Baru-baru ini saya menonton film seri “13 Reasons Why”;, yang bercerita tentang seorang remaja usia SMU di Amerika Serikat yang meninggal karena mengakhiri hidupnya sendiri setelah mengalami tekanan jiwa luar biasa akibat bullying yang dilakukan oleh teman-teman sekolahnya. Kisah ini tragis, tetapi sangat relevan dengan situasi kita hari ini. Negara kita, kota kita, lingkungan kita, orang-orang yang kita kenal, tidak kebal terhadap kisah seperti ini. Di Indonesia, kita tahu dari berita-berita di berbagai media tentang kasus-kasus bullying terkini, seperti yang menimpa mahasiswa berkebutuhan khusus di Universitas Gunadarma dan yang menimpa siswi kelas VI SD yang terjadi di Mal Thamrin City. Di luar negeri, kita mendengar bahwa vokalis terkenal yang baru-baru ini meninggal juga karena bunuh diri, Chester Bennington, ternyata lama menahan derita akibat pelecehan dan bullying dalam berbagai bentuk sejak masa kecilnya. Bahkan, netizen Indonesia tercatat sebagai juara dunia pelaku cyberbullying (bullying di ranah internet), dengan menyumbang 38% dari total angka kasus cyberbullying di seluruh dunia. Fenomena yang memprihatinkan, tetapi sekaligus amat sangat nyata.
Hampir semua kasus bullying berakibat serius bagi si korban: kesepian dan depresi dalam berbagai tingkat, kecanduan zat-zat tertentu (alkohol, narkoba, makanan tak sehat, dsb.), upaya bunuh diri (yang berhasil maupun yang gagal), serta yang tak bisa diremehkan, “kebangkitan” menjadi pelaku bullying kepada korban “generasi” berikutnya. Saya pun menjadi korban bullying saat usia SMP, dan saya harus jujur mengakui bahwa sangat tidak mudah menjalani hari-hari sebagai remaja yang di-bully senantiasa, serta bahwa proses memaafkan serta membuang sisa-sisa dampaknya dari diri saya berjalan tak secepat yang saya inginkan. Pertanyaannya, bagaimana kita bersama-sama akan bangkit dari fenomena ini?
Dalam surat 2 Korintus, salah satu tema utama yang tampak jelas adalah “dalam kelemahanku, kuasa Kristus nyata dan sempurna bekerja”. Ini adalah Firman Tuhan, maka kebenarannya tidak perlu diragukan. Lalu, bagaimana kita bisa mengalaminya, khususnya dalam masa penuh kelemahan yang marak dengan bullying ini?
“Lemah” berarti “tak mampu”, “tak berdaya”, atau “lumpuh”. Orang yang mengalami kelemahan adalah orang yang tak mampu, tak berdaya, atau lumpuh dalam menjalankan aktivitas atau fungsi kehidupannya. Inilah yang terjadi pada para korban bullying. Cepat atau lambat dan bergantung pada tingkat kekuatan masing-masing pribadi, korban bullying akan stres, kesepian, depresi, dan mencari solusi-solusi yang dianggap akan menghentikan perlakuan bullying itu. Inilah sebabnya, banyak di antara mereka bosan/capek hidup, ingin mati, bahkan mencoba bunuh diri, termasuk mereka yang beragama Kristen. Mengapa begitu? Apakah mereka tidak ingat bahwa ada Tuhan? Apakah mereka tidak beriman bahwa Tuhan sanggup menolong? Apakah mereka tidak takut masuk neraka kalau bunuh diri?
Sebelum lebih jauh menyalahkan korban bullying, mari kita pahami masalah ini dalam kaitannya dengan ayat Firman Tuhan tadi, lalu kita mengambil bagian secara nyata dalam solusinya. Kita tahu, dan saya yakin cukup banyak di antara kita yang pernah mengalaminya, dampak serius dari bullying terhadap kondisi hati, mental, dan fisik kita. Di sisi lain, “kuasa” (yang disebut dalam janji Tuhan tadi) berarti “kehebatan”, “kemampuan/kesanggupan”, atau “wewenang/otoritas”. Tuhan menjanjikan bahwa kuasa-Nya akan bekerja dengan sempurna bagi mereka yang sedang mengalami kelemahan apa pun, termasuk akibat bullying, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna,” (2 Kor. 12:9). Betapa kontrasnya kuasa ini jika dibandingkan dengan kondisi kelemahan si korban!
