//Gatekeeping

Gatekeeping

Kami ingin sekali menjadi lingkaran yang kompak dan eksklusif, akrab dan hangat, tetapi Adhi sering mendinginkan suasana dengan mengajak orang baru ke tengah-tengah kami. Kami pertama kali bertemu Adhi di sebuah rumah kos di dekat kampus. Kala itu, ada tujuh kamar kosong di rumah itu, lalu satu per satu kamar itu kami tempati. Kami semua sama-sama mahasiswa baru dari ibukota, tetapi belum pernah saling kenal sebelumnya. Kuliah di sebuah kota kecil di Jawa Timur membuat kami sebenarnya tidak begitu tertarik keluar berjalan-jalan atau bersosialisasi. Selain karena kendala bahasa, kami cenderung merasa “kurang hiburan” di kota kecil itu. Alhasil, sehari-harinya kami lebih suka memesan makanan lewat layanan ojek online dan mengobrol di rumah kos. Seharusnya persahabatan kami bisa dikenang saat kami menua nanti, seperti tim Fast & Furious. Mengobrol di coffeeshop dengan topik-topik tidak penting, menghabiskan momen demi momen sebagai satu geng yang tidak terpisahkan, ke mana pun selalu bersama seperti Teletubbies. Kapan pun salah satu dari kami menghadapi kesulitan, kami semua akan ikut heboh dan melibatkan diri; keren dan solid, seperti Power Rangers. Di benak kami, “Tak perlulah ada orang asing di antara kita…”

 

Ternyata, kami jadi bersyukur untuk keberadaan Adhi. Di antara kami bertujuh, dialah sang motor penggerak. Dia mengajak kita mencoba sajian di restoran atau warung yang baru, menonton konser band lokal, pertandingan sepakbola, atau mengunjungi acara-acara kampus dari fakultas lain. “Gara-gara” dia, kami yang awalnya asing satu sama lain malah menjadi sekelompok sahabat dekat. Kelompok ini membuat kita tidak merasa sendiri di tanah rantau, dan semuanya karena Adhi.

 

Kamar Adhi di rumah kos kami menjadi seperti titik kumpul; pintunya selalu terbuka untuk kami membahas hal penting soal materi kuliah atau hanya sekadar bercanda dan bercerita soal hal-hal yang tak penting. Kalau hari itu berjalan kurang baik bagi siapa pun dari kami, dia pasti langsung menuju kamar Adhi dulu sesampainya di rumah kos; melepas penat dengan berkeluh kesah, bermain game, atau beristirahat. Adhi tidak pernah keberatan kamarnya berantakan gara-gara kami, atau kehilangan kesempatan beristirahat karena kamarnya ramai oleh ulah kami. Adhi bukan orang yang pandai memberi nasihat atau kata-kata penghiburan, tetapi penerimaannya yang total dan tak pernah berubah itu mampu mengusir kegalauan kami.

 

Siapa yang tidak mau memiliki sahabat seperti itu?

Atau, siapa yang tidak mau menjadi sahabat yang seperti Adhi?

 

Adhi punya banyak teman dan sering dicari orang. Sahabatnya menyayanginya dengan tulus dan membelanya habis-habisan. Di jalan, sering kali ada yang melambai dari kejauhan menyapa Adhi. Adhi tak pernah kesulitan untuk mencari bantuan ketika membutuhkannya. Ketika Adhi membeli sesuatu dari teman, banyak teman menolak untuk dibayar oleh Adhi. Banyak pintu terbuka untuk dia, karena pintunya terbuka untuk orang lain.

 

Kita? Kapan terakhir kali kita bisa merasa aman dan nyaman untuk terbuka di hadapan orang lain? Kalau kita merasa bahwa kita adalah orang yang selalu seperti Adhi, puji Tuhan. Di sisi lain, banyak orang mungkin ingat bahwa dirinya dulu pernah seperti Adhi, sampai sesuatu terjadi…

 

Dikecewakan oleh sahabat;
Ditipu orang terdekat;
Dikhianati oleh kawan tepercaya.

