//Does This Spark Joy?

Does This Spark Joy?

Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk membaca Alkitab. “Jangan sisakan waktu untuk baca Alkitab, tapi justru prioritaskan waktu yang paling utama,” nasihat seorang teman baik saya soal ini. Sayangnya, ketika saya membuka Alkitab, biasanya mendadak segala sesuatu tampak lebih menarik untuk dikerjakan lebih dahulu. Kamar seketika terlihat berantakan dan muncul keinginan untuk merapikan letak beberapa barang, padahal sebelum ini saya tidak peduli dengan tampilan “abstrak” kamar saya. Selain itu, kulkas di dapur pun seperti ikut “memanggil-manggil” saya untuk memeriksa isinya, apakah ada makanan yang baru untuk sarapan, padahal pikiran saya tahu betul bahwa tidak ada yang baru di dalamnya.

 

“Membaca Alkitab” sering menjadi seperti aktivitas yang enggan saya pertahankan di dalam keseharian saya. Saya tidak membenci Alkitab, tetapi memang harus diakui ada momen-momen ketika membacanya seperti membutuhkan energi yang ekstra besar. Saya setuju bahwa membaca dan merenungkan Firman Tuhan adalah penting, tetapi bagaimana lagi, kadang membaca Alkitab tidak lagi membawa percikan sukacita (sparks joy, seperti kata Marie Kondo), bahkan justru membosankan?

 

Kadang, materi panduan renungan harian membawa saya ke bagian Alkitab tertentu yang saya sudah pernah baca, dan saya kehilangan minat untuk melanjutkannya, karena saya merasa sudah tahu ujung ceritanya. Daniel tidak mati dimakan singa, Nuh beserta keluarganya selamat dari air bah, Yesus bangkit, dan lain sebagainya. Tidak ada lagi yang menarik, tidak lagi ada lagi joy, dan rasanya perhatian saya lebih baik dialokasikan untuk mengecek handphone dan membuka tampilan media sosial mencari berita terbaru.

 

Namun, akhirnya saya menyadari bahwa ketika saya memperlakukan Alkitab seperti buku cerita, suatu saat saya tentu akan merasa bosan. Buku cerita sebagus apa pun, bila kita baca berulang kali, pasti akan membuat kita jenuh karena cerita yang sama itu terus diulang-ulang. Sebaliknya, bila kita memakai Alkitab sebagai sebuah sarana untuk berkomunikasi dengan Bapa, tentu akan ada yang baru setiap kali kita membacanya. Daripada mengikuti alur babak dari kisah yang kita baca sebagai suatu cerita belaka, lebih baik kita bertanya, “Bapa, engkau ingin aku belajar apa dari kisah (ayat/perikop) ini?” Kisahnya mungkin sama, tulisannya mungkin tidak berubah, ujung ceritanya juga itu saja, tetapi semakin kita dewasa dalam pengenalan akan Tuhan, cara kita melihat tentu akan berubah. Perikop yang sama yang pernah kita baca di waktu yang lalu, akan memberikan pembelajaran yang berbeda di musim hidup kita yang sekarang. Alkitab akan terus-menerus “sparks joy” bila kita berfokus pada Penulisnya, bukan pada tulisannya.

 

Istilah sparks joy dipopulerkan oleh Marie Kondo, seorang wanita berdarah Jepang yang dikenal sebagai “ahli kerapian”. Menurut dia, yang membuat rumah atau kantor kita kelihatan tidak rapi adalah karena kita terlalu banyak menaruh dan menyimpan barang di dalamnya. Dengan membuang barang-barang yang tidak diperlukan, ruangan kita jadi jauh kelihatan rapi dan mudah untuk diatur. Kita mungkin sulit untuk memilah barang mana yang pantas kita buang dan mana yang dipertahankan; nah, Marie Kondo menyarankan untuk melihat apakah barang tersebut masih memberikan percikan rasa sukacita bagi kita? Kalau tidak lagi, lebih baik disingkirkan saja.

 

Kembali ke urusan membaca Alkitab. Apakah bila karena kesibukan kita tidak berhasil untuk berfokus pada Tuhan, kita harus menyingkirkan kegiatan membaca Alkitab setiap pagi? Masalahnya, memasukkan membaca Alkitab dalam jadwal rutin kita seperti ancaman serius yang akan merusak kegiatan kita, terutama di hari yang sangat padat. Seandainya dipaksakan, kita pun akan merasa kesal dan ogah-ogahan, apalagi sampai membuat jadwal berantakan. Kekesalan kita seakan bentuk protes kepada Tuhan, “…Kenapa sih saya harus membaca Firman? Membaca Firman-Mu menganggu jadwal saya saja!”

 

Dalam Yohanes 6:63, Yesus berkata “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.” Mari dengarkan perlahan-lahan perkataan Yesus ini di dalam hati kita sambil merenungkannya. Bila memang perkataan Tuhan adalah hidup, mungkinkah Dia memberikan kita kehidupan yang sedemikian sibuk sehingga tidak memiliki ruang untuk membaca perkataan-Nya?

