///Di Hadapan WajahNya

Di Hadapan WajahNya

Pagi itu jadi begitu berbeda bagi Kuntari, matanya masih sembap berurai air mata; bukan air mata kesedihan, tetapi air mata bahagia, haru, kagum, dan semua rasa indah yang sulit diungkapkan dengan kata-kata… Kehadiran Tuhan kepada dirinya secara pribadi itu bahkan dapat terasa oleh indra manusiawinya. Sesuatu yang rohani ternyata dapat menjadi begitu nyata secara jasmani!

 

Masih segar dalam ingatan Kuntari apa yang terjadi kemarin. Hatinya begitu terganggu. Pikirannya tak habis-habisnya menganalisis seluruh hal yang terjadi. Perasaannya segera ingin menyelesaikan semua pertanyaan yang mengganjal. Semuanya bermula dari percakapan telepon dari Mia, yang mempertanyakan pandangan dan pernyataan Kuntari tentang suatu hal yang sedang marak dibicarakan di kalangan teman-temannya. Rupanya, Mia mendengar kabar dari orang lain mengenai pendapat Kuntari tentang hal itu, yang sebenarnya berbeda dari isi hati Kuntari. Walaupun saat Mia menelepon Kuntari masih bisa menanggapi dengan jernih dan berusaha untuk tidak membela diri, setelah percakapan telepon selesai, berbagai analisis melintas lalu lalang di pikirannya. Segala aktivitasnya jadi terusik sepanjang hari itu.

 

“Kok bisa ya Mia berpikir seperti itu tentang aku?” pikiran heran itu terus mengganggu Kuntari. Rasa tidak dipercaya, bahkan lebih jauh lagi, rasa dikhianati, meremas-remas hatinya. Mia bukan sembarang orang bagi Kuntari. Mereka sudah bersahabat begitu lama, hampir 30 tahun, dan kejadian hari itu seolah meruntuhkan semua gambaran Kuntari tentang persahabatan yang terjalin di antara mereka berdua selama ini. Hanya karena omongan seseorang yang belum lama dikenalnya, Mia seakan-akan mudah saja meragukan ketulusan hati Kuntari, sahabatnya sendiri. Akibatnya, semua pikiran yang berkecamuk itu berakhir dengan kesedihan jauh di dalam hati Kuntari. Akhirnya, dia memutuskan untuk menuliskan semua rasa itu di dalam buku catatan pribadinya. Kuntari menyebut bukunya itu “buku sampah”, karena memang ke dalam buku itulah segala sampah perasaan dan pikiran dibuangnya. Menulis menolong dan melatihnya selama ini untuk kembali “waras” jika ada kejadian yang mengganggu hati dan pikirannya; dengan menulis Kuntari tertolong untuk mengelola pikiran-pikiran yang mengusiknya. Demikian pula dengan kejadian kali ini, Kuntari pun mulai menulis untuk membuah semua sampah psikologisnya itu. Rupanya, kejadian itu mengganggu hatinya lebih dari yang dia perkirakan Malam itu bahkan Kuntari tertidur sambil menangis.

 

Esok paginya, Kuntari terbangun dengan pikiran pertama berupa ucapan Mia yang masih terasa sakit di hatinya. “Bapa, tolong aku! Ini sama sekali tidak benar, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya supaya semua pikiran ini bisa pergi. Tolong aku untuk menjalani sepanjang hari ini dengan kasih karunia-Mu, beri tahu aku dan berbicaralah tentang apa yang harus kulakukan. Dalam nama-Mu, Tuhan Yesus, aku berdoa. Amin…” doa singkat Kuntari di pagi hari itu.

