Aku merasa waktuku hampir tiba. Sakit di dadaku terasa begitu menusuk, rasanya aku tidak kuat lagi untuk bertahan. Namun, aku masih merasakan pijatan Bu Darmi di kakiku dan usapan kain basah di keningku oleh tangan Bu Suti. Samar-samar, terdengar olehku Bu Ayu, Bu Yati, dan Bu Tuti terisak-isak menangis di sisi kiri dipanku, “Jangan pergi, Tabita… Kami semua sayang kamu…” Lirih ucapan Bu Yati terdengar sambil tangannya mengusap air mata. Aku berusaha tersenyum, walau jiwaku rasanya sudah siap pergi meninggalkan mereka.
Pada saat-saat berjuang dengan waktu itulah, aku kembali teringat ketika aku baru tiba di kampung nelayan ini. Begitu segar aroma laut tercium di hidungku. Kapal-kapal nelayan tenang bersandar di tepi laut dengan beberapa jala masih menggantung dijemur di pinggir kapal. Yope, sebuah kampung pelabuhan di pantai Laut Tengah yang dihuni oleh para nelayan ini, rupanya juga banyak memiliki janda. Pada musim-musim tertentu, keadaan cuaca sangat buruk sehingga para nelayan sering mengalami perahu karam dan tenggelam. Banyak di antara perempuan di sana bukan saja kehilangan suami mereka, melainkan juga nafkah mereka dan pengharapan mereka.
Siang itu, aku bertemu dengan Bu Suti, pemilik rumah dua lantai yang sedang mencari penghuni untuk menyewa kamar kos di rumahnya. Bu Suti yang berpenampilan sangat sederhana itu, bahkan baju yang dikenakannya kelihatan lusuh dan usang, menyambutku dengan ramah. Bu Suti ialah salah satu janda di kampung ini. Ia telah kehilangan suaminya setahun sebelumnya, akibat perahunya karam saat melaut. Saat itu juga, aku memutuskan untuk menetap di rumah Bu Suti.
Setiap petang, aku berjalan menyusuri gang-gang sempit di kampung ini, sambil menyapa beberapa janda yang sedang beristirahat di teras rumahnya masing-masing. Sesekali aku mampir dan berkumpul dengan beberapa ibu-ibu untuk melepas lelah, saling curhat, atau sekadar bersenda gurau sambil mencicipi sajian sore yang sederhana. Ada perasaan iba bercampur sedih di relung hatiku mendengar cerita mereka berjuang dalam hidupnya. Kecantikan fisik mereka kebanyakan telah sirna ditelan ganasnya kehidupan. Sinar kegembiraan amat jarang tampak di wajah mereka karena hari-hari mereka telah menjadi terlalu akrab dengan penderitaan. Kemiskinan terus melumpuhkan hidup mereka, membuat mereka tak sanggup meraih hal-hal yang sebenarnya mereka dan anak-anak mereka butuhkan. Acap kali aku bertanya kepada Tuhan sambil mengobrol dengan para janda itu, “Tuhan, apa yang bisa kulakukan untuk mereka?”
Suatu ketika, aku teringat akan Firman yang Tuhan ucapkan ketika Musa berargumen dengan-Nya di gunung Horeb. Tuhan bertanya kepada Musa, “Apa yang ada di tanganmu itu?” Musa menjawab, “Tongkat.” “Pergilah dan bekerjalah dengan tongkat itu,” kata Tuhan. Pertanyaan yang sama juga Allah berikan kepadaku, “Apa yang ada di tanganmu, Tabita?”
Setelah itu, aku mulai merenungkan pertanyaan Tuhan sambil pikiranku terus terbayang dengan ibu-ibu kampung Yope. “Jarum dan benang, Tuhan!” seruku. Kurasakan hatiku bersukacita saat menjawab. Ya, jarum dan benang yang kupunya mungkin akan sangat berguna bagi mereka. Sejak itu, aku mulai menyibukkan hari-hariku dengan talenta yang telah Tuhan berikan kepadaku: menjahit baju. Dan, aku punya rencana istimewa dengan talenta ini, untuk melakukan sesuatu bagi ibu-ibu janda itu.
