George Muller adalah pendeta yang mendirikan panti asuhan Ashley Down di Bristol, Inggris, dan merawat 10.000 anak yatim piatu dengan mengandalkan pemeliharaan Tuhan. Ia dikenal dengan sebutan “bapak anak yatim piatu” karena karya pelayanannya ini. Misi pelayanannya bersama istri dimulai dengan rumah mereka sendiri yang dipakai untuk menampung kehidupan 30 anak perempuan. Tidak lama kemudian, ia membangun tiga rumah untuk menampung 130 anak. Pada tahun 1845, George Muller “memimpikan” untuk membangun suatu gedung terpisah yang dapat menampung 300 anak. Pada tahun 1849, mimpinya itu menjadi kenyataan. Di Ashley Down, kota Bristol, gedung itu dibangun. Pada tahun 1870, ia sudah memiliki lima gedung yang totalnya menampung lebih dari 2.000 anak. Bagi George Muller, iman dan melayani Tuhan tidak bisa dipisahkan dari kehidupannya.
George Muller lahir di Prusia (sekarang negara Jerman) pada tanggal 17 September 1805. Pertobatan George Muller terjadi pada saat ia berusia 21 tahun di sebuah persekutuan doa, di rumah seorang saudagar Kristen. “Aku menyerahkan seluruh hidupku kepada Tuhan. Kehormatan, kesenangan, uang, kekuatan fisik, kekuatan mental, semuanya kupersembahkan kepada Yesus dan aku menjadi pecinta Firman Tuhan. Tuhan menjadi segala-galanya bagiku,” pernyataannya setelah bertobat.
Setelah mengenal Tuhan, ia pergi ke Inggris tanpa membawa surat-surat atau uang dalam jumlah berarti. Ia tak mengenal seorang pun di Inggris dan hanya mengandalkan Tuhan dan hanya sedikit menguasai bahasa Inggris. Di masa itu, ia menulis di buku hariannya, “Segenap hidup saya akan dipakai untuk melayani Tuhan yang hidup.” Ia memercayai Alkitab seumur hidupnya dan tidak pernah meminta apa pun kepada orang lain, karena percaya bahwa Tuhan sanggup memelihara hidupnya. Dengan iman itulah, ia menerima kiriman uang sebesar 500.000 Poundsterling untuk mendirikan panti asuhan dan merawat 10.000 anak yatim piatu serta mendidik mereka dalam kebenaran. Ia mengabarkan Injil dan menyebarkan kebenaran Alkitab dengan bepergian ke lokasi-lokasi yang jauhnya ribuan kilometer menjangkau total 3.000.000 pendengar di 42 negara.
Ia menulis di buku hariannya pada tanggal 28 Juli 1874,
“Sudah berbulan-bulan saya merasa bahwa Tuhan membawa kami pada keadaan yang kami alami di Agustus 1838 sampai April 1849. Tiap hari, tidak putus-putusnya kami berharap, bersandar dan berdoa bagi keperluan kami, khususnya jam makan: baik makan pagi, siang atau malam. Kami mengalami kesukaran, karena panti asuhan kini 20 kali lebih besar dan butuh pengeluaran yang besar. Saya terhibur karena kami tahu bahwa Tuhan lebih dulu tahu segalanya.
Jika itu untuk kemuliaan nama-Nya dan kebahagiaan jemaat serta dunia yang belum bertobat, saya rela demi anugerah-Nya terlaksana hingga akhir hidup saya. Pengeluaran sehari-hari kami besar, tetapi Tuhan yang Mahakaya, memberi dengan berkelimpahan. Kepastian ini memberikan damai di hati saya. Melalui tantangan iman, saya menghadapi kesukaran keuangan, asalkan Tuhan dipermuliakan dan berguna bagi Jemaat.
Saya perlu:
- Memberi makan 2.100 orang dan mencukupkan keperluan mereka, padahal uangnya habis;
- Menyokong 189 pekabar lnjil, walau tidak ada uang sesen pun yang tersisa;
- Menyokong kira-kira 100 sekolah dan 9.000 murid, meski dana betul-betul nol;
- Membagikan kira-kira 4.000.000 traktat dan berpuluh-puluh ribu Alkitab dikirim ke mana-mana tiap tahun, padahal tidak ada lagi dananya.
Dengan iman, saya yakin bahwa Tuhan, yang memulai pekerjaan ini dengan memakai saya, yang setia memimpin dari tahun ke tahun, yang menyokong pekerjaan ini lebih dari 40 tahun, pasti menolong. Ia tidak akan membiarkan saya kecewa. Saya berharap kepada-Nya. Saya menyerahkan pekerjaan ini kepada-Nya; Ia mencukupkan segala keperluan saya, sekalipun saya tidak tahu dari mana Ia akan mengirimkan semua yang diperlukan.”
