“Menikah atau tidak menikah, aku siap,” begitu pernah kukatakan kepada Tuhan. Satu-satunya keinginan yang kumiliki ialah menjalani kehidupan yang seluruhnya dipersembahkan untuk Tuhan. Apa yang Tuhan mau, itulah yang kuingini. Aku ialah murid-Nya saja, tak lebih dari itu. Bisa dibilang, isi hati ini adalah hanya tentang Tuhan. Hanya Dia.
Sampai suatu hari, aku mendapati bahwa aku jatuh cinta kepada seorang pria. Aku sendiri pun tak menyangkanya, tetapi bukan tanpa alasan aku jatuh hati kepadanya. Pria ini tidak biasa. Namanya Jim. Ayahnya seorang pengkhotbah, sedangkan ibunya seorang chiropractor, ahli pijat tulang yang mampu mengatasi gangguan pada sistem otot dan saraf manusia. Jim dibesarkan dalam keluarga yang takut akan Tuhan. Karakternya sangat kuat. Ia sangat gigih dalam hubungannya dengan Tuhan, dan ia sangat tahu tujuan hidupnya. Dalam menempuh pendidikan, segala pilihannya pun diambil berdasarkan arah hidupnya yang sudah jelas itu. Seperti pesan yang disampaikan Raulus Paulus kepada Timotius, Jim bilang kalau ia mau mengejar pesan yang sama dalam hidupnya, “to be approved unto God” (“berkenan kepada Allah”).
Bagaimana tidak jatuh hati, aku melihat bagaimana pria ini sangat mengasihi Tuhan dan membuka seluruh hidupnya untuk Roh Allah bekerja. Ia seorang murid yang sangat taat kepada Tuhan. “Setiap pilihan memiliki batasan. Keterbatasan menyiratkan bahwa hal-hal tertentu harus disingkirkan,” aku ingat betul kata-katanya ini. Prinsip inilah yang membuat Jim ketika di bangku kuliah berketetapan untuk menyingkirkan kehidupan sosial dan wanita. Ia merasa bahwa dulu di bangku SMA waktunya telah terlalu banyak dihabiskan untuk dua hal ini.
Setiap kali Jim bercerita, aku selalu menikmati bagaimana ia memaknai hidupnya dan bagaimana ia berkomitmen sebagai murid Kristus. Belum pernah kulihat pria yang menyingkirkan kehidupan sosial dan wanita hanya demi untuk berfokus pada pendidikan serta pembelajaran Firman pribadi hariannya. Untuk berkonsentrasi pada kedua hal itu, Jim bahkan harus mengurangi waktu tidurnya. Ia sadar betul bahwa ada harga yang harus dibayar. Bahkan ketika beban pembelajaran sedang tinggi dan sangat sibuk, ia menetapkan untuk tetap bangun pada pukul 5 pagi setiap hari, demi mempelajari Alkitab, berdoa, dan membuat catatan di jurnalnya.
Suatu kali, kami sedang ada di ruangan yang sama. Ia datang merangkul seseorang sambil bertanya, “Brother, dapat apa dari Tuhan hari ini?” Dari seorang teman, aku tahu bahwa ini adalah hal yang biasa dilakukan Jim. Ia selalu ingin membawa orang-orang di sekitarnya untuk melakukan kehendak Tuhan. Jim selalu mengajarkan bagaimana pentingnya memupuk kedisiplinan, memaksa diri untuk memahami lebih jelas hal-hal spesifik yang dipelajari dari Alkitab, dan menuliskan doa-doa yang sedang dipergumulkan. Katanya, itu semua supaya suatu hari kita bisa memeriksa kembali waktu Allah menjawab doa itu.
Seminggu sebelum kelulusanku, terjadilah sesuatu yang cukup mengguncang batinku. Jim datang dan mengatakan bahwa ia jatuh cinta kepadaku. Aku terkejut. Memang aku menyukai Jim, tetapi aku sama sekali tidak menyangka ia pun menyukaiku. Bagaimana mungkin pria yang tampan, pintar, disukai banyak orang, dan sangat dekat dengan Tuhan ini bisa menyukaiku, seorang wanita biasa yang tidak populer ini? Ketika Jim mengungkapkan perasaannya, di samping bahagia ada perasaan bertanya-tanya di hatiku. Kami menghadapi sebuah pergumulan.
Masalahnya, waktu itu Jim mendapatkan sebuah panggilan untuk pergi ke sebuah ladang misi, dan tuntunan yang ia dapatkan ialah untuk pergi seorang diri, tanpa pasangan hidup. Aku sendiri saat itu baru saja selesai bergumul dengan pertanyaan mengenai kehidupan melajang. Aku memang sama sekali belum melihat ada arahan dari Tuhan untuk menikah. Bahkan sejak setahun sebelumnya aku sudah berkata kepada Tuhan akan menjadi misionaris, dan sempat berhadapan dengan pertanyaan pribadi untuk tetap melajang sampai akhir hidupku. Jadi sebenarnya, pernyataan Jim itu membuatku berada dalam kondisi antara bahagia dan tidak. “Ya Tuhan … Kalau itu yang Engkau mau, maka itulah yang aku mau,” cuma itu yang bisa aku katakan pada Tuhan. Saat itu, Jim dan aku menyadari bahwa hati kami saling mencintai satu sama lain.
