Setelah pandemi Covid-19 mereda, kita perlu terus berfokus pada penyelarasan dan pembangunan kembali kehidupan dan Gereja. Kita perlu menemukan dan meninggalkan hal-hal yang telah menyimpang dari esensi semula ajaran Yesus, khususnya tentang kehidupan Gereja dan pemuridan, lalu kembali ke esensi itu. Dalam edisi bulan ini, kita akan melanjutkan pembahasan tentang pemuridan dan kembali ke esensi ajaran Yesus untuk proses pemuridan, melalui khotbah-Nya di bukit. Jika kita telaah isi khotbah tersebut, jelas bahwa ajaran-ajaran yang disampaikan adalah berbagai perubahan batiniah yang pada esensinya merupakan pola pemuridan yang diterapkan oleh Yesus sendiri kepada para murid-Nya. Pola yang tetap pada esensi ini juga diterapkan oleh Paulus, seperti yang telah kita lihat dalam build! edisi bulan lalu.
Khotbah di bukit ialah pelayanan Yesus setelah memanggil murid-murid-Nya untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya (Mat. 5:1-12). Isi khotbah tersebut merupakan visi dan panggilan Yesus bagi murid-murid-Nya untuk meninggalkan cara hidup yang lama serta hidup sebagai komunitas terang dan garam, yaitu komunitas Kerajaan Allah yang mampu menjadi pusat solusi bagi suku-suku dan bangsa-bangsa (Mat. 5:13-16; Yes. 2:2-3). Di dalam khotbah Yesus di bukit inilah, kita dapat melihat esensi yang perlu menjadi fokus proses perubahan dalam pola pemuridan. Yang harus menjadi esensi itu: manusia batiniah kita.
Kondisi Manusia Batiniah Setiap Orang (Mat. 5:17-48)
Sebelum kita sebagai murid Kristus dapat berjalan menuju mencapai sasaran keserupaan dengan Kristus, kita perlu mengenal dan memahami kondisi manusia batiniah/roh kita.
“Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.” – Matius 5:20, TB
Kata “kebenaran” di ayat ini dalam bahasa Yunani (bahasa penulisan aslinya) adalah “dikaiosune”. Menurut pendalaman Alkitab oleh Dallas Willard, dikaiosune berarti “hal yang membuat seseorang itu benar/baik menurut standar Allah” atau “kebenaran/kebaikan manusia batiniah/roh seseorang”. Maka, “kebenaran” yang dimaksud Yesus adalah kebenaran yang di dalam diri manusia, bukan kebenaran yang terlihat oleh orang lain di luar. Yesus berkata bahwa jika hidup keagamaan kita tidak lebih benar dari orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, kita tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Ini tentu seolah mustahil, karena orang Farisi dan ahli Taurat biasa berusaha mematuhi segala peraturan kebenaran Taurat sampai sekecil-kecilnya, tetapi sebenarnya sangat mungkin untuk dipraktikkan karena kebenaran yang diminta Yesus adalah kebenaran batiniah, yang di dalam hati. Orang yang hatinya benar sesuai standar Allah ini akan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Bagaimana caranya? Untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, hati kita perlu dibenarkan oleh kasih karunia lewat iman (Roma 3:24-25).
Mengapa kita perlu dibenarkan? Sebetulnya, kita sudah dibenarkan oleh kasih karunia lewat iman sekali untuk selamanya, yaitu saat kita menerima pengampunan dan keselamatan oleh pengorbanan Yesus mati bagi kita di kayu salib. Namun, itu barulah kebenaran secara posisi/de jure, belum secara kondisi/de facto. Secara kondisi/de facto, manusia batiniah/roh kita sudah telanjur dirusak oleh dosa. Oleh sebab itulah, kita perlu berusaha untuk membangun kondisi manusia batiniah/roh kita agar semakin benar sehingga mencapai kondisi kebenaran/dikaiosune seperti standar Allah. Menurut khotbah Yesus, banyak sekali kondisi manusia batiniah kita yang perlu dibersihkan/berubah:
- Kondisi manusia batiniah/roh kita bisa menyimpan dosa kemarahan, penghinaan, penghujatan terhadap orang yang kita benci (Mat. 5:21-26).
