///Gereja Komunitas yang Menuai

Gereja Komunitas yang Menuai

Setelah dua tahun kita mengalami pandemi Covid-19, saya melihat keadaan Gereja setelah itu banyak mengalami perubahan. Di mana-mana, dampak pandemi Covid-19 terhadap Gereja sangatlah parah. Jelas terlihat bahwa jemaat-jemaat lokal yang tidak menerapkan sistem kelompok/komunitas kecil (yang umumnya disebut “komunitas sel” atau istilah lain sejenisnya) banyak yang mengalami penurunan jumlah anggota, baik yang terlibat melalui kehadiran online maupun onsite. Bahkan, ada jemaat-jemaat lokal yang tidak mempraktikan pola komunitas kecil yang sampai kehilangan 60-80% dari jumlah anggotanya dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19.

 

Baru-baru ini, saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi negara Amerika Serikat (AS) selama hampir dua bulan. Walaupun bukan hasil survei khusus, pengamatan dan pembicaraan pribadi saya bersama cukup banyak pemimpin jemaat menunjukkan bahwa jemaat-jemaat lokal yang tidak menerapkan komunitas kecil adalah yang paling parah terdampak oleh pandemi Covid-19 dalam hal pengurangan jumlah anggota. Akibat tidak atau kurang bebasnya aktivitas pertemuan ibadah besar pada jadwal tertentu, anggota jemaat lokal itu terpaksa harus mengikuti ibadah online, yang bagi banyak orang terasa “kurang menarik” daripada ibadah besar yang biasa dihadiri langsung secara fisik sebelum pandemi. Akibatnya, banyak anggota jemaat cenderung tidak terlibat atau hadir di dalam ibadah online. Semasa pandemi ini, rata-rata ibadah online hanya diikuti oleh kurang dari 20% anggota jemaat lokal, bahkan banyak anggota jemaat yang kehilangan kontak dengan komunitas jemaat lokalnya.

 

Salah satu jemaat lokal yang tidak berkelompok kecil berlokasi dekat dari tempat tinggal saya dan keluarga selama di AS. Jemaat lokal itu memiliki jumlah anggota 2.000 orang sebelum pandemi, tetapi kini hanya tersisa sekitar 500 orang. Banyak pula jemaat lokal lainnya yang berjumlah anggota besar dan tergolong berstatus megachurch selama bertahun-tahun sejak sebelum pandemi, tidak kunjung menerapkan pola komunitas kecil dan akhir-akhir ini menjadi makin kehilangan banyak anggota hingga mati-matian mulai mengumpulkan kembali para anggota yang tercecer/menghilang itu dengan berbagai cara. Saya sendiri mendengar dari pemaparan di salah satu webinar tentang perkembangan Gereja saat ini bahwa estimasi perhitungan yang dilakukan di Australia menunjukkan rata-rata jemaat lokal setelah pandemi ini hanya berhasil mengumpulkan sebagian saja dari anggota yang tercecer/menghilang, dengan jemaat-jemaat lokal tertentu yang berhasil mengumpulkan kembali 60% dari anggota yang ada sebelumnya sebagai yang tergolong sangat sehat.

 

Sebaliknya, pengamatan juga menunjukkan kepada saya bahwa jemaat-jemaat lokal yang berbasis kelompok kecil yang sehat justru tumbuh subur dan berlipat ganda semasa pandemi ini. Salah satu contohnya adalah Saddleback Church di AS, yang berbasis kelompok kecil. Jemaat lokal ini bertambah banyak hingga 3.000 kelompok kecil atau 50% selama dua tahun masa pandemi, yaitu dari 6.000 kelompok kecil menjadi 9.000 kelompok kecil (sumber: https://smallgroupnetwork.com/articles/how-saddleback-started-3000-groups-during-covid-19/).

Jelas sekali, komunitas kecil merupakan esensi kehidupan Gereja, yang menentukan kesehatannya dan pertumbuhannya.

