuan yang akan menolak pujian yang indah itu, termasuk kita. Namun, apakah kita rela menjalani kehidupan seperti Abigail sebelum bertemu dengan Raja Daud? Di balik pujian cantik dan bijak itu, Abigail menjalani kehidupan awal sebagai istri di sisi Nabal, seorang pria kaya raya yang justru sifat dan perilakunya cenderung tak elok. Menjadi istri Nabal, Abigail berada di dalam sebuah paradoks yang seolah ganjil dan hanya dirinyalah yang bisa menyelami maknanya serta menceritakan keindahannya.
Menjadi istri seorang konglomerat sering kali diidentikkan dengan kehidupan yang nyaman dan bergelimang kemewahan. Nabal, suami Abigail, adalah seorang laki-laki kaya yang tinggal di Maon dan mempunyai bisnis di Karmel. Nabal saat itu sangat kaya. Hartanya termasuk 3.000 ekor domba dan 1.000 ekor kambing. Nabal sang konglomerat adalah keturunan Kaleb, dan dia punya tabiat kasar dan jahat. Inilah salah satu sisi paradoks tadi, yang menarik untuk direnungkan. Nabal keturunan Kaleb, salah satu pemimpin bangsa yang bersama Yosua membawa umat Tuhan memasuki tanah perjanjian, tetapi kelakuannya kasar dan jahat. Lebih menarik lagi, Alkitab mencatat bahwa istri Nabal adalah seorang perempuan yang bijak dan cantik. Abigail itulah istri Nabal.
Berawal dari kebaikan Daud mengatur anak buahnya untuk menjaga kawanan domba milik Nabal, insiden terjadi saat kebaikan itu dibalas dengan sikap kurang ajar Nabal saat menanggapi permintaan Daud. Jawaban Nabal kepada Daud seperti air susu dibalas dengan air tuba, dan itu membuat Daud marah sampai menyatakan akan membunuh semua orang yang ada di rumah Nabal. Berita ini tidak didengar langsung oleh Abigail, tetapi salah seorang pelayan Nabal menyampaikan ucapan kemarahan Daud itu. Kubayangkan diriku di dalam peristiwa ini, sehingga bisa kupahami bahwa Abigail tentu seketika kalut. Dia pasti kaget mendengar kelakuan suaminya yang tidak tahu berterima kasih itu, dan cemas mendengar tekad Daud untuk menghabisi seisi rumah Nabal. Namun, dan inilah hal yang aku dan setiap perempuan perlu belajar; kekagetan, kekalutan, dan rasa cemas Abigail itu tidak dibiarkannya menguasainya.
Dalam kondisi tertentu, kalut atau berbagai emosi lain sebenarnya adalah hal yang wajar dan manusiawi. Namun, membiarkan diri kita dikuasai kekalutan akan malah mengacaukan dan “melumpuhkan” kita. Pikiran kita bisa menjadi buntu dan perasaan kita jatuh terpuruk di dalam keputusasaan. Kita bahkan bisa ikut menjadi marah atau bereaksi emosional secara negatif kepada pihak yang kita anggap menyebabkan masalah.
Tidak demikian halnya dengan Abigail. Mari amati bersama bagaimana Abigail mengalami proses shifting/beralih dari kalut menjadi tenang dan akhirnya bisa berpikir jernih.
