///Hidup Kembali, Bersih Kembali, Berani Kembali, Kuat Kembali

Hidup Kembali, Bersih Kembali, Berani Kembali, Kuat Kembali

Diadaptasi dari: Yohanes 4:1-41

Hari sudah pukul 12 siang. Aku harus bergegas ke sumur untuk mengambil air selagi tengah hari seperti saat ini, karena pada tengah hari biasanya tidak ada orang datang ke sumur Yakub. Segera kuambil kerudung untuk menutupi kepala dan wajahku, supaya aku tidak menarik perhatian jika ada orang yang kebetulan melihatku. Masih terbayang adegan memalukan yang kira-kira dua minggu lalu kualami, ketika aku terpaksa keluar mengambil air sedikit terlalu awal, yaitu saat sekelompok ibu-ibu kampung sini baru selesai mengambil air juga. Tatapan mereka sinis dan terasa menusuk-nusuk hatiku, apalagi ketika sempat kulihat mereka saling berbisik-bisik sambil menunjuk diriku. Kucuri dengar, salah satu ibu itu berkata mendesis, “Ih, amit-amit deh kalau kita ketemu dia dan ambil air bareng-bareng… Dia ‘kan perempuan najis! Bisa-bisa, air yang kita ambil ikut najis karena kena cipratan air yang dia sentuh!” Saat itu, aku tetap melanjutkan langkahku untuk cepat-cepat menyelesaikan mengambil air, karena aku memang sudah kehabisan air. Namun, diam-diam kuputuskan di dalam hati untuk tidak pernah lagi mengambil air pada jam-jam sumur biasa didatangi orang. Terlalu takut dan lemah rasanya hatiku menerima cercaan orang. Ah, memang perih rasanya hidup sebagai perempuan hina sepertiku…

Aku berjalan keluar sambil mengambil buyung yang sudah kutaruh di depan rumah. Di bawah terik matahari yang menyengat, kususuri tepi jalan yang berdebu dengan membawa buyung itu di kepala. Lelah sekali, tetapi mau bagaimana lagi… Semoga hari ini aku tak bertemu dengan siapa-siapa, baik di jalan maupun di sumur nantinya. Statusku sebagai “perempuan najis” membuatku ingin tak terlihat saja.

Hampir aku sampai di sumur, kulihat dari kejauhan sesosok pria sedang duduk di tepi sumur. Langkahku terhenti. Hatiku ragu, apakah aku harus terus melangkah atau batal saja mengambil air dan kembali ke rumah? Pria itu kelihatannya baik, tetapi aku bingung. Dia jelas orang Yahudi. Mungkin dia tak tahu reputasiku di daerah sini, tetapi orang Yahudi biasanya tak menyukai orang Samaria sepertiku. Wajahnya tampak lelah tetapi lembut, dan dia sendirian saja.

Akhirnya, aku memutuskan untuk tetap mengambil air. Sudahlah, kalau pun kali ini aku dihina lagi, kutelan saja hinaan itu; ‘toh aku memang hina… Yang penting, persediaan air di rumahku tidak sampai habis. Lagi pula, sedang apa pria itu di sumur ini? Dia tidak membawa buyung atau kantung air sama sekali.

Dengan jantung berdebar-debar, kuletakkan buyungku di tanah dan kuambil timba di sumur. Tiba-tiba, kudengar suara pria itu, “Berilah aku minum.” Hah? Apakah telingaku salah mendengar, atau aku sedang berhalusinasi? Aku diam sejenak. “Ah… ada-ada saja perasaanku,” pikirku sambil mulai menimba.

“Berilah aku minum.”

Aku kaget. Ternyata suara lembut itu memang nyata. Kutengok ke kanan dan kiriku; tidak ada orang lain kecuali kami berdua. Benarkah pria ini sedang berbicara kepadaku? Perlahan, kupaksa diriku untuk melihat langsung ke arahnya. Dia sedang tersenyum hangat kepadaku. Keletihan sama sekali tak mampu menutupi pancaran ketulusan di dalam tatapannya. ‘Duh, canggung aku di hadapan tatapannya yang tajam sekaligus hangat itu. Tanpa sadar, kembali aku tertunduk dan menjawab, “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” Orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria! Pria itu tidak memedulikan pertanyaanku. Dia malah berbicara lagi.

“Jika engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! Niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup.”