Konteks ayat yang berisi janji Tuhan ini jelas dalam 2 Korintus 12:7-10. Paulus, penulis surat 2 Korintus, diizinkan Tuhan mengalami suatu kelemahan berupa “duri di dalam daging” atau “utusan Iblis” yang tak henti-henti “menggocoh” (mengganggu, atau bisa dikatakan, mem-bully) dia. Paulus telah berulang kali meminta supaya Tuhan membuat perlakuan penuh tekanan itu undur dari diri dan hidupnya, tetapi Tuhan justru tegas berkata bahwa kuasa-Nya akan bekerja sempurna dalam kelemahan Paulus. Kita tidak tahu berapa lama Paulus bergumul dengan stres atau depresi akibat kondisi ini, tetapi kita tahu bahwa akhirnya Paulus rela, senang, bahkan bermegah di dalam kelemahan, siksaan, kesukaran, penganiayaan, dan kesesakan itu. Ia menganggap semua itu adalah “karena Kristus” dan jalan untuk mengalami kuasa Kristus bagi dirinya, yang ia simpulkan sebagai, “…jika aku lemah, maka aku kuat.”
Ternyata, itulah rahasia kekuatannya: menjalaninya “karena Kristus”, yaitu memandangnya sebagai jalan untuk mengalami kuasa Kristus yang sempurna! Dengan menjalaninya “karena Kristus”, kita akan menjadi kuat karena kita mengizinkan kuasa Kristus turun dan dinyatakan kepada kita, bekerja dengan sempurna bagi diri kita. Bentuk dan caranya tentu bisa bermacam-macam menurut kreativitas karya Tuhan sendiri, tetapi ini pasti terjadi. Alangkah hebatnya kebangkitan orang-orang lemah, termasuk mereka yang menjadi korban bullying, jika mengalami janji Tuhan ini! Patutlah kita menguatkan mereka yang sedang dirundung kelemahan agar mereka bertahan hingga hal ini menjadi nyata dalam hidup mereka!
Nah, janji Tuhan ini memang benar dan indah, tetapi tentu alangkah baiknya jika kita melakukan lebih dari sekadar menyampaikannya kepada mereka yang lemah. Kita yang tidak (atau sudah tidak lagi) mengalami kelemahan memang tidak akan merasakan langsung apa yang mereka alami dalam kelemahan itu, tetapi kita bisa menjadi saluran kuasa Tuhan bagi mereka. Bagaimana caranya? Berhentilah melemahkan orang lain, baik melalui perkataan maupun perbuatan kita. Mari berefleksi dengan jujur, kapan terakhir kali kita melemahkan orang lain? Yakinkah kita bahwa perkataan dan perbuatan kita tidak mem-bully orang lain dan tidak mengakibatkan dampak negatif apa pun kepadanya? Meskipun kuasa Tuhan yang sempurna itu tersedia dan akan makin nyata berlimpah di dalam kelemahan, biarlah kita tidak menjadi orang-orang yang menyebabkan orang lain menderita dalam kelemahan. Kita tidak bisa mengontrol suasana hati orang lain, tetapi kita bisa mengontrol perkataan dan perbuatan kita sendiri. Dengan demikian, tidak perlu ada kisah-kisah kehidupan yang berakhir dengan tragis, bahkan rantai pelemahan akan terputus dan setiap orang menjadi lebih kuat oleh kuasa Tuhan itu.
Entah diri kita adalah korban, mantan korban, atau justru pelaku pelemahan dan bullying, kuasa Tuhan bisa dan pasti bekerja sempurna bagi kita. Ketika hal yang dijanjikan-Nya itu terjadi, kondisi kelemahan akan berbalik luar biasa. Saya membayangkannya seperti yang tertulis dalam Yesaya 61:3, “…perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, dan nyanyian puji-pujian akan ganti semangat yang pudar.” Bukankah ini yang Tuhan kehendaki bagi kita? Mari lakukan bagian kita masing-masing agar kita mengalaminya bersama!
Referensi:
1. Data statistik kasus bullying di seluruh dunia, terbitan UNESCO: http://unesdoc.unesco.org/images/0024/002469/246970e.pdf
2. Analisis pengamat mengapa netizen Indonesia menyumbang 38% kasus cyberbullying, tertinggi di dunia: http://jamespatrick26.blogspot.co.id/2017/07/4-alasan-kenapa-netizen-indonesia-bisa.html