Orang yang marah perlu ditenangkan, apalagi sangat besar kemungkinannya bahwa Daud dan orang-orangnya juga sedang kelaparan selain marah besar. Karena pertimbangan yang bijak itulah Abigail memilih untuk melakukan tindakan pertama: memberikan berbagai jenis makanan dalam jumlah yang tidak sedikit. Hantaran Abigal berisi 200 roti, dua buyung anggur, lima domba yang telah diolah, lima sukat bertih gandum, seratus kue kismis, dan 200 kue ara. Seluruhnya dimuat ke atas keledai, lalu Abigail menyuruh bujangnya untuk berjalan mendahuluinya kepada Raja Daud. Abigail memilih untuk tidak memberitahukan tindakannya itu dulu kepada Nabal, suaminya. Ini bukan berarti Abigail berbohong atau menutup-nutupi perbuatan rahasia dari suaminya. Menurutku saat merenungkannya, pertimbangan dan keputusan Abigail ini pasti sudah dipikirkannya masak-masak karena dia tahu betul sifat suaminya. Abigail mengambil keputusan bijaksana karena pemikirannya ini serta dengan memahami dampaknya. Terbukti, strategi Abigail itu jitu, sehingga yang pertama kali dijumpai oleh rombongan Daud adalah keledai yang membawa berbagai makanan dan minuman untuk pasukannya. Abigail melembutkan hati Daud dengan tindakannya ini.
Pada akhirnya, Abigail sendiri pun bertemu dengan Daud. Setelah menyatakan hormatnya, Abigail minta untuk Daud tidak mengindahkan apa yang telah diucapkan oleh Nabal, suaminya, dan dia menjelaskan bahwa dia tidak melihat orang-orang suruhan Daud saat mereka menemui suaminya. Klimaks dari keputusan bijak ini adalah saat Abigail meminta ampun atas kecerobohannya. Bayangkan saja, Abigail sebagai seorang istri tidak mengesampingkan fakta tentang sifat dan kelakuan suaminya, tetapi dia berani mengambil risiko dengan menemui Daud yang marah serta berbesar hati mengakui sambil minta ampun bahwa apa yang terjadi adalah kecerobohannya.
Abigail mengingatkan Daud tentang intervensi Tuhan. Karenanya, Daud menanggapi permohonan damainya dengan mengatakan, “Terpujilah Tuhan, Allah Israel, yang mengutus engkau menemui aku pada hari ini; terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari ini menahan aku dari pada melakukan hutang darah dan dari pada bertindak sendiri dalam mencari keadilan. Tetapi demi Tuhan, Allah Israel yang hidup, yang mencegah aku berbuat jahat kepadamu – jika engkau tadinya tidak segera datang menemui aku, pasti tidak akan ada seorang laki-laki-pun tinggal hidup pada Nabal sampai fajar menyingsing.” Tindakan Abigail yang bijaksana ini menyelamatkan seisi rumahnya; bukan hanya Nabal, tetapi juga seluruh keluarga dan semua orang laki-laki yang bekerja di rumahnya hari itu selamat dari kematian. Daud menerima pemberian damai yang dibawa oleh Abigail dan permohonan ampunnya.
Setelah itu, kubayangkan saat Abigail kembali ke rumahnya dan harus kembali berhadapan dengan suaminya. Sikap dan tindakan Abigail dalam situasi selanjutnya ini sungguh menarik untuk diperhatikan. Abigail tidak menceritakan kesuksesan upaya damai yang baru terjadi itu sepatah kata pun; dia menunggu sampai fajar menyingsing. Mengapa Abigail menunggu? Karena malam itu suaminya sedang mabuk setelah mengadakan perjamuan bersama raja-raja setempat di rumahnya. Bisa kubayangkan betapa sulitnya aku (dan mungkin) umumnya perempuan untuk tidak bercerita apalagi peristiwa yang dialami Abigail saat bertemu Daud adalah peristiwa yang sangat menegangkan dan Abigail sukses dalam usahanya melewati ketegangan itu! Abigail tidak menuruti keinginan untuk membanggakan diri atau berceloteh, karena dia perempuan yang menguasai dirinya, termasuk menjaga hati dan mulutnya. Seluruh peristiwa itu baru diceritakannya keesokan paginya saat suaminya sudah tidak mabuk lagi.