Selain catatan pribadi di buku harian itu, Samuel Chadwick, seorang pelayan Tuhan lainnya, menulis pula tentang suatu kejadian yang membuktikan iman George Muller, “Pada suatu malam, ketika semua petugas panti asuhan sudah tidur, George Muller mengajak Pierson berdoa bersama, karena persediaan makanan sudah habis dan tidak ada makanan untuk keesokan harinya. DR. A.T. Pierson mengingatkan bahwa semua toko sudah tutup. Akan tetapi, ia tetap berdoa. Lalu setelah berdoa, mereka tidur, dan keesokan harinya… makan pagi untuk 2.000 anak yatim piatu telah tersedia dengan limpahnya. Mereka tidak tahu dari mana dan bagaimana makanan itu datang. Ternyata Tuhan menggerakkan hati seseorang di tengah malam dan menyuruhnya untuk mengirimkan makan pagi ke panti asuhan selama satu bulan. Itulah kebajikan Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus.”
Demikian pula, Charles Inglis, seorang pemberita Injil yang lain, menuliskan kesaksiannya ketika pertama kali datang ke Amerika 31 tahun sebelumnya dengan menyeberangi lautan Atlantika dan berkenalan dengan kapten kapal. Waktu berlayar, kapten kapal itu bercerita kepada dirinya, “Pak Charles Inglis, waktu saya terakhir kali berlayar di samudera ini lima minggu lalu, terjadilah satu hal yang ajaib. Hal itu mengubah hidup saya. Waktu itu, ada seorang hamba Tuhan bernama George Muller, dari Bristol, Inggris. 22 jam saya berjaga di dermaga tanpa meninggalkannya. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh seorang yang menepuk bahu saya, yakni George Muller, yang memberitahukan bahwa ia harus berada di Quebec, Kanada, pada hari Sabtu sore, yang sudah terlalu dekat dengan hari peristiwa itu, hari Rabu. Sang kapten merasa jadwal dan tujuan itu mustahil, karena jarak yang masih terlampau jauh. Tetapi ternyata George Muller hanya berkata tegas, “Baik. Kalau kapal ini tidak dapat membawa saya, Tuhan akan mengambil kendaraan lain untuk membawa saya. Sebab belum pernah Tuhan membuat saya tidak menepati satu janji pun selama 57 tahun ini.”
Kisah sang kapten kepada Charles Inglis berlanjut. “Saya bersedia menolong Bapak, tetapi apa yang harus saya perbuat? Saya tidak berdaya,” katanya kepada George Muller. George Muller pun mengajak sang kapten masuk ke kamar peta dan berdoa. Kapten itu menatap George Muller dan berpikir dari rumah sakit jiwa manakah orang itu, karena belum pernah ia mendengar ajakan seaneh itu. Ketika kapten mengingatkan George Muller tentang betapa tebalnya kabut saat itu yang menghambat laju perjalanan mereka, George tetap mantap menjawab, “Mata saya tidak memandang kepada betapa tebalnya kabut ini, melainkan kepada Tuhan yang hidup, yang senantiasa mengatur tiap-tiap segi hidup saya.”
Selanjutnya, kapten mengisahkan bahwa George Muller langsung berlutut dan berdoa, mengucapkan satu doa yang sangat sederhana, yang menurut sang kapten cocok untuk anak-anak yang berumur tidak lebih dari 8 atau 9 tahun, “Ya Tuhan, jikalau Engkau setuju dengan keberangkatan hamba, hilangkanlah kabut ini dalam waktu 5 menit. Tuhan tahu janji hamba, yaitu hamba harus berada di Quebec pada hari Sabtu. Hamba percaya bahwa inilah kehendak-Mu. Amin.” Setelah George Muller selesai berdoa, kapten itu pun hendak berdoa juga, tetapi George Muller justru meletakkan tangannya ke atas bahu kapten dan berkata, “Pertama-tama, Anda tidak percaya bahwa Tuhan mau mengabulkan doa kita. Kedua, saya percaya bahwa Ia sudah melaksanakan itu. Jadi tidak perlu lagi Pak Kapten berdoa untuk itu.”
Kapten itu mengaku kaget menyadari bahwa George Muller tahu isi hatinya! George Muller dikisahkan berkata kemudian, “Pak Kapten, saya sudah mengenal Tuhan saya selama 57 tahun, dan belum pernah satu hari pun Ia menolak saya datang menghadap kepada-Nya, Raja saya itu. Sekarang berdirilah, Pak Kapten, dan bukalah pintu, maka Bapak akan melihat, bahwa kabut sudah hilang.” Sang kapten berdiri dan membuka pintu kamar peta. Benarlah, kabut itu sudah hilang. Perjalanan pun melaju lancar tanpa hambatan dan pada hari Sabtu sorenya George Muller benar-benar sudah berada di Quebec dan siap melakukan pelayanannya.
Potongan demi potongan kisah hidup George Muller yang diceritakan banyak orang menunjukkan betapa ia total menyerahkan hidupnya untuk melayani Tuhan dan orang-orang yang belum mengenal Yesus. Iman dan hatinya untuk melayani Tuhan sangat luar biasa. Tuhan menghargai iman dan ketulusan hati George Muller yang polos tetapi kokoh ini, sehingga apa yang dimintanya dalam doa, Tuhan jawab. Bagaimana dengan kita sendiri? Seberapa besar iman kita ketika ada kabut tantangan di dalam hidup kita? Seberapa Firman Tuhan telah kita izinkan memelihara dan membangun iman kita?