“Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” Matius 10:16
Menjawab pertanyaan pada judul, kita melihat pada ayat di atas bahwa Yesus berkata di dalam hidup ini menjadi tulus saja tidaklah cukup. Situasi di dalam kehidupan membutuhkan lebih dari sekadar memiliki ketulusan di dalam hati. Ketulusan memang penting; kondisi hati yang suci, kudus, dan berkenan kepada Tuhan ialah penting. Namun, kondisi hati saja tidak cukup untuk membawa kita bertahan hidup di dunia yang jahat ini. Dalam perkataan Yesus, kejahatan dunia digambarkan seperti kawanan serigala yang berkeliling mencari/mengincar mangsa, sedangkan kondisi orang benar yang hidup di dunia digambarkan sebagai domba yang berada di tengah-tengah kawanan serigala yang mengincar untuk memangsa. Cukupkah bagi si domba untuk memiliki hati yang baik dan tulus saja saat dirinya berada di tengah-tengah kawanan serigala?
Allah ingin kita hidup benar sekaligus berkemenangan. Ketulusan hati tidak pernah dimaksudkan-Nya untuk membuat kita senantiasa menjadi korban keganasan dunia. Karena itu, Yesus mengajarkan bahwa ketulusan hati harus disertai dengan kecerdikan dalam praktiknya.
Tulus berbicara soal kondisi hati, sementara cerdik berbicara soal kepandaian pikiran. Ketulusan di dalam hati menjaga manusia agar tetap hidup benar dalam takut akan Tuhan (1 Taw. 29:19 , “Dan kepada Salomo, anakku, berikanlah hati yang tulus sehingga ia berpegang pada segala perintah-Mu dan peringatan-Mu dan ketetapan-Mu, melakukan segala-galanya dan mendirikan bait yang persiapannya telah kulakukan,”); sedangkan kecerdikan di dalam pikiran membantu manusia membuat perencanaan, keputusan dan tidakan-tindakan yang konkret dan tepat agar dapat bertahan dan berkemenangan di dalam dunia yang penuh dengan kejahatan ini. Jelaslah, keduanya penting dan harus berjalan bersamaan: hati yang tulus dan pikiran yang cerdik.
Orang yang hanya memiliki ketulusan cenderung mudah salah membuat keputusan, terutama dalam hal waktu, cara, dan penyampaian. Niat hatinya baik, tetapi langkah-langkahnya bisa menjadi tidak tepat karena keputusan dan tindakannya tidak dipikirkan secara matang dan terencana. Semasa hidup-Nya di dunia, Yesus tidak hanya memberikan teladan kebaikan dan ketulusan, tetapi juga tindakan-tindakan yang cerdik dalam menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh orang-orang yang berusaha menjatuhkan Dia. Salah satunya ialah saat Yesus dihadapkan pada seorang wanita yang ketahuan berzinah (Yoh. 8).
Sebaliknya, orang yang mengandalkan kecerdikan semata bisa menjadi orang yang berbahaya dalam langkah dan tindakannya karena tidak ada rambu-rambu yang memperingatkan dia saat mulai melenceng. Bahkan, orang yang demikian dapat menghalalkan segala cara dari kecerdikannya untuk mencapai tujuan. Orang yang cerdik semata-mata tanpa ketulusan cenderung memandang kebenaran sebagai hal yang relatif dan bukan hal yang absolut; benar dan salah dinilai dari keuntungan dan kerugian pribadi semata (Ams. 16:2, “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati.”).
Tanpa mengesampingkan pentingnya ketulusan, kali ini kita akan secara khusus belajar tentang kecerdikan. Sedemikian pentingnya pengetahuan, sampai- sampai Tuhan berkata bahwa umat-Nya binasa karena kurang pengetahuan (Hos. 4:6, “My people are destroyed for lack of knowledge: because thou hast rejected knowledge, I will also reject thee, that thou shalt be no priest to me: seeing thou hast forgotten the law of thy God, I will also forget thy children,”). Yang dimaksud Tuhan di sini tentunya adalah pengetahuan yang benar, yaitu pengetahuan yang membawa pengertian dan pemahaman yang benar. Sejalan dengan ini, Amsal 13:16 berkata, “Orang cerdik bertindak dengan pengetahuan, tetapi orang bebal membeberkan kebodohan.” Ternyata, untuk menjadi cerdik dibutuhkan pengetahuan, dan pengetahuan didapatkan dari proses belajar dan didikan. Nah, dari mana pengetahuan yang benar ini bisa kita dapatkan?
Dalam Alkitab, sering kali hikmat dan pengetahuan disebut secara bersamaan tanpa dapat dipisahkan. Pengetahuan diidentikkan sebagai informasi yang tepat, sedangkan hikmat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan informasi yang tepat itu (pengetahuan) pada waktu dan cara yang tepat. Di kitab Amsal, Raja Salomo (yang tersohor sebagai orang paling berhikmat di seluruh dunia) pun tidak membedakan keduanya; istilah pengetahuan dan hikmat dipakai silih berganti untuk mewakili makna yang sama yakni bijaksana (Kol. 2:3; Roma 11:33; Yes 33:6). Selanjutnya, menurut Raja Salomo dalam tulisan-tulisannya, di dalam pengenalan akan Tuhanlah tersimpan kekayaan hikmat dan pengetahuan yang sesungguhnya.