 

Mulailah Kuntari membuka Alkitabnya. Jam menunjukkan pukul 05:15 tetapi pagi itu matahari sudah cukup terang, angin bulan November berhembus lembut dan sejuk, Kuntari menikmati suasana pagi itu sambil duduk tepat di depan jendela kamar tidurnya. Renungan saat teduh pagi itu adalah dari Kejadian 6:5-8, tentang Nuh, orang yang mendapat kasih karunia di mata Tuhan saat kejahatan manusia terlalu besar di bumi. Disebutkan di salah satu ayat bahwa segala kecenderungan hati manusia selalu membuahkan kejahatan semata-mata. Bahkan, tercatat di Kejadian 6:6 bahwa Tuhan menyesal menjadikan manusia (repented – Alkitab versi KJV) dan itu sangat memilukan hati-Nya (grieved – Alkitab versi KJV). Dibacanya kembali empat ayat itu dua tiga kali. Sesaat Kuntari berhenti di dua kata yang entah mengapa menarik hatinya: “kecenderungan hati. Saat itulah, Kuntari terdorong untuk mengambil waktu untuk merenungkan apa yang menjadi kecenderungan hatinya sendiri. Sejurus kemudian, kesadarannya menemukan bahwa hatinya cenderung merasa ditinggalkan, tidak dipercaya, dikhianati, tidak dikasihi, dan tidak dimengerti. Semua hal itu makin disadarinya sebagai sisi gelap hidupnya selama ini. Segera Kuntari mengambil buku jurnalnya dan menuliskan semuanya. Kali ini, pencerahan yang ditulisnya, bukan sampah lagi. Kemudian, seolah dituntun, sebuah lagu mulai mengalun di hatinya, lagu lawas dari buku Kidung Jemaat yang di usia belia dulu sering dipakainya. Kuntari pun mulai bernyanyi dari hatinya…

 

Tenanglah kini hatiku, Tuhan memimpin langkahku
Di tiap saat dan kerja, tetap kurasa tangan-Nya
Tuhanlah yang membimbingku, tanganku dipegang teguh
Hatiku berserah penuh, tanganku dipegang teguh

Di malam yang gelap benar, di taman indah dan segar
Di taufan dan di laut tenang, tetap tanganku dipegang
Tuhanlah yang membimbingku, tanganku dipegang teguh
Hatiku berserah penuh, tanganku dipegang teguh

 

Nyanyian itu mengalir begitu saja dari hati Kuntari, bahkan meluap sebagai korban syukurnya untuk datang kepada Tuhan dan menyadari bahwa setiap hal yang “menimpanya” dan dilakukannya sesungguhnya terjadi di hadapan wajah Tuhan. Ah, betapa Allah sungguh mengerti hatinya!

 

Melalui lantunan kidung pujian itu, Tuhan seolah Tuhan sedang berbicara langsung di hadapan Kuntari. Kuntari sungguh menikmati momen intimnya berdua saja dengan Tuhan pagi itu. Matanya terpejam dan mulutnya bersuara menyanyikan pujian dari hati, dan muncullah sebuah kesan kuat yang bahkan bisa dilihat serta dirasakannya dengan nyata melalui indra-indra manusiawinya: dia sedang berjalan, dan dia tidak berjalan sendiri, ada tangan yang memegang tangannya. Kuntari segera menyadari bahwa itu adalah tangan Tuhan Yesus. Bagaimana tidak, dia bisa merasakan luka bekas paku di tangan itu; luka itu masih basah dan berlubang, bahkan aroma darah yang keluar pun tercium di hidungnya. Kuntari kini dilingkupi rasa damai yang sungguh tak terkatakan. Lidahnya kelu hingga mulutnya tak lagi sanggup menyanyi mengeluarkan suara. Yang ada hanyalah ucapan syukur, bahagia, haru, dan kekaguman yang luar biasa, membanjiri dirinya… Her heart and mind are just overwhelmed by God’s presence! Kesan ini singkat memang, tetapi begitu dalam mengubah hati dan pikirannya untuk kembali berfokus pada Tuhan dan bukan kecenderungan hatinya sendiri. Tuhan Yesus telah datang kepada dirinya; damai-Nya menguasai hati Kuntari, kebenaran-Nya meraja atas pikiran Kuntari.

