Saya introvert. Saya suka kesunyian. Saya bukan orang yang terlalu banyak bicara, dan saya cenderung kelelahan menghadapi orang yang terlalu banyak bicara. Kesunyian membuat saya berpikir lebih tenang dan menangkap lebih jelas segala sesuatu. Menariknya, akhir-akhir ini saya sering menemukan suara Tuhan atau isi hati-Nya melalui mimpi. Ya, mimpi yang itu: “bunga tidur” di malam hari. Ketika saya renungkan, mimpi ialah saat saya diam dan sama sekali tidak “mampu” menjawab apa pun yang Tuhan sedang ucapkan atau sampaikan. Rupanya, saya yang introvert dan tidak banyak bicara ini pun kadang perlu berdiam dan bertenang sambil membebaskan Tuhan berbicara sepuas-puas-Nya.
Dulu sekali, ada sebuah lagu yang sering saya dengar di gereja, yang sepenggal liriknya berkata, “Ajarku berdiam, dekat di hati-Mu…” Lagu ini suatu pagi terngiang dan melekat begitu kuat di hati saya pada suatu pagi; setelah Tuhan berbicara kepada saya di dalam mimpi pada malam sebelumnya. Sebetulnya tidak ada topik khusus apa pun yang Tuhan sampaikan; Dia “sekadar” seolah menasihati atau bercerita tentang berbagai hal sehari-hari yang sedang saya alami, tetapi yang jelas “sesi Tuhan berbicara, saya mendengar” di dalam mimpi itu meninggalkan suatu sukacita dan iman yang jelas dan nyata ketika saya terbangun. Alhasil, saya mencoba merenungkan pengalaman ini terus dan membaca Alkitab tentang topik “berdiam”, lalu menemukan bahwa memang banyak sekali contoh pentingnya. Daud banyak berdiam dalam keintiman dengan Tuhan; Ayub baru menangkap maksud Tuhan setelah berdiam (setelah selama sekian pasal sibuk membela diri dan menjelaskan betapa dirinya adalah orang benar); Musa dan umat Israel disuruh berdiam dalam rangka menghormati kekudusan hadirat Tuhan, dan banyak lagi lainnya.
Kita tahu mendengar suara Tuhan itu penting, kita tahu menangkap pesan Tuhan itu perlu, dan kita tahu menerima Firman Tuhan itu kebutuhan bagi hidup kita. Namun, bayangkan apa yang terjadi kalau kita selalu sibuk berbicara saat berhadapan dengan Tuhan: apakah kita bisa mendengar suara-Nya, menangkap pesan-Nya, dan menerima Firman-Nya? Apakah mungkin ada mendengar, menangkap, dan menerima kalau kedua belah pihak sama-sama berbicara tanpa ada yang berdiam?
Urusan berdiam sering terlupakan karena orang Kristen, kita masing-masing, cenderung datang kepada Tuhan dengan berbicara. Kita sibuk meminta sesuatu, mengadukan suatu hal atau seseorang yang mengganggu hati dan hari-hari kita, menanyakan sesuatu yang bagi kita penting atau yang kita inginkan, dan lain-lain. Bukannya belajar berdiam, kita sering “memaksa” Tuhan untuk berdiam dan mendengarkan kita. Dia memang pasti mendengarkan segala keluhan dan doa kita, tetapi Dia pun ingin kita belajar berdiam, karena dengan berdiam kita bisa:
- Berfokus pada mendengar suara Tuhan
Kita tidak terganggu/terdistraksi dengan suara-suara yang lain, yaitu pendapat orang lain, kekacauan/kehebohan situasi yang sedang kita alami, keinginan/perasaan diri kita sendiri, dan sebagainya. Ini seperti yang Ayub alami, yang bisa kita baca di seluruh kisahnya dalam kitab Ayub. Setelah banyak sekali berbicara membela diri, akhirnya dia berdiam dan mendengar suara Tuhan dengan jelas lalu menangkap maksud-Nya di tengah-tengah segala kesengsaraan yang dia sedang alami.
- Mengizinkan Tuhan bebas menceritakan maksud-Nya
Kita menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan, apa pun kehendak-Nya itu; kita bukan mendikte Tuhan untuk menjawab pertanyaan yang menurut kita penting atau memaksa Tuhan memberikan sesuatu yang kita kehendaki. Kalau dulu para pemimpin pasukan Israel menolak arahan Tuhan melalui Yosua lalu sibuk memprotes dengan ribut, tentu mereka gagal meruntuhkan tembok kota Yerikho dan mereka tidak akan memasuki tanah Kanaan dengan kemenangan yang gemilang dan kegentaran yang melanda penduduk Kanaan (Yos. 6). Sering kali ketika rela berdiam, kita pada akhirnya akan mengerti dan menemukan bahwa kehendak Tuhan jauh lebih sempurna daripada apa yang baik menurut pemikiran atau kehendak kita.
- Menikmati keintiman pribadi dengan Tuhan
Seperti dua sahabat akrab atau pasangan dalam pernikahan yang semakin lama semakin menikmati kebersamaan mereka meski tanpa aktivitas atau topik pembicaraan apa pun, kita pun perlu belajar menikmati hubungan/connection dengan Tuhan sebagai Pribadi terdekat dan terkasih, meskipun kadang bisa jadi Dia hanya mengajak kita berduaan dengan Dia tanpa ada topik obrolan/diskusi khusus atau tanpa ada aktivitas pelayanan/agama apa pun. Daud dalam berbagai mazmurnya sering menyebut dan melakukan keintiman yang seperti ini, dan demikian pula kita perlu membiasakannya. Hadirat Tuhan dan kebersamaan kita dengan Dia sudah seharusnya cukup untuk menjadi sukacita dan ketenteraman kita.
- Menghormati/mengagumi kebesaran dan kekudusan hadirat Tuhan
Sebenarnya kebesaran dan kekudusan Tuhan memang tak terkatakan, dan segala akal atau bahasa manusia tak sanggup menggambarkan atau menjelaskannya. Hormati dan kagumi kebesaran dan kekudusan Tuhan dalam diam, karena sering kali dari situasi seperti inilah Tuhan menyampaikan perintah-Nya atau misi penting-Nya bagi kita; seperti Musa di hadapan semak yang menyala-nyala saat dia berada di padang gurun (Kel. 3:1-6), seperti Yesaya melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi menjulang dengan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci dan para Serafim di sebelah atas-Nya (Yes. 6:1-2), dan seperti Yohanes merenung dalam pembuangan di pulau Patmos lalu melihat segala rahasia akhir zaman yang berujung pada kemenangan total dan kekal Yesus, Sahabat terbaiknya (Why. 1:1, 22:8-9).
Nah, siapkah kita belajar berdiam dan mengizinkan Tuhan yang banyak berbicara kepada kita? Ingat, suara-Nya, pesan-Nya, Firman-Nya, adalah kebutuhan hidup yang mutlak bagi kita!