 

Komunitas sebagai esensi Gereja

Mengapa gereja yang berbasis kelompok/komunitas kecil mampu bertahan di tengah-tengah guncangan, bahkan menuai makin banyak jiwa? Karena komunitas itulah esensi Gereja. Gereja adalah Tubuh Kristus, keluarga Allah, dan Bait Roh Kudus, yang merupakan refleksi atau gambaran dari diri Allah Tritunggal sendiri: Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus. Hanya dengan hidup mempraktikkan komunitas kecillah Gereja dapat hidup sebagaimana maksud Allah. Perhatikan Firman penjelasan ini:

Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu. Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang ‘jauh’ dan damai sejahtera kepada mereka yang ‘dekat’, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.” (Ef. 2:14-22, TB)

 

Kita sebagai Gereja tidak dapat menjadi gambaran Allah Tritunggal, mencerminkan Tubuh Kristus atau keluarga Allah atau Bait Roh Kudus tanpa mempraktikan gaya hidup “saling” di dalam komunitas kecil. Hubungan “saling” pun hanya efektif jika dilakukan di dalam komunitas kecil (umumnya beranggotakan 2-15 orang). Dengan jumlah anggota terbatas, terjadi garis komunikasi dan interaksi “saling” yang nyata dan lancar. Dalam komunitas dua orang, ada dua garis “saling”; dalam komunitas tiga orang, ada enam garis komunikasi “saling”; dalam komunitas 12 orang, ada 132 garis komunikasi “saling”. Makin banyak jumlah anggota di dalam sebuah komunitas, makin banyak pula garis “saling” yang ada, maka makin banyak waktu dan energi yang diperlukan untuk menjaga hubungan-hubungan “saling” itu. Bayangkan, betapa sulitnya menjaga hubungan “saling” di dalam proses komunikasi dan interaksi di antara kelompok yang beranggotakan ratusan atau ribuan orang! Tentu nyaris mustahil waktu dan energi manusiawi kita dapat membuatnya tetap nyata dan lancar. Itulah sebabnya, Gereja mula-mula lebih berfokus pada pertemuan di komunitas kecil (persekutuan di rumah-rumah dilakukan tiap hari) daripada ibadah bersama dalam kelompok besar (kebaktian di rumah ibadah hanya dilakukan seminggu sekali atau pada hari-hari raya keagamaan saja). Di dalam pertemuan-pertemuan komunitas kecil, mereka dapat mempraktikkan hubungan “saling” secara jauh lebih efektif.

Bagaimana penerapannya?

 

1. Gereja sebagai Tubuh Kristus bertemu dalam komunitas kecil yang mempraktikkan hubungan saling menyanyikan mazmur, saling mengajar, dan saling menasihati.

Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah. Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.” (Kol. 3:15-16, TB)

 

2. Hubungan di antara anggota Gereja sebagai sesama saudara seiman yang sudah lahir baru adalah keluarga/persaudaraan di dalam komunitas kecil, yang rukun dan saling mengasihi.

Nyanyian ziarah Daud. Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mzm. 133:1, TB)

Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah.” (1 Yoh. 4:7, TB)

 

3. Pertemuan Gereja sebagai Bait Roh Kudus (tempat kediaman Roh Kudus) adalah komunitas kecil yang penuh dengan Roh Kudus, yang menggerakkan para anggotanya untuk saling berkata-kata rohani dan saling merendahkan diri.

Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.” (Ef. 5:18-21, TB)

Komunitas kecil dalam hubungan “saling” adalah esensi yang tidak boleh hilang dari kehdupan Gereja, terutama pada akhir zaman ini. Gereja yang kehilangan esensi kehidupan ini tidak mungkin tumbuh sehat, apalagi berlipat ganda. Marilah kita merenung kembali dan menjadi sadar melalui pandemi ini, untuk kembali ke esensi kehidupan kita sebagai Gereja. Dari kesadaran ini, kita akan kembali tumbuh dan makin berlipat ganda.

