Doa adalah sebuah jalur akses khusus yang selalu tersedia untuk kita berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam momen-momen terbaik kita, doa membuat sukacita dan rasa syukur kita berlipat ganda; sedangkan pada saat-saat terburuk kita, doa membuat kita sadar bahwa ada Tuhan yang selalu beserta dengan kita. Namun, doa menjadi kurang atau gagal berefek jika ada kebohongan-kebohongan yang terus bergema di dalam pikiran kita. Kebohongan semacam ini biasanya berbunyi ‘Tuhan tidak peduli dengan doa saya’, ‘saya tidak punya waktu untuk berdoa’, ‘hidup saya baik-baik saja tanpa berdoa’, ‘doa tidak ada gunanya’, dan lain-lain yang sejenis. Melalui pengulangan yang terus-menerus, pengertian yang salah/keliru ini menjadi suatu kepercayaan yang mantap mengakar di dalam diri kita, yang akhirnya menutup akses kita untuk mengalami efek/kuasa doa. Berita buruknya, sering kali kita sulit menyadari bahwa kita keliru.
Kita mungkin pernah, bahkan sering, menemui orang-orang yang keliru tetapi terlalu keras kepala untuk menyadari dan mengakui bahwa mereka keliru. Orang-orang seperti ini ada di mana saja: di sekolah, di kantor, sampai di grup WhatsApp keluarga. Yang mungkin membuat kita lebih gregetan lagi adalah ketika kekeliruan mereka dikoreksi, mereka justru akan berespons seakan-akan sedang diserang atau “dizalimi”. Saat dikoreksi dengan sopan, mereka bisa berespons dengan kasar…
Pada awal tahun 2021, Microsoft meliris hasil survei Digital Civility Index (DCI) yang melibatkan 16 ribu responden dari 32 negara. Hasil survei tersebut mengungkap bahwa di dunia digital, orang Indonesia adalah kelompok yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Hal ini disimpulkan dari beberapa faktor pengukur, di antaranya penyebaran hoaks, penipuan, ujaran kebencian, perundungan, dan diskriminasi di dalam interaksi daring. Tidak terima dengan rilisan survei, sebagian warganet Indonesia justru membanjiri kolom komentar akun Instagram Microsoft dengan ucapan-ucapan kasar1. Ironisnya, hal ini bukan hanya membuktikan secara memalukan bahwa survei itu sungguh benar, tetapi juga menunjukkan bahwa memang tidak mudah untuk sadar dari kekeliruan, apalagi bila kita berada di tengah-tengah orang-orang yang mempercayai kekeliruan yang sama. Inilah fenomena social bubble yang negatif, “gelembung” besar yang memisahkan kita dari orang-orang yang berbeda paham.
Di setiap media sosial, termasuk TikTok, ada social bubble. Setiap harinya, jutaan pengguna aplikasi TikTok berjuang untuk bisa muncul di “For Your Page” demi mendapat angka “view” dan “like” sebanyak-banyaknya. Motivasi mereka beragam, dari sekadar bersenang-senang sampai untuk mendapatkan keuntungan material seperti memasarkan produk. Menang, terdapat dua jenis linimasa di TikTok; yang pertama adalah “Following” yang menampilkan konten dari akun-akun yang kita “follow”, sedangkan yang kedua adalah “For Your Page” atau FYP. FYP menampilkan konten yang dianggap oleh perimeter algoritma TikTok sesuai untuk minat kita. FYP inilah medan perang sesungguhnya, tempat banyak orang berebut perhatian kita. Saat konten kita dianggap sesuai dengan minat makin banyak orang oleh algoritma TikTok, makin banyak pula orang yang disodori konten kita itu oleh TikTok di linimasa FYP.