 

Seumpama sebuah benteng, setelah hal tersebut terjadi, kita membakar jembatan supaya tidak lagi sembarang orang bisa masuk ke dalam diri kita yang sebenarnya. Tembok ini terus kita bangun makin tinggi dan tebal. Setiap orang yang mendekat akan kita curigai sebagai musuh. Rasa percaya yang dulu kita punya sekarang menjadi begitu rapuh. Asumsi kita adalah kita akan aman dengan cara ini, tanpa sadar bahwa sebenarnya kita justru makin sekarat.

 

Geng kami mengalaminya. Hampir setiap hari salah satu dari kami membuka pintu rumah kos untuk teman Adhi yang berkunjung. Ini sebenarnya adalah efek samping yang menyebalkan dari memiliki teman seperti Adhi. Dia sering mengajak temannya yang “asing” untuk ikut kegiatan hang-out, membuat suasana jadi canggung. Kami jadi seperti “terwajibkan” untuk menyambut orang baru itu, meski sebenarnya kami menolak keberadaannya. Siapa dia? Seberapa layak dia masuk geng ini? Apakah dia datang ke sini hanya untuk pinjam uang? Kami selektif, protektif, bahkan posesif. Memang kita harus selektif dalam memilih sahabat, karena “pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik” (1 Kor. 15:33), tetapi yang kami lakukan saat itu bukanlah menjaga pergaulan dengan semangat selektif yang sehat, melainkan “menjaga gerbang”. Gatekeeping. Kami merasa perlu terpisah seperti “bangsawan” yang berbeda dari orang kebanyakan yang kami anggap “jelata” (bahkan, kami bertujuh sempat memesan jaket berdesain khusus dengan bangga sebagai lambang ekslusivitas kami).

 

Alkitab menganalogikan kita adalah “satu tubuh di dalam Kristus” (Roma 12:5), yang berarti kita perlu terkoneksi dengan orang lain. Tanpa koneksi ini, kita akan seperti organ tubuh yang terlepas sendirian dan tidak berfungsi. Seseorang yang selalu hangout dengan teman-temannya, belum tentu tidak kesepian. Sebaliknya, seseorang yang sering terlihat sendirian belum tentu pula merasa kesepian, karena kesepian adalah efek dari minim atau nihilnya koneksi yang sejati itu. Eksklusivitas, atau minimnya koneksi, memang membuat kita bergerak lebih bebas, tetapi juga membuat kita kesepian.

 

Menurut survei, kira-kira 10 persen dari orang berumur 16-24 tahun kehilangan koneksi dengan orang lain serta merasa kesepian tiga kali lebih parah dibandingkan orang tua yang berusia 65 tahun ke atas1; dengan penyebab utama gaya hidup anak muda yang makin individualis. Apakah kita termasuk dalam 10 persen yang kesepian itu? Mungkin kita punya geng persahabatan yang kompak, tetapi kita berada di sana bukan karena kita ingin membangun hubungan persahabatan, melainkan sebagai usaha supaya kita tidak merasa kesepian. Kita masing-masing, mungkin, sedang kelaparan akan koneksi yang sejati.

 

Demi mati-matian melawan kesepian, kita memasukkan sahabat-sahabat kita ke dalam benteng kita, yang kemudian kita jaga gerbangnya dengan ketat untuk memastikan tidak ada orang asing yang masuk dan mencuri sahabat-sahabat kita itu. Kita berteman, tetapi sebenarnya hanya untuk memuaskan rasa individualistis kita. Sebagian dari kita yang tidak mempunyai sahabat akan menjebloskan film, penyanyi idola, game, tren, dan banyak hal lain ke dalam benteng. Saat tahu ada orang lain yang baru ikut menyukai sebuah film seri, misalnya, kita dengan penuh gaya berkomentar, “Itu ‘kan film yang udah lama. Sebelum di Indonesia banyak yang tahu, gue udah suka duluan…” Gatekeeping; merasa punya hak untuk menyeleksi siapa yang layak dan tidak layak untuk mengikuti, memiliki, atau sekadar menyukai sesuatu. Atau setidaknya, berusaha agar dianggap sebagai yang paling layak untuk itu semua.