 

Pada dasarnya gen Allah sebagai kreator ada di dalam diri manusia, yang telah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Bila manusia menginginkan sesuatu tetapi dihalangi oleh tantangan yang berat, manusia akan menggunakan apa yang dia punya untuk mengkreasikan suatu terobosan demi mendapatkan apa yang diingininya itu. Jika berbagai macam alasan mencoba menghalangi kita membaca Alkitab, seperti kesibukan, kamar yang berantakan, isi kulkas, media sosial, dan sebagainya; bukankah kita manusia sanggup membuat sesuatu untuk mengatasi hal tersebut, asalkan tujuan itu penting buat kita?

 

Bryan dan Brian Chung, juga mengalami hal yang sama; dilema mereka ketika ingin membaca Alkitab adalah tata letak tampilan tulisan yang sangat mengintimidasi. Satu halaman Alkitab diisi oleh tumpukan tulisan membuat mereka sulit untuk menikmati membacanya. Mereka berdua lalu melakukan terobosan dengan mendesain ulang layout tulisan Alkitab dengan memperhatikan estetika desain yang disukai oleh generasi milenial, kemudian mencetaknya1. “Alkitab sangat indah dan penting untuk kita baca,” kata mereka, “…kita ingin membantu generasi Instagram ini untuk dapat memiliki pengalaman indah ketika mereka membacanya.”

Tidak mudah untuk membuat desain tulisan Alkitab menjadi sangat menarik untuk dibaca; Brian dan Bryan Chung sampai berhenti dari pekerjaannya demi berfokus melakukan proyek besar itu. Tantangan tidak membuat niat mereka surut untuk membaca Firman Tuhan. Kita pun bisa melakukannya! Jika kesibukan menjadi alasan utama, kita dapat mengatur jadwal dengan baik sehingga kita bisa memiliki waktu khusus untuk fokus membaca Alkitab tanpa terdistraksi oleh berbagai hal. Atau, kita bisa menjadikan “membaca Alkitab” passion kita, sehingga mau tidak mau kita akan bela-belain melakukannya.

 

“Memiliki kesukaan yang besar terhadap sesuatu” barulah separuh dari arti kata passion yang sesungguhnya. Passion berasal dari kata latin pati yang artinya untuk menderita2, sehingga dapat disimpulkan bila kita melakukan sesuatu dengan passion artinya adalah terdapat kerelaan untuk menderita demi melakukan kegiatan tersebut, karena kita sangat menyukai melakukan hal tersebut. Passion bukanlah melakukan hal yang disenangi dan ketika hal tersebut menuntut kita untuk berkorban dan akhirnya tidak lagi sparks joy, kita pun berhenti melakukannya. Ketika membaca Alkitab dijadikan sebagai sebuah passion, kita akan sadar bahwa hal tersebut membutuhkan kedisiplinan untuk dilakukan. Kita tidak lagi melihat apakah kegiatan ini memberikan percikan sukacita atau tidak; kita tetap melakukannya karena kita terlalu suka melakukannya dan kita sadar Firman Tuhan mampu menjaga hidup kita. “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.” (Mazmur 119:9).

 

Menurut studi dari Barna Group3 di tahun 2014, ketika generasi milenial melihat ayat Alkitab di media sosial, film atau di mana pun, mereka selalu berespons antipati dan skeptis. Lalu, bila ada anak muda non-Kristen tertarik membaca Alkitab, alasan terbesar mereka melakukannya bukanlah karena melihat post ayat rohani di media sosial, melainkan transformasi hidup seseorang yang mereka kenal oleh isi Alkitab.

 

Bayangkan bila kita menganggap bahwa membaca Alkitab adalah sebuah beban yang dilakukan dengan terpaksa. Orang lain di sekitar kita tentu makin skeptis dengan Alkitab, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebaliknya, bila kita menunjukkan perubahan hidup serta mempertahankan sikap yang baik sesuai dengan Firman Tuhan, orang lain tentu akan terdorong untuk membaca Alkitab. Bila orang lain saja termotivasi karena perubahan hidup kita, bukankah kita juga bisa seperti itu? Alih-alih mencari percikan sukacita, mengapa kita tidak melihat perubahan apa yang terjadi dalam diri kita karena pengenalan akan Tuhan melalui Firman-Nya? Bila dampak kuasa Alkitab nyata, kita tentu akan semakin semangat untuk membaca, merenungkan bahkan melakukan Firman Tuhan.

 

“Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.” (Yakobus 1:25)

Referensi:

  1. https://www.foxnews.com/faith-values/bible-millennial-instagram-generation
  2. https://www.merriam-webster.com/dictionary/passion
  3. https://www.barna.com/research/millennials-and-the-bible-3-surprising-insights/
2019-09-27T10:30:23+07:00