FYP sebenarnya mirip dengan pikiran kita. Inilah medan perang tempat begitu banyak hal melintas melalui interaksi dengan orang lain maupun berbagai pengalaman empiris kita dengan lingkungan sekitar. Namun, tidak semua hal itu bisa tetap tinggal di dalam pikiran kita. Menurut TikTok, salah satu faktor penentu sebuah konten bisa masuk ke dalam FYP adalah tingkat interaksi pengguna2. Interaksi yang dimaksud adalah jika akun pengguna memberi “like”, menonton sampai selesai, memberi komentar, dan mencari konten atau tema serupa. Jika kita sering memberi “like” kepada video bertema fotografi, TikTok akan memasukkan banyak konten fotografi ke dalam FYP kita. Sebaliknya, jika kita memberi respons “not interested” kepada video tertentu, video dengan bertema sejenis akan semakin jarang terlihat di FYP kita.
Algoritma TikTok yang unik itu menjadi salah satu kunci utama mengapa aplikasi ini menjadi cepat populer. Filter yang dibentuk oleh aplikasi media sosial akan membentuk social bubble yang dapat bisa “melindungi” penggunanya dari hal-hal yang tidak disukai, sehingga pengguna betah berlama-lama scrolling. Demikianlah algoritma itu bekerja di balik layar. Namun, bukan hanya TikTok, Tuhan juga mempunyai “rumus algoritma” untuk kita jadikan filter terhadap hal-hal yang bisa masuk dan tinggal di dalam pikiran kita. Rumus tersebut tertulis di Filipi 4:8, “Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”
Ketika suatu “konten” melintas di pikiran kita, perhatikan konten itu menurut perimeter/rumus algoritma Tuhan di ayat tersebut. Jika sesuai, silakan berikan “like” dengan terus merenungkannya, hingga konten itu tetap tinggal di dalam pikiran kita dan “mengundang” konten-konten serupa. Sebaliknya, jika konten itu tidak sesuai dengan ayat tadi, kita bisa memilih untuk berespons “not interested”, agar konten itu dan konten-konten yang serupa tidak terus-menerus muncul melintas di pikiran kita. Makin lama kita melakukan mekanisme ini, makin kuat pula algoritma mental kita membentuk bubble yang akan melindungi kita dari hal-hal yang keliru. Disadari atau tidak, apa yang ada di dalam pikiran akan memengaruhi tindakan yang akan kita ambil, termasuk memengaruhi pola hubungan atau interaksi kita dengan Tuhan di dalam doa. Makin sesuai isi pikiran kita dengan “yang benar, yang mulia, yang adil, yang suci, yang manis, yang sedap didengar, yang disebut kebajikan” itu, makin gemar pula kita berdoa, karena efek dan kuasa doa itu makin kuat kita alami. Alhasil, kehidupan kita pun menjadi makin sesuai dengan isi pikiran kita. Itulah sebabnya Tuhan ingin kita selalu merenungkan kebenaran Firman Tuhan, “Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung.” (Yos. 1:8).
Firman Tuhan yang kita renungkan menjadi faktor signifikan yang membentuk iman kita (Roma 10:17), yang tentu saja pada akhirnya memengaruhi sikap kita terhadap doa. Terus bersandar kepada Firman Tuhan akan terus membuat linimasa FYP mental/spiritual kita akan tetap terisi dengan kebenaran. Ini membuat kita tersadar bahwa sebenarnya berdoa dan membaca Alkitab setiap hari bukanlah liturgi agamawi, tetapi kebiasaan penting yang berguna untuk menjaga diri kita sendiri. Kita mungkin bisa saja telanjur berada di dalam bubble yang salah, sehingga kita butuh kerendahan hati untuk menerima koreksi. Namun di sisi lain, kita butuh bubble untuk melindungi kita dari kebohongan yang berbahaya. Dapat disimpulkan bahwa berdoa sekaligus membaca dan merenungkan Firman Tuhan adalah satu-satunya cara untuk kita bertahan di era post-truth saat ini, dengan membanjirnya informasi yang kerap menyulitkan kita untuk membedakan kebenaran dari kebohongan. Kesimpulannya jelas, tetaplah dan makin giatlah berdoa, membaca Firman, dan merenungkan Firman itu.
“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” – 1 Timotius 3:16
Sumber referensi:
1https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210226140821-192-611309/sebut-netizen-ri-paling-tidak-sopan-akun-microsoft-diserang
2https://newsroom.tiktok.com/en-us/how-tiktok-recommends-videos-for-you/