Setelah beberapa hari tidak berkeliling karena sibuk menjahit di kamar kos, suatu hari seperti biasanya, aku menemui ibu-ibu janda di gang-gang kampung Yope. Mereka pun telah terbiasa menanti kedatanganku setiap petang. Namun kali ini, aku datang membawa sesuatu yang berbeda. Kali ini aku datang dengan membawa beberapa helai baju hasil jahitan dengan jarum dan benang, yaitu “tongkat” yang ada di tanganku. Aku telah membuatkan baju-baju untuk mereka dan anak-anak mereka! Hangatnya hatiku tak akan kulupakan saat mereka masing-masing begitu bersukacita menerima baju-baju itu; betapa ketekunan yang sederhana ini telah menjadi berkat yang nyata bagi mereka semua! Hari itu, bersama beberapa ibu janda aku menutup pertemuan kumpul-kumpul kami di salah satu rumah dengan doa ucapan syukur kepada Tuhan. Indah sekali kami rasakan aliran syukur yang telah lama terlupa dari hati ibu-ibu ini…
Setibanya di kamar kosku di rumah Bu Suti, kembali aku bersyukur dengan penuh sukacita kepada Tuhan. Tak kusangka, kerinduan yang telah lama memukul-mukul hatiku untuk melakukan sesuatu untuk memberkati ibu-ibu janda kampung Yope kini terjawab. Aku menjadi kepanjangan tangan Tuhan bagi mereka dengan apa yang ada di tanganku. Talenta menjahit dan alat-alat yang menjadi “tongkat” di tanganku telah Tuhan pakai dan ubah menjadi karya yang memberkati mereka dan anak-anak mereka. Lewat baju-baju hasil jahitanku, nama Tuhan dipermuliakan karena ibu-ibu janda itu kembali mengalami indahnya bersyukur serta belajar mengenal Tuhan yang menjadi sandaran bagi hidup mereka. Sukacita yang kulihat di wajah para janda itu ketika mereka mengerti bahwa ada Tuhan dalam hidup mereka yang sanggup memelihara dan melindungi mereka sungguh luar biasa!
Di dipan kecil di kamar kos ini, sambil mengingat perjalanan pengalamanku bersama ibu-ibu janda kampung Yope, tak terasa air mata terakhirku mulai mengalir. Tangisan Bu Yati dan Bu Tuti semakin tidak kudengar lagi. Bu Suti, pemilik rumah tempat aku menyewa kamar kos, pun mulai terlihat makin samar oleh mataku. Malahan, aku melihat sebuah tangan menyambutku. Tangan itu memang belum pernah kulihat langsung, tapi hatiku sangat mengenalnya. Tangan itulah yang selalu merangkulku saat aku mulai goyah ketika berjalan. Tangan itulah yang menarik tanganku sendiri ketika aku tersandung jatuh. Tangan itulah pula yang memelukku pada waktu-waktu aku menangis. Ya, itulah tangan Yesus, Tuhanku sekaligus Kekasih jiwaku! Yesus telah menyambut aku dan aku siap pergi bersama-Nya…
————————————————-
Sambil berduka, ibu-ibu janda itu kini sedang sibuk mempersiapkan penguburanku. Namun, tiba-tiba mereka mendengar kabar dari salah satu nelayan bahwa seorang murid Yesus, yaitu Petrus, sedang melayani di kota Lida. Kota Lida hanya sepuluh mil jaraknya dari kampung Yope. Wah, ini kesempatan yang sangat baik! Mereka segera menyuruh dua orang untuk pergi menjemput Petrus. Mereka tahu bahwa Petrus memiliki kuasa yang luar biasa; banyak orang sakit menjadi sembuh saat terkena bayangan Petrus. Siapa tahu, Petrus bisa menyembuhkan diriku, sehingga meski telah meninggal pun aku bisa hidup kembali, pikir ibu-ibu janda itu. Dalam kepolosan mereka, memang kini mereka telah belajar untuk berharap akan mukjizat dan kebaikan Tuhan. Mereka tahu, Tuhan pun selalu berkehendak baik bagi hidup mereka. Seluruh harapan mereka kini terpusat pada kedatangan Petrus untuk membangkitkan aku, Tabita, dari kematian.