Kami berdua berdiskusi tentang hal ini selama beberapa malam berturut-turut. Dari perbincangan itu, kami tiba pada kesepakatan bahwa kami berdua akan menghentikan komunikasi selama tiga bulan ke depan. Demi konsentrasi untuk mencari kehendak Tuhan yang tepat.
Tiga bulan pun berlalu. Kami mendapati bahwa Tuhan berkata “ya”, tetapi sepertinya tidak ada gambaran yang jelas apakah Ia akan membawa kami melayani-Nya sebagai pasangan suami istri. Jadilah, kami bersepakat untuk saat ini membangun hubungan pertemanan saja dulu, sambil tetap berjalan masing-masing sesuai dengan tuntunan Tuhan selanjutnya.
Sebuah tulisan dibuat Jim untukku saat itu:
“Ada rasa lapar akan Tuhan. Diberikan oleh Tuhan, diisi oleh Tuhan. Aku bisa bahagia ketika aku sadar bahwa Tuhan melakukan apa yang Ia ingin lakukan. Yang membuat aku gemetar adalah bahwa aku mungkin mengizinkan sesuatu yang lain, kamu sebagai contohnya, mengambil tempat yang seharusnya dimiliki oleh Tuhanku. Aku gemetar jangan sampai aku menyinggung Kekasih Abadi-ku. Apa pun yang terjadi antara kamu dan aku, mari kita perhatikan hal ini. Semua akan dicabut atas perintah-Nya. Di atas semuanya, keinginanku adalah Tuhan bisa menemukan kepuasan. Membaca kitab Nehemia akhir-akhir ini, ada sebuah pertanyaan, apakah kita ingin membangun dengan sekop di satu tangan sementara yang lain memegang pedang?”
Setelah kesepakatan yang diakhiri dengan pesan tertulis yang tegas itu, komunikasi kami kemudian menjadi sangat jarang. Lagi-lagi, Jim menjadi murid yang disiplin dalam hal ini. Kami belajar untuk bersabar sambil terus berfokus pada panggilan kami, yaitu memuridkan umat-Nya. Jim menghabiskan waktunya untuk menulis, membaca, berdoa, menolong banyak orang, berkhotbah di berbagai tempat termasuk penjara dan persekutuan orang percaya, serta mengajar di sekolah Kristen. Jim dengan sukacita menundukkan dirinya kepada kehendak Tuhan dan menghabiskan waktunya dengan dispilin pribadi yang ketat untuk belajar, bekerja dan melakukan hal-hal lainnya yang kelihatan tidak menonjol dan tidak spektakuler di mata manusia. Aku sendiri terus belajar dan percaya, bahwa menantikan Tuhan membutuhkan kesediaan untuk menanggung ketidakpastian, untuk membawa dalam diri sendiri pertanyaan yang tidak terjawab, mengangkat hati kepada Tuhan tentang hal itu setiap kali itu mengganggu pikiran kita, dan di tengah-tengah semuanya itu, tetap melayani Dia dengan sepenuh hati. Rupanya, Tuhan terus bekerja dan mempersiapkan kami untuk pekerjaan-Nya.
Dalam penantian itu, kami masing-masing berjalan dalam ketidaktahuan dan ketidakpastian untuk masa depan hubungan kami. Namun, kami percaya akan kesempurnaan skenario-Nya. Bagaimana pun masa depan itu kelak, bukankah kami adalah murid-murid-Nya, yang hidup untuk menunaikan tugas kasih bagi Kerajaan-Nya?
Tulisan ini diadaptasi dari kisah hidup Jim dan Elisabeth Elliot. Pada tahun 1953, Tuhan mempersatukan mereka dalam sebuah pernikahan kudus di kota Quito, Ekuador. Mereka melanjutkan pelayanan bagi suku-suku terasing di sana. Suatu hari, Jim bersama empat orang misionaris lainnya berhasil melakukan kontak dengan suku Indian Auca, yang dikenal bengis dan belum seorang pun berhasil melakukan komunikasi dengan suku tersebut. Setelah upaya yang dilakukan, Jim dan keempat misionaris temannya itu pun tewas dibunuh di tangan penduduk suku Auca. Elisabeth kemudian membesarkan puteri mereka yang saat itu baru berusia 10 bulan, sambil tetap melanjutkan pelayanan dengan suku Indian Quichua. Kehidupan Jim dan Elisabeth Elliot yang terkesan tragis memberikan teladan bagaimana mereka setia mengerjakan Amanat Agung yang yang dipercayakan oleh Tuhan, sampai akhir hidup mereka. Kini, suku Auca telah mengenal Kristus dan hidup berkomunitas dalam jemaat orang percaya suku asli. Orang-orang yang dulu membunuh Jim dan tim misionaris itu sempat menjadi penatua jemaat yang mengajar dan memimpin komunitas murid Kristus itu.