 

Gatekeeping berasal dari budaya individualis. Awalnya budaya individualis diperkirakan hanya menjamur di dunia barat yang masyarakatnya cenderung liberal, tetapi ternyata sebuah penelitian2 menemukan bahwa budaya individualis sudah menjadi fenomena global. Budaya individualis adalah kecenderungan seseorang lebih menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan banyak orang, atau pendapat pribadi lebih penting daripada pendapat orang lain. Di masa kini, orang semakin ingin bergerak sendiri, bahkan menilai kebenaran hanya dari sudut pandang dan pendapat pribadi. Alkitab menuliskan uraian ciri-ciri manusia di akhir zaman (2 Tim. 3:1-9) dan uraian panjang itu dimulai dengan “manusia akan mencintai dirinya sendiri”.

 

Bandingkan dengan cara Yesus bergaul. Yesus dituduh banyak hal, tetapi Dia tidak pernah dideskripsikan sebagai seseorang yang eksklusif dan individualis. Terbukti dari catatan di kisah-kisah Alkitab, siapa pun tak merasa sungkan untuk datang kepada-Nya, dari pengemis hingga pejabat, dari penderita kusta hingga panglima pasukan. Dia mau mendengar cerita mereka. Dia mau menjawab setiap pertanyaan mereka. Dia pergi menjala bersama nelayan. Dia pergi ke pesta pernikahan. Dia mengunjungi mereka yang sakit. Hasilnya, ribuan orang mau mendengar Dia dan ratusan orang memiliki untuk mengikuti-Nya.

 

Yesus tidak pernah menyeleksi siapa-siapa saja yang boleh datang kepada-Nya. Tidak ada tembok tebal dan tinggi yang Dia bangun. “Gerbang”-Nya selalu terbuka, bahkan Dia mengundang setiap orang yang membutuhkan pertolongan untuk datang kepada-Nya (Mat. 11:28). Kehadiran kita penting bagi Dia. Lagipula, Yesus juga memperkenalkan diri-Nya sebagai “jalan” (Yoh. 14:6), bukan sebagai penjaga gerbang. Yesus bukan gatekeeper. Dia ingin kita memiliki hubungan dengan Bapa dan menjadi bagian dalam Kerajaan-Nya; siapa pun kita masing-masing.

 

Kita hidup di sebuah planet yang sarat dengan kesepian. Benteng-benteng tinggi yang terisolasi terdapat di mana saja: di kantor, di kampus, di kelas, bahkan di dalam keluarga. Benteng-benteng itu tertutup dan dijaga dengan ketat oleh kita masing-masing, yang tanpa sadar jiwanya sekarat oleh kelaparan akan koneksi yang sejati. Dunia sungguh butuh di-“invasi” oleh Kerajaan Surga, agar kepercayaan yang rusak pulih kembali, kekecewaan yang berdarah terbalut kembali, dan penolakan yang pahit sembuh kembali; semuanya oleh kasih dan penerimaan yang tanpa syarat dari Sang Raja yang juga Bapa Surgawi. Izinkan jiwa kita yang dahaga dan kelaparan ini mengalaminya, lalu meneruskannya kepada jiwa-jiwa lain yang masih dahaga dan kelaparan.

 

Sulit memang untuk menerima semua orang, tetapi setidaknya kita bisa memulai membuka pintu untuk satu-dua orang baru. Apalagi di masa pandemi ini. Namun, lakukan saja yang bisa kita lakukan, meski dari jarak jauh atau secara virtual. Dengarkan cerita mereka, berikan komentar positif di akun media sosial mereka, doakan mereka, atau apa pun. Nanti, setelah situasi pandemi lebih aman, makanlah di warung nasi atau nongkrong-lah di kedai kopi bersama mereka. Buka gerbang itu, dan runtuhkan bentengnya.

 

“… apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari. TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan.” – Yesaya 58:10-11

 

1Loneliness – What characteristics and circumstances are associated with feeling lonely? – Office for National Statistics. (2021). Diakses pada 9 Februari 2021, dari https://www.ons.gov.uk/
2Santos, H. C., Varnum, M. E., & Grossmann, I. (2017). Global increases in individualism. Psychological science28(9), 1228-1239.
2021-02-24T08:29:55+07:00