Dalam edisi bulan lalu kita telah membahas tentang lima ciri gereja zaman akhir. Di antara kelimanya, ciri pertama adalah gereja yang berdoa senantiasa. Yang penting untuk kita perhatikan ialah bahwa gereja zaman akhir bukan hanya suka berdoa, tetapi berdoa senantiasa (1 Tes. 5:17). Untuk lebih memahami maksudnya dan melakukannya pula, mari kita melihat nasihat Petrus yang sangat profetis tentang gereja zaman akhir.
“Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa.” – 1 Petrus 4:7, TB
Menurut Petrus, pada zaman akhir ini, supaya dapat berdoa kita perlu menjadi tenang, dan untuk menjadi tenang kita perlu menguasai diri. Tiga hal tersebut adalah esensi penting yang perlu dilakukan oleh gereja zaman akhir: berdoa, menjadi tenang, dan menguasai diri; dan kita akan belajar melakukan prosesnya.
Berdoa senantiasa
Gereja zaman akhir yang sehat mempraktikkan gaya hidup berdoa senantiasa. Berdoa merupakan gaya hidup, sehingga dilakukan/terjadi senantiasa. Ini berarti gereja yang demikian terus-menerus berdialog dengan Tuhan, sehingga seluruh kehidupannya berjalan di dalam hadirat Allah. Konsep ini disebut juga coram Deo; istilah yang kita kenal dalam kehidupan bergereja kita pula. Menurut R.C. Sproul, seorang pakar teologia dari Amerika Serikat yang banyak meneliti makna berbagai konsep inti di dalam Alkitab, coram Deo adalah hidup di hadirat Allah, di bawah otoritas Allah, dan untuk kemuliaan Allah. Dengan pengertian ini, gereja zaman akhir yang melakukan coram Deo adalah gereja yang terus-menerus sadar akan hadirat Allah. Inilah gaya hidup zaman akhir yang dikehendaki oleh Allah dari kita sebagai Gereja-Nya. Kita yang hidup di zaman akhir bukan hanya perlu berdoa, tetapi harus mempraktikkan gaya hidup berdoa senantiasa.
Kita patut bersyukur bahwa melalui pandemi Covid-19 ini Tuhan membangkitkan kegerakan doa yang luar biasa di antara jemaat Abbalove Ministries. Sejak tahun lalu, jemaat belajar untuk bertumbuh dalam gaya hidup di hadirat Allah. Kita bukan hanya berdoa selama sekitar satu jam pada pagi hari, tetapi juga melanjutkan gaya hidup berdoa senantiasa sepanjang hari, setiap hari. Melatih diri untuk tinggal di dalam hadirat Tuhan mulai dari aktivitas berdoa pagi selama satu jam lalu membiasakan diri untuk tinggal di dalam hadirat Tuhan di sepanjang hari. Latihan harian ini dilakukan setiap pagi oleh kira-kira 50 kelompok, yang masing-masing berisi antara 15-700 orang. Jika dijumlahkan, totalnya dapat mencapai angka 3000-3500 orang yang sedang berlatih coram Deo. Bayangkan; tentu ini adalah murni pekerjaan Roh Kudus! Tuhan membangkitkan kehausan di antara jemaat untuk berdoa dan untuk hidup di dalam hadirat-Nya, dimulai dari belasan orang saja hingga mencapai ribuan orang. Demikian pula, suatu saat Tuhan menyatakan bahwa kita perlu mempraktikkan pola gereja mula-mula yang bertekun dalam pengajaran rasul-rasul, persekutuan, memecah roti, dan doa (Kis. 2:42). Kelompok-kelompok doa ini menangkap apa yang dinyatakan Tuhan, dan terjadilah ledakan kegerakan doa. Dari belasan orang kemudian menjadi puluhan, ratusan, dan sekarang ribuan orang. Bahkan, kegerakan ini bukan hanya melanda jemaat Abbalove Ministries, tetapi mulai merambah ke anggota-anggota Tubuh Kristus yang lain, di Jakarta, di kota-kota lain, serta di negara-negara lain. Seiring dengan terus bergulirnya kegerakan doa ini, terjadi banyak perubahan hidup di antara mereka yang mengikutinya: pelepasan, kesembuhan, mukjizat, pemulihan diri, pemulihan pernikahan, pemulihan keluarga, dan penjangkauan jiwa-jiwa. Hampir setiap hari ada penambahan orang percaya baru, karena jemaat yang terlibat mulai tergerak untuk memenangkan jiwa. Selanjutnya, hampir setiap hari pula terbentuk kelompok pemuridan (“kompak”/“havruta”) yang baru, sementara kelompok-kelompok pemuridan yang ada mulai berlipat ganda hampir setiap bulan. Betapa ajaibnya pekerjaan Tuhan di tengah-tengah Gereja-Nya pada zaman akhir ini, bagi kita yang mempraktikkan bagian kita! Untuk mengalaminya, kita perlu melatih diri dalam proses di dua unsur esensial berikut, yaitu menjadi tenang dan menguasai diri.