“A.. a.. apa…? Air hidup?” gumamku. Dia punya air hidup? Dari mana? Ini sumur terbaik dan satu-satunya sumber air untuk kehidupan seisi kampung ini…  Kalau benar pria ini punya air hidup, pastilah dia bukan sembarang orang!

“Tuhan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu? Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya?” tanyaku penasaran.

“Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal,” jelas-Nya kepadaku.

Apakah benar air itu seajaib itu dan Dia memilikinya? Kalau benar, dan kalau aku mendapat air hidup itu, aku tidak akan haus lagi untuk selama-lamanya, tidak perlu datang ke sumur ini untuk menimba air lagi sama sekali. Aku tidak perlu ketakutan dan terhina lagi. Aku mau air hidup itu!

“Tuhan, berikanlah aku air itu, supaya aku tidak haus dan tidak usah datang lagi ke sini untuk menimba air,” pintaku sambil berharap.

Pria itu berkata, “Pergilah, panggil suamimu, dan datang ke sini.”

Suami? ‘Duh, mengapa Dia tanyakan itu. “Oh… Ehh.. Mmm.. aku tidak punya suami,” jawabku malu.

“Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar,” jawab-Nya.

Hebat sekali! Pria ini tahu segalanya tentang diriku. Rupanya Dia benar-benar bukan orang biasa. Dia tahu segala yang hina tentangku, tetapi tak menghinaku. Kata-kata-Nya membongkar seluruh kehinaan di dalam kehidupanku, tanpa sama sekali melontarkan kebencian atau mempersalahkanku. Oleh ucapan-Nya itu aku justru sadar akan diriku. Aku orang berdosa. Perbuatanku selama ini kotor dan tercela. Namun, kesadaran ini berbeda. Aku bukan menjadi malu dan ingin menghindar. Aku justru ingin berubah.

Sekali lagi, kuberanikan diri mengangkat wajahku dan mengaku kepada-Nya. Kini hatiku tahu, Pria ini Pria yang ajaib. Mataku sekarang terbuka dan aku dapat melihat dengan jelas siapa diri-Nya, “Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi. Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.”

“Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran,” suara-Nya begitu teduh menjamah hatiku.

“Aku tahu, Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus; apabila Ia datang, Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami.”

“Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau,” tegas-Nya.

Aku terdiam menatap-Nya. Jelas sudah. Benarlah yang kupercaya di hatiku. Dialah Mesias itu!

Pelan tetapi sangat nyata, kurasakan aliran sejuk di dalam diriku, membasuh dan membawa keluar segala yang kotor dan najis, menggantikan kekosongan dengan kepenuhan sukacita yang sulit kujelaskan sendiri. Aku merasa bersih kembali. Dia telah memberiku air hidup itu! Air hidup yang benar-benar menghidupkanku kembali. Aku serasa punya hati yang baru kini!

Tak kuasa kutahan langkahku, aku berlari ke tengah kota ke tanah lapang yang kutahu biasa menjadi tempat berkumpul orang-orang. Akan kuceritakan apa yang aku alami dengan Sang Mesias ini kepada setiap orang yang kutemui. Kuharap mereka semua ada di sana. Ya, aku tak takut lagi. Bahkan, tiap langkahku terasa makin kuat oleh desakan menceritakan perjumpaan ajaib di sumur Yakub ini kepada semua orang. Aku hidup kembali. Bersih kembali. Berani kembali. Kuat kembali. Aku siap meninggalkan kehidupan lamaku, karena Mesias telah menjumpaiku!

 

Refleksi Pribadi:

  1. Apakah beban dalam hidupmu yang membuatmu begitu berat dan sulit melewati hari-harimu? Maukah engkau terbebas dari beban itu?
  2. Untuk mengalami kebebasan, datanglah kepada Yesus, akui dosamu, dan izinkan Tuhan menjamah hatimu dengan air hidup-Nya. Resapi dan rasakan apa yang Tuhan kerjakan di dalam hatimu.
  3. Amati perubahan yang kaualami di dalam hati. Perubahan apa saja yang juga akan kaulakukan di dalam perilaku atau keseharianmu karena perubahan di hati itu? Siapkah engkau untuk hidup kembali dengan kehidupan yang baru?
  4. Bacalah dan renungkan Firman Tuhan setiap hari sebagai tuntunan hidupmu yang baru.
2022-08-30T08:32:31+07:00