Dalam kisah itu, dituliskan bahwa jantung Nabal berhenti dan dia diam membatu mendengar cerita Abigail. Mungkin Nabal kena serangan jantung saking kagetnya mendengar betapa dekatnya dirinya dan seluruh isi rumahnya dengan kematian di tangan Daud serta orang-orangnya, kalau Tuhan tidak melakukan intervensi melalui upaya istrinya itu. Kira-kira sepuluh hari setelah itu, Tuhan memukul Nabal sehingga dia mati. Singkat cerita, Daud yang telah menyaksikan langsung kecantikan dan kebijaksanaan Abigail, mempersunting Abigail menjadi istrinya. Kehidupan Abigail pun berubah.
Bagaimana dengan diri kita sendiri sebagai perempuan? Apakah kita masing-masing pun mau menjadi cantik dan bijak seperti Abigail? Ada beberapa hal menarik yang kucatat dari kisah Abigail, yang menjadi penting untuk kita teladani dari dirinya:
- Situasi dan kondisi yang sulit bukanlah penghalang atau dalih yang memaksa kita hingga tidak melakukan kebenaran.
- Kekuatan kepekaan kita sebagai perempuan bertumbuh dari kedalaman hubungan kita secara pribadi dengan Tuhan
- Kepekaan (discernment) menolong kita dalam menimbang dan mengambil setiap keputusan dalam kehidupan sehari-hari.
- Kepekaan (discernment) menghasilkan penguasaan diri dan penguasaan diri adalah tanda kedewasaan.
Seorang perempuan yang bijaksana seperti Abigail adalah seorang perempuan yang dewasa, matang dalam pemikiran, dan kematangan itu terlihat nyata lewat sikap dan perilaku sehari-hari. Sejatinya, pertambahan usia kita pun harus berbanding sejajar dengan kedewasaan atau kematangan kita. Sayang, yang lebih banyak terjadi justru seiring bertambah usia kita makin bertambah egois dan makin sulit menguasai diri. Hal ini sering kali menjadi batu sandungan dan sudah pasti tidak menjadi kesaksian yang baik bagi sekeliling kita.
Kisah Abigail menyadarkanku secara pribadi bahwa hubungan pribadiku dengan Tuhan adalah dasar dan sumber segala hikmat dan pengertian. Tuhan pasti memberikanku hikmat dan pengertian dalam setiap situasi, untuk aku makin memahami kehendak-Nya lewat dan di dalam hidupku. Kesadaran ini sepatutnya sekaligus menjadi dorongan dan motivasi untuk setiap perempuan, yang kini sedang membaca artikel ini, mengambil komitmen secara pribadi agar terus berlatih dan bertumbuh menjadi murid Kristus yang kuat dan dewasa.
Setiap perempuan perlu menyadari bahwa hidupnya amat sangat berharga serta bahwa keberadaan kita sebagai perempuan itu adalah sebuah keindahan. Kita, perempuan, adalah mahakarya Allah yang diberi-Nya satu peran istimewa sebagai penolong. Mari kita belajar dari Abigail, menjadi penolong untuk orang-orang di sekitar kita lewat kepekaan kita.
Saat kita belajar melalui artikel edisi ini, mari ingat pula bahwa bulan Maret ini membawa satu hari spesial bagi perempuan-perempuan di seluruh dunia. Tanggal 8 Maret adalah Hari Perempuan Internasional, yang telah diresmikan sebagai peringatan tahunan oleh PBB pada tahun 1977 silam. Keputusan tersebut diresmikan dengan tujuan untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan perdamaian di dunia. Tentu ini bukan merupakan sebuah kebetulan. Seperti Abigail yang membawa damai melalui kepekaan dan kebijaksanaannya, kita juga bisa mulai mewujudkan perdamaian di dalam keluarga serta orang-orang terdekat kita.
Hai perempuan, sadarilah…
Engkau diciptakan dengan keajaiban
Engkau dikaruniai kepekaan
Engkau diberi peran sebagai penolong
Engkau dinamai perempuan