Amsal 1:7 berkata, “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Menghina di sini berarti meremehkan, menganggap tidak penting, merasa tidak perlu. Orang yang menghina hikmat ialah orang yang tidak akan memperoleh pengetahuan, karena dia tidak mau takut akan Tuhan dan tidak mau mengenal Tuhan. Banyak orang Kristen berpikir bahwa pengenalan akan Tuhan hanya bersifat kerohanian saja. Mereka berkutat pada bagaimana memiliki hati dan karakter yang baik, tetapi tidak pernah berpikir bahwa Allah juga menghendaki mereka menjadi orang yang berhikmat. Sayang sekali, padahal hikmat Tuhan itulah yang sanggup menyelamatkan kita di masa-masa sulit.
Hikmat Tuhan berguna dalam segala situasi: pilihan-pilihan bisnis yang menyulitkan, situasi genting dan berbahaya, masalah keluarga, konflik-konflik hubungan dan kehidupan, dan banyak lagi lainnya; dalam semuanya ini tidak cukup hanya menjadi orang tulus tanpa memiliki pengetahuan yang benar bagaimana mengatasinya. Amsal 3:13-18 bahkan menyatakan, “Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian,karena keuntungannya melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas.Ia lebih berharga dari pada permata; apapun yang kauinginkan, tidak dapat menyamainya. Umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan. Jalannya adalah jalan penuh bahagia, segala jalannya sejahtera semata-mata. Ia menjadi pohon kehidupan bagi orang yang memegangnya, siapa yang berpegang padanya akan disebut berbahagia.”
Nah, agar kita mengenal dan memperoleh hikmat Tuhan, beberapa ciri, kualitas, atau kebiasaan berikut perlu kita kembangkan dan latih dalam diri kita:
Haus untuk belajar. Waktu mendengar Firman Tuhan, apakah Anda memiliki sikap hati yang haus atau ingin menangkap sesuatu dan belajar dari Firman itu? Sebagian orang membaca atau mendengarkan Firman Tuhan sebagai bagian dari “ritual” atau aktivitas kekristenan, tanpa roh mereka berusaha menyerap sesuatu daripadanya. Anda perlu memiliki minat, kehausan, dan rasa ingin tahu yang kuat untuk Anda bisa belajar sesuatu. Minat dan rasa ingin tahu yang besar itu akan membuat roh Anda menyerap setiap pengetahuan dari Firman Tuhan yang Anda terima. Inilah yang dimaksud dengan tanah hati yang baik dalam perumpamaan penabur benih yang Yesus ajarkan. Apakah benih itu jatuh di tepi jalan karena hati kita mengabaikan hikmat di dalamnya, ataukah benih itu jatuh di tanah yang subur dan menghasilkan buah-buah hikmat ilahi dari hati kita?
Berdoa meminta hikmat Tuhan sebelum memutuskan segala sesuatu. Yakobus 1:5-8, jelas mengajarkan hal ini, “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, — yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit — , maka hal itu akan diberikan kepadanya. Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan. Sebab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya.”
“Membedakan roh”. Janganlah menerima segala sesuatu yang Anda baca/dengar/lihat secara mentah-mentah. Latihlah diri Anda untuk memilah segala informasi yang masuk dengan roh yang peka, berdasarkan tuntunan Firman Tuhan. Anda perlu membiasakan Firman Tuhan dan Roh Allah di dalam diri Anda menjadi penyaring dan penentu segala sesuatunya (1 Yoh. 4:1; Ef. 5:9-10; Mat. 7:17-20).
Berani berbeda, tidak ikut-ikutan orang lain. Sering kali, kita lebih suka dan lebih nyaman mengikuti arus. Apa yang menjadi keputusan banyak orang, itulah yang dijadikan sebagai patokan. Padahal, seharusnya patokan kita bukanlah arus dunia atau tren yang sedang berlaku. Tuhan jelas memberikan tuntunan umumnya di dalam Alkitab, dan Dia punya kehendak yang spesifik dan unik atas kehidupan masing-masing orang. Ini termasuk untuk hidup Anda dan masa depan Anda. Berhentilah bersikap ikut-ikutan orang lain dan mulailah berpatokan pada kehendak Tuhan (Amos 5:4-5; Kol. 1:9-12).
Perenungan
Meminta nasihat sebagai pertimbangan boleh-boleh saja. Namun, tetaplah uji segala sesuatu.
Apa yang baik bagi banyak orang belum tentu merupakah kehendak Tuhan bagi Anda.
Temukan kehendak-Nya bagi Anda dalam perjalanan mengenal hikmat bersama dengan Tuhan.