“‘Emang kita nggak boleh nonton film? Kalau nonton konser musik emang kenapa nggak boleh? Tidur larut malam ‘emang kenapa nggak boleh? Apa tiap minggu harus ikut komsel? ‘Emang kalau nggak komsel, kenapa?” Pertanyaan-pertanyan ini muncul dari anak-anak, yang sekarang sedang beranjak remaja, kepada saya dan istri. Ketika saya menceritakannya kepada beberapa teman, ternyata gejolak yang sama juga banyak dihadapi oleh para orang tua lainnya. Saya dan istri jadi merenung tentang hal-hal yang sering dianggap sebagai pembatasan ini…
Dalam perjalanan kehidupan iman kita, banyak hal yang seolah-olah menjadi pembatasan. Perkataan kebenaran Alkitab dan arahan pemimpin sering terartikan sebagai kita harus lakukan ini, tidak boleh lakukan itu, dan lain-lain yang sering terasa sebagai tuntutan dalam hidup kita anak-anak Tuhan. Sejujurnya, gambaran hidup yang penuh batasan ini bukan hanya muncul di dalam pikiran anak-anak remaja kami; sebenarnya kami pun dulu juga sering berpikir demikian. Tanpa mengerti arti kasih karunia, kami hanya bisa melihat bahwa kami harus mengusahakan banyak hal dengan sekuat-kuatnya demi hidup berkenan di hadapan Tuhan. Padahal, hidup sebagai anak Tuhan yang juga Bapa yang penuh kasih karunia seharusnya bukan hidup yang serba dibatasi. Sulit bagi kami untuk menerimanya dengan pemahaman kami. Sementara kami sekuat tenaga berusaha hidup benar dengan tidak melanggar segala batasan itu, kami melihat banyak orang yang tidak hidup dalam kebenaran hidup “baik-baik saja”, menurut ukuran dan cara dunia melihat. Lalu, benarkah demikian?
Suatu ketika dalam sebuah perenungan, kami diajar dan diteguhkan lewat kisah Simon Petrus dan Yohanes yang menyembuhkan orang lumpuh di depan gerbang bait Allah. Dari kisah itu kami belajar bahwa hidup ini bukan hanya untuk emas dan perak, yaitu kekayaan material yang umumnya menjadi tolok ukur dunia bahwa kehidupan seseorang “baik-baik saja”. Ada tolok ukur yang jauh lebih penting, yaitu kasih dan kuasa kebangkitan ilahi. Kasih dan kuasa inilah yang membuat orang lumpuh bisa bangkit dan berjalan dalam kisah Simon Petrus dan Yohanes. Kesembuhan adalah sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebagai orang lumpuh, yang kini dia alami dan jauh lebih berharga dari emas dan perak, oleh kasih dan kuasa ilahi. Kami merenungkan kisah ini dan jadi belajar bahwa sebagai anak Tuhan, kita telah menerima kasih dan kuasa-Nya, yang jauh lebih berharga daripada segalanya itu. Maka, tidak ada alasan bagi kita untuk masih mengusahakan dengan cara-cara tertentu untuk mendapatkan kasih dan kuasa Tuhan. Tuntunan hidup yang Tuhan berikan adalah tuntunan untuk kita melangkah terus sebagai orang yang telah menerima kasih dan kuasa-Nya, agar kita terus berjalan dan dibangun di atas dasar iman yang benar dan bisa meneruskannya kepada bangsa-bangsa. Itu bukan pembatasan.
Dengan pengertian ini, kami pun menangkap prinsipnya. Pertanyaan tentang boleh atau tidak sesungguhnya tidak relevan. Ini bukan urusan boleh atau tidak, melainkan benar atau tidak. Kalau hidup kita dibangun di atas kebenaran (mengikuti tuntunan hidup dari Firman-Nya, baik melalui perenungan Alkitab pribadi maupun arahan pemimpin), kita akan makin teguh melihat kasih dan kuasa Bapa itu nyata dalam hidup kita. Semua pertanyaan boleh atau tidak itu akhirnya bermuara pada satu jawaban: ini bukan tentang boleh atau tidak, tetapi ini tentang benar atau tidak. Semua hal yang ditanyakan anak-anak kami itu pada dasarnya bukan tidak boleh dilakukan, boleh-boleh saja, tetapi yang terpenting adalah apakah semua hal-hal itu penting, berguna, dan membangun iman kita? Mana yang penting, berguna, dan membangun iman, menonton film di bioskop atau melayani orang tak mampu bersama teman-teman sekomunitas, misalnya? Menonton film, menonton konser musik, bermain game, bergadang, dan banyak hal lainnya perlu diperiksa dari satu kacamata saja: apakah hal itu penting, berguna, dan membangun iman? Jika ya, terus lakukan. Jika tidak, jangan lakukan. Kuncinya, perhatikan bagaimana kita hidup.
“‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. ‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.” – 1 Korintus 10:23