Menjadi tenang
Petrus berkata bahwa untuk dapat berdoa, kita harus menjadi tenang. Kata “tenang” dalam versi bahasa Yunani yang digunakan dalam penulisan ayat ini mempunyai arti “waras”. Melihat makna ini, dapat kita pahami bahwa pada zaman akhir banyak manusia hidup dalam keadaan tidak tenang atau tidak waras. Mengapa demikian? Sejak pertama kalinya smartphone modern menjadi populer pada tahun 2007, kehidupan manusia berubah secara drastis. Makin cepatnya dan makin melimpahnya informasi/data yang tersedia setiap saat dalam genggaman mengikuti kebutuhan dan keinginan manusia membuat manusia “belajar” hidup dalam ketamakan dan ketergesaan. Manusia menjadi selalu menginginkan lebih banyak dan lebih cepat dalam hampir segala sesuatu. Walaupun smartphone membawa banyak kemajuan yang baik, smartphone juga sama seperti uang; ia hamba yang baik, tetapi tuan yang jahat. Jika seluruh perhatian manusia dikendalikan oleh smartphone, manusia itu lambat laun akan kehilangan ketenangan dan kewarasannya. Benda kecil ini dapat menguasai seluruh pikiran, perasaan, dan perilaku hidup manusia. Kondisi “tidak tenang”/“tidak waras” semacam ini membuat kita tidak dapat berdoa, yang ditandai dengan dua hal:
Pertama, kita cenderung selalu tergesa-gesa. Jika hidup kita tergesa-gesa, kita akan mendapati tidak ada lagi waktu yang berkualitas dengan Tuhan dan dengan sesama. Kita mulai menjadi seperti robot yang beroperasi dalam segala aktivitas setiap hari secara otomatis saja, tanpa ada hubungan hati dengan Tuhan dan sesama. Dallas Willard, penulis buku Divine Conspiracy dan tokoh Kristen yang saya teladani secara pribadi, menyatakannya dengan tegas, “Ketergesaan adalah musuh besar kerohanian kita masa kini. Anda harus mengeliminasi ketergesaan dengan kejam dari hidup Anda.” Sejalan dengan itu, Carl Jung, pakar psikologi yang berpengaruh dari Swiss, berkata, “Ketergesaan bukanlah dari Setan. Ketergesaan adalah Setan itu sendiri.” Kedua pernyataan ini menggarisbawahi bahwa ketergesaan membuat hidup kita kehilangan waktu untuk Tuhan dan sesama. Kita dikuasai oleh waktu dan kita kehilangan kendali atas waktu, sehingga seluruh pergerakan hidup kita menjadi terburu-buru dan kita tidak lagi memprioritaskan hubungan hati dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Akibatnya, hubungan hati itu hilang dari hidup kita dan lewat ketergesaan, hidup manusia menjadi tidak waras. Begitu banyak orang Kristen yang hidup kerohaniannya hancur karena ketergesaan, yang hampir selalu diawali atau dipengaruhi oleh kendali smartphone atas hari-hari mereka.