 

 Komunitas Tubuh Kristus sebagai penjala manusia yang paling efektif

Selain bukti-bukti terkini semasa pandemi, Alkitab pun mencatat contoh bahwa Gereja hanya mampu menuai dan berlipat ganda jika berbasis komunitas kecil. Lihatlah berbagai catatan dan kisah tentang Gereja mula-mula. Mereka hidup sebagai komunitas Tubuh Kristus yang bertemu dalam kelompok kecil di rumah-rumah, dalam keseharian aktivitas mereka, dengan mempraktikkan hubungan “saling” dalam berbagai hal: menggembalakan, mengajar, bernubuat, menolong, mengasihi, dan lain sebagainya; sehingga Tuhan menambahkan kepada mereka tiap hari jumlah orang-orang yang diselamatkan (Kis. 2:42-47). Berbagai ayat yang dituliskan di dalam kitab Kisah Para Rasul tentang penginjilan Gereja mula-mula mengandung makna asli penginjilan yang dilakukan bersama oleh komunitas sebagai Tubuh Kristus. Salah satunya yang paling jelas dapat kita lihat dalam Alkitab terjemahan bahasa Inggris versi New King James Version (NKJV) serta Alkitab terjemahan bahasa Indonesia versi Modified Indonesian Literal Translation (MILT, 2008):

 

And believers were increasingly added to the Lord, multitudes of both men and women, …” (Acts 5:14, NKJV)

… dan sejumlah orang yang percaya, baik pria maupun wanita, semakin ditambahkan kepada Tuhan…” (Kis. 5:14, MILT-2008)

Semua ini menunjukkan bahwa konsep penginjilan yang dipraktikan oleh Gereja mula-mula adalah konsep penginjilan komunitas sebagai Tubuh Kristus. Jiwa-jiwa yang datang itu adalah orang-orang baru yang ditambahkan “kepada Tuhan”, yaitu ke dalam Tubuh Kristus sendiri. Gereja adalah komunitas Tubuh dengan Kristus sebagai Kepala. Tuhan sendirilah yang berinisiatif dan bekerja menggerakkan komunitas Tubuh-Nya untuk menjangkau serta membawa jiwa-jiwa yang kemudian untuk “disatukan” dengan komunitas Tubuh itu. Pantas saja, jumlah orang baru yang berasimilasi masuk ke dalam komunitas Gereja mula-mula mencapai 100%! Penginjilan Tubuh ini sangat efektif, karena konsepnya bukanlah sekadar memberitakan injil dan mengusahakan sampai orang yang mendengar percaya pada berita injil itu, melainkan komunitas yang dikepalai Kristus itu bergerak dan menjangkau orang-orang agar berasimilasi masuk ke dalam Tubuh Kristus. Artinya, Tuhan/Kristus sendirilah yang bergerak menjala manusia.

 

Pada akhir zaman ini, kita hidup di era post-modern. Generasi masa kini cenderung bersikap anti terhadap konsep “kebenaran absolut” dan “otoritas”, tetapi di sisi lain mereka sangat haus mendambakan kehidupan berelasi yang nyata (sumber: buku Did God Really Say? halaman 103, karya Jussac Kantjana). Fenomena ini merupakan peluang yang terbuka lebar bagi kita untuk menerapkan konsep penginjilan komunitas. Komunitas kecil bukan saja merupakan esensi kehidupan kita sebagai Gereja, tetapi juga strategi yang tepat untuk memenangkan generasi post-modern ini. Marilah kita sebagai Gereja hidup dalam komunitas kecil sesuai rancangan Allah, agar kita efektif menuai jiwa-jiwa serta membawa mereka ke dalam Tubuh-Nya.

(Eddy Leo – Apostolic Team Ministry dan Penatua Jemaat Abbalove Ministries)

2022-03-26T09:05:34+07:00