- Kondisi manusia batiniah/roh kita bisa menyimpan dosa percabulan/perzinahan di hati (Mat. 5:27-30).
- Kondisi manusia batiniah/roh kita bisa menyimpan dosa pengkhianatan terhadap pasangan perjanjian kita (Mat. 5:31-32).
- Kondisi manusia batiniah/roh kita bisa menyimpan dosa ketidakjujuran/bohong/manipulasi (Mat. 5:33-37).
- Kondisi manusia batiniah/roh kita bisa menyimpan dosa kepahitan/dendam/ingin membalas (Mat. 5:38-42).
- Kondisi manusia batiniah/roh kita bisa menyimpan dosa egoisme, yaitu hanya mempraktikkan kasih manusiawi yang timbal balik atau mengharapkan pamrih terhadap sesama (Mat. 5:43-48).
Nah, orang Farisi dan ahli-ahli Taurat memiliki standar kebenaran/dikaiosune yang lebih rendah daripada standar Allah. Mereka lebih berfokus pada kebenaran di luar, yang terlihat oleh orang lain, bukan yang di dalam hati. Mereka berusaha membangun citra diri supaya kelihatan baik/benar di luar, tanpa mementingkan kondisi batiniah/rohnya. Akibatnya, sering kondisi hati mereka rusak, kotor, dan gelap, penuh dengan dosa dan kejahatan. Itulah maksud Yesus saat berkata bahwa mereka adalah seperti kuburan yang di luarnya dicat putih, tetapi dalamnya penuh tulang-belulang dan segala kekotoran. Mereka seperti pinggan yang luarnya dibersihkan, tetapi dalamnya kotor (Mat. 23:25-27). Kata Yesus tentang mereka, “Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan,” (Mat. 23:28). Terhadap perbedaan standar kebenaran ini, Yesus sejak awal memberikan visi kepada murid-murid-Nya untuk menggunakan standar kebenaran Allah, yaitu sempurna sama seperti hati Bapa/Yesus (Mat. 5:48).
Kondisi Manusia Batiniah/Roh yang Benar menurut Standar Allah
Setelah mengenal kondisi manusia batiniah/roh kita, kini kita perlu membahas bagaimana kita mencapai manusia batiniah/roh yang benar seperti standar Allah, yaitu memiliki hati yang sempurna seperti hati Bapa/Yesus. Ini berarti mementingkan kondisi hati, bukan tampilan atau citra di luar.
“Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga.” – Matius 6:1, TB
Kata-kata “kewajiban keagamaan” dalam bahasa Yunaninya adalah “dikaiosune”. Dalam Alkitab bahasa Indonesia kita (versi Terjemahan Baru/TB), kata ini diterjemahkan sebagai “kewajiban agama” atau “praktik ibadah” atau “praktik disiplin rohani”. Artinya, praktik berbagai disiplin atau latihan rohani pribadi, seperti kerahasiaan, memberi, berdoa, berpuasa, menyendiri/berdiam diri, dan lain-lain (Mat. 6:1-33). Selain itu, ini juga berarti disiplin-disiplin rohani yang bersifat bersama atau korporat, seperti saling memulihkan, saling membagi rahasia Kerajaan, berdoa Kerajaan secara korporat, menghidupi Aturan Emas (the Golden Rule) Yesus di dalam komunitas maupun di luar komunitas (Mat. 7:1-14). Mempraktikkan disiplin-disiplin rohani berarti menggunakan sarana-sarana kasih karunia yang membawa perubahan di dalam manusia batiniah/roh kita hingga dibangun menjadi semakin serupa Kristus. Semakin banyak dan sering kita mempraktikkannya, semakin dekat pula kita diubah menjadi serupa Kristus.
Manusia batiniah/roh adalah seperti pohon, dan perilaku serta kehidupan di luar adalah buahnya. Mari jadikan manusia batiniah/roh esensi perubahan kita terus-menerus, sehingga kita menjadi seperti pohon yang baik, yang pasti menghasilkan buah kehidupan yang baik (Mat. 7:17-18; Luk. 6:43-45). Perubahan manusia batiniah/roh yang di dalam menghasilkan perubahan di luar dan membangun kita menjadi ke arah keserupaan dengan Kristus.