Sebagian orang Kristen berpikir bahwa semakin banyak dirinya memiliki pengetahuan tentang Alkitab dan teologia, semakin pasti pula dia menjadi orang baik dan benar. Masalahnya, jika pemikiran itu sahih dan benar, maka orang yang paling banyak memiliki pengetahuan seharusnya menjadi orang yang berperilaku paling baik dan benar, bukan? Padahal, realitas kehidupan di dunia tidaklah demikian; justru sering kali kita melihat bahwa semakin banyak timbunan pengetahuan seseorang, semakin “canggih” pula kejahatannya.
Mengapa manusia dapat menjadi semakin jahat?
Menurut Paulus dalam Roma 7:20, “Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku.” Ternyata, ada pola dosa yang menjadi hukum dan penguasa di dalam diri manusia.
Awal mulanya, manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Tidak ada hukum dosa yang mengikat mereka, seperti tertulis dalam Kejadian 1:26. Semua manusia, pria maupun wanita, diciptakan segambar dengan Allah. Sayangnya, manusia lalu jatuh dalam dosa. Sejak kejatuhan manusia dalam dosa, gambar Allah dalam dirinya itu rusak. Sejak saat itulah mulai ada beragam upaya manusia yang ingin mengembalikan keserupaan dengan Allah di dalam diri mereka. Sejarah Gereja mencatat bahwa tidak sedikit pengikut-pengikut Kristus yang tulus mengasihi Allah memilih untuk menyiksa dirinya demi menjadi lebih kudus dan memenuhi tuntutan hukum Allah. Namun, tindakan-tindakan atau upaya yang dilakukan untuk menjadi lebih kudus tidak akan membawa manusia memiliki kembali gambaran yang sempurna akan Allah di dalam dirinya. Sebaliknya usaha-usaha tersebut merupakan berhala untuk memuaskan hidup duniawi, sebagaimana dijelaskan oleh Paulus di Kolose 2:23, “Peraturan-peraturan ini, walaupun tampaknya penuh hikmat dengan ibadah buatan sendiri, seperti merendahkan diri, menyiksa diri, tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi.”
Di sisi lain, kejatuhan manusia dalam dosa terjadi dengan tindakan Adam dan Hawa memakan buah pengetahuan baik dan jahat. Adam dan Hawa, mewakili dan menurunkannya kepada semua manusia setelah mereka, memilih untuk menyimpang dari kedekatan dengan Tuhan lalu mencari pengetahuan sendiri tentang baik dan jahat. Dalam sejarah, begitu banyak orang berusaha membuat diri lebih berpengetahuan setiap saat dan justru menjauh dari Tuhan. Apa akibatnya? Meski tahu yang baik dan yang jahat, mereka tetap berbuat jahat, bahkan menjadi semakin jahat.
Agar justru menjadi semakin kudus, apa yang dapat kita lakukan?
Roma 5:17 menjelaskan, “Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus.”
Jelaslah, hanya melalui Kristus manusia bisa menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran untuk melawan kekuatan dosa. Melalui kematian dan kebangkitan Kristus, kita tidak hanya menerima keselamatan kekal, tetapi juga restorasi (KBBI: pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula) gambar Allah yang rusak oleh dosa itu di dalam diri kita. Restorasi terus-menerus inilah pemulihan gambar Allah dalam diri kita, yang akan membawa kita menjadi semakin kudus, yaitu semakin serupa dengan Dia.
Untuk mengalami restorasi gambar Allah, kita perlu berada dalam kehidupan yang berdisiplin rohani. Disiplin rohani ialah sarana anugerah Tuhan untuk mengalir dan mengerjakan restorasi gambar Allah. Melalui disiplin rohani, kita dengan sengaja menempatkan diri di hadapan Allah supaya Dia leluasa mengubah kita. Lewat disiplin rohani, Allah dan kita bekerja sama melakukan perubahan sehingga kita bisa menjadi terus semakin serupa dengan Kristus.
Richard Foster dalam bukunya, Tertib Rohani, menggunakan analogi petani dalam menggambarkan proses restorasi gambar Allah. Seorang petani tidak bisa membuat sebiji benih bertumbuh. Lalu apa yang bisa dia lakukan? Dia bisa menyiapkan “kondisi” yang tepat agar benih itu dapat bertumbuh; mencangkul tanahnya, menanam benih itu, menyiramnya setiap hari, dan memberi pupuk. Dalam kondisi yang tepat itu, Allah akan bekerja menggunakan hukum alam untuk menumbuhkan biji tersebut sampai dia menghasilkan buah. Demikianlah pula disiplin rohani; menempatkan kita dalam kondisi yang tepat untuk Allah mengerjakan pertumbuhan dan buah.
Apa efek melakukan disiplin rohani?
Efek atau hasil dari kita melakukan disiplin rohani yang terutama ialah perubahan karakter, yang wujudnya dapat kita lihat di Galatia 5:22-23, “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.” Jika hal-hal ini sudah ada di dalam diri Anda, berarti kehidupan Anda berdisiplin rohani. Jika belum, mulailah berdisiplin rohani.
Disiplin rohani apa saja yang seharusnya dilakukan oleh seorang wanita?
Disiplin berdoa, bersekutu dengan Tuhan (1 Tes. 5:17, “Tetaplah berdoa.”)
- Disiplin merenungkan Firman Tuhan (M 1:2-3, “… tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.”)
- Disiplin beribadah (1 Tim. 4:8, “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang.”)
- Disiplin hidup dipenuhi dan dipimpin oleh Roh Kudus (Ef. 3:16, 19b, “Aku berdoa supaya Dia, menurut kekayaan kemuliaan–Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh–Nya di dalam batinmu. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.”)
- Disiplin memberitakan injil (Mat. 28:19, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid–Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.”)
- Disiplin melayani sesama (Fil. 2:4, “… dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”)
Semua disiplin rohani ini dapat kita lakukan di tengah-tengah kehidupan kita sebagai wanita, entah yang berstatus perempuan lajang, ibu, maupun istri. Bukankah kita memang membutuhkan kekuatan dari Tuhan dalam hidup kita sehari-hari? Disiplin rohani itulah sarana anugerah dan kekuatan Tuhan itu bagi kita. Menjalani disiplin berdoa, membaca dan merenungkan Firman, beribadah, dan hidup dipimpin oleh Roh Kudus akan memampukan kita untuk menjalani hari dan peran kita dengan maksimal. Tempat terbaik untuk melakukan disiplin memberitakan injil dan melayani sesama pun adalah keluarga dan rumah tangga kita sendiri. Orang tua, suami, dan anak-anak; merekalah orang-orang pertama yang perlu lebih dahulu kita injili dan layani.
Pertanyaan Refleksi:
- Apakah Anda sudah melakukan disiplin rohani dalam hidup sehari-hari?
- Jika belum, apakah penghalang bagi Anda untuk hidup dalam disiplin rohani?
Referensi:
- Mengapa Perlu Disiplin Rohani ( Grace Emilia)
- Tertib Rohani (Richard J. Foster)