Petrus, yang dijemput sambil dikabari tentang kematianku, setuju untuk bergegas datang ke kampung Yope dan langsung menuju rumah Bu Suti. Petrus memang telah lama mengenalku. Di ruang atas, kamar kos tempat jasadku dibaringkan, ibu-ibu janda masih berkumpul menangisi kepergianku. Sebagian dari mereka yang tadinya mulai mempersiapkan penguburanku kini ikut berkumpul di kamar kos kecil itu, memanjatkan doa dan harapan mereka agar aku dibangkitkan kembali dari kematian. Ketika Petrus tiba, ia langsung dikerubuti oleh para janda itu. Dengan pilu mereka menceritakan kepada Petrus betapa dalam rasa kehilangan mereka akan diriku. Mereka juga memperlihatkan baju-baju yang telah kubuat bagi mereka dan anak-anak mereka. Petrus diam, tetapi sejenak kemudian meminta agar semua orang meninggalkan ruangan itu. Sontak, ibu-ibu janda itu patuh. Mereka keluar meninggalkan kamar kosku sambil berharap sungguh-sungguh akan pekerjaan Tuhan.
Petrus kini sendirian bersama jasadku. Ia mulai berlutut dan berdoa kepada Allah. Kemudian, ia berpaling dan berkata langsung kepada jasadku, “Tabita, bangkitlah!” Kuasa Allah yang Mahatinggi memenuhi ruangan itu. Aku tiba-tiba merasakan ada udara panas yang melingkupi tubuhku. Aku seperti terbangun dari sebuah mimpi yang dalam; mataku pun mulai terbuka, kulihat wajah Petrus tersenyum di hadapanku, dan… aku hidup kembali!
Aku pun turun dari kamar kos itu ke lantai bawah. Kembalinya aku dari kematian bukan hanya membuat para janda yang masih berkumpul itu begitu gembira, tetapi seluruh kampung Yope gempar akan peristiwa ini. Mereka menyaksikan mukjizat yang besar. Allah begitu luar biasa melakukan perkara besar dan menjawab doa mereka, jauh dari segala pengalaman mereka sebelumnya. Sejak peristiwa aku hidup kembali itu, mereka mulai sungguh-sungguh percaya dan menghormati Allah sebagai satu-satunya Tuhan atas hidup mereka. Seluruh kampung Yope tak henti-hentinya membicarakan kehebatan dan kuasa Allah, bahkan menceritakannya kepada anak-anak mereka.
Aku sendiri? Tentu, aku sungguh bersyukur dan bersukacita pula. Aku memang telah siap untuk pergi ke alam surgawi bersama Yesus saat itu, tetapi ternyata melalui peristiwa kebangkitanku ini, para penduduk kampung Yope menjadi percaya Yesus. Bahkan, kini ada semangat dan pengharapan baru di dalam hidup ibu-ibu janda itu, karena mereka mempunyai hidup yang baru. Hidup yang mengandalkan Allah dan hidup yang mempunyai pengharapan akan kekekalan yang indah bersama Allah di surga kelak.
Refleksi Pribadi:
- Talenta apa saja yang telah Tuhan berikan di dalam hidup Anda?
- Sudahkah Anda menggunakan talenta itu untuk menjadi berkat bagi orang lain?
- Sudahkah talenta itu Anda pakai sehingga hidup Anda membawa dampak yang baik bagi komunitas atau orang-orang di sekitar Anda?