Yang kedua, kita selalu lupa waktu. Dengan smartphone, kita dapat melakukan banyak hal yang tadinya sulit diakses: menonton drama, menikmati pornografi, bermain game, mencoba-coba berjudi, atau yang lainnya, sampai berjam-jam tanpa ingat waktu. Akhirnya, lambat laun kita menjadi terikat dan kecanduan dengan hal-hal tersebut. Masing-masing bentuk kecanduan ini kemudian akan merusak kita dengan proses dan cara yang berbeda, yang pada intinya berawal dari kecanduan digital (digital addiction): jadwal doa, aktivitas bekerja, kesehatan fisik dan mental, hubungan dengan orang-orang terdekat, kondisi keuangan, bahkan masa depan kita, semuanya bisa rusak oleh kecanduan digital. Lalu, bagaimana cara mencegahnya dan apa jalan keluarnya? Tak lain dan tak bukan, penguasaan diri.
Menguasai diri
Solusi dari masalah ketidakwarasan atau ketidaktenangan hidup bukanlah membuang smartphone dari hidup kita. Ingat, smartphone adalah hamba yang baik; kita membutuhkan fungsinya tetapi kita harus mampu menguasainya. Demikian pula, penyebab masalah kita bukanlah kekurangan waktu dan solusinya bukanlah waktu tambahan. Memang waktu tidak bisa ditambah dari 24 jam setiap hari, tetapi seandainya kita diberi tambahan waktu secara ajaib pun, tanpa pengelolaan waktu yang baik, kita tetap tidak akan memiliki waktu untuk Tuhan dan sesama. Maka, apakah solusinya? Petrus berkata, “Kuasailah dirimu, jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa.” Inilah solusinya: menguasai diri.
Kata “menguasai” yang digunakan di sini dalam bahasa asli penulisannya, bahasa Yunani, mempunyai arti “mengontrol terus-menerus dengan keras”. Menguasai diri yang dimaksud artinya “mengontrol diri terus-menerus dengan keras”, khususnya dalam penggunaan waktu dan penggunaan smartphone dalam hidup kita. Dalam salah satu diskusi yang kita lakukan di antara jemaat, banyak jemaat menyadari bahwa mereka telah dikuasai oleh smartphone, bahkan ada yang sampai mengalami kecanduan digital. Ketika mereka mulai berlatih keras dan terus-menerus untuk mengendalikan diri dalam penggunaan smartphone dengan bijak, banyak dari mereka mengalami terobosan rohani dan pulih dari kecanduan digital. Mereka pun menjadi lebih tenang dan mampu menikmati waktu dalam hubungan pribadi dengan Tuhan dan sesama, sehingga makin giat mempraktikkan gaya hidup senantiasa di hadirat Tuhan (berdoa senantiasa, coram Deo).
Demikianlah ketiga hal yang esensial ini perlu kita bangun. Mulailah dengan menguasai diri dengan keras terus-menerus, lalu menjadi tenang, dan akhirnya makin terbiasa bergaya hidup berdoa senantiasa. Inilah proses kemenangan kita dalam menaklukkan penghalang-penghalang zaman akhir yang dimanfaatkan Iblis untuk menggoyahkan kehidupan kita. Tuhan sedang membangun Gereja-Nya bukan hanya agar kita dapat menjadi seperti gereja mula-mula, tetapi untuk menjadikan kita Gereja zaman akhir yang siap menantikan kedatangan-Nya. Kitalah Gereja yang sedang Tuhan bangun itu: Gereja yang tetap tegar di masa sukar, bertumbuh sampai dewasa, dan menyelesaikan Amanat Agung di bumi ini. Teruslah ikuti prosesnya.