 

Perlahan, sebuah doa sederhana keluar dari mulut Kuntari, “Terima kasih Tuhan, karena Engkau memegang tanganku… Terima kasih untuk tangan-Mu yang berlubang paku, terima kasih karena Engkau adalah Tuhanku yang mati, bangkit, dan hidup, naik ke surga dan memerintah selama-lamanya, termasuk memerintah atasku. Terima kasih Tuhan, karena aku boleh mengenal dan dikenal oleh-Mu, dikasihi dan mengasihi-Mu. Terima kasih, Tuhan.”

 

Dalam kondisi matanya masih basah, Kuntari langsung mencatat lagi semua kelanjutan sentuhan tangan Tuhan itu di buku jurnalnya. Pagi itu, sebuah keputusan muncul di hatinya: Kuntari merelakan untuk disalah mengerti dan memercayakan kepada Tuhan semua rasa di hatinya. Seketika setelah mengambil keputusan itu, merdeka dan sukacita menguasai hatinya. Kuntari makin yakin bahwa hidup dengan kesadaran bahwa segala sesuatu di hidupnya terjadi di hadapan wajah Tuhan adalah mutlak, dan itu artinya Tuhan memahami semua detail pikiran dan perasaannya. Pribadi Tuhan itu lebih dari cukup bukan hanya untuk menjawab semua kegundahan hatinya, tetapi juga memberikan sebuah kebenaran serta kepastian bahwa Allah pun sangat rindu untuk dikenal secara pribadi.

 

Waktu pribadi bersama Tuhan itu sungguh sebuah pengalaman indah bagi Kuntari yang tidak berdasarkan sebuah ritual ataupun metode tertentu apa pun. Tuhan hadir dan menyatakan diri-Nya dengan cara yang berbeda-beda, yang sangat unik dan pribadi kepada orang-orang terkasih-Nya, termasuk kepada Kuntari. Cara-cara Tuhan itu akan ditemukan dalam perjalanan setiap orang bersama Tuhan, yang mengerjakan pertumbuhan keintiman dengan-Nya dan membuat orang yang mengalaminya makin mengenal dirinya sendiri maupun mengenal Tuhan. Betapa ruginya kita jika memaksakan atau bertahan dengan cara tertentu saja untuk mengenal dan berhubungan kasih dengan Dia, hanya karena kebiasaan atau kenyamanan atau kesamaan dengan orang lain! Kebenaran itu sungguh begitu indah untuk dipahami dengan pikiran manusia yang terbatas, tetapi yang jelas Tuhan selalu rindu untuk dikenal secara pribadi oleh orang-orang yang dikasihi-Nya.

 

Kuntari menang, dia pun menjalani hari itu dengan hati ringan dan sukacita… Bahkan saat siang harinya harus bertemu Mia di sebuah pertemuan virtual, tak ada lagi rasa enggan tersisa di hatinya. Kebenaran memang memerdekakan. Hidup dengan kesadaran bahwa apa pun yang kita lakukan dan alami terjadi di hadapan wajah Tuhan adalah hidup dalam kelimpahan kasih karunia Allah yang tidak terbatas!

 

Pertanyaan refleksi:

  1. Bagaimanakah hubungan pribadimu dengan Tuhan dalam satu bulan terakhir ini?
  2. Kapan terakhir engkau mendengar suara-Nya? Amati dan temukan pola cara Tuhan berbicara di dalam hidupmu.
  3. Sudahkah engkau makin mengenal Tuhan secara pribadi dan makin mengenal dirimu sendiri lewat waktu pribadimu bersama dengan Dia?
  4. Buatlah komitmen untuk melakukan disiplin rohani pribadi (berdoa, merenungkan dan membaca Firman­) dengan kesadaran dari dalam hatimu, karena itulah yang menghasilkan pertumbuhan dan kedewasaan kita sebagai murid Kristus.

 (diangkat dari kisah nyata)

 *Keterangan: Di hadapan wajah-Nya, di hadirat-Nya, di hadapan Allah ialah makna dari konsep/istilah yang banyak digunakan di gereja: Coram Deo

2020-11-26T13:03:24+07:00