Melihat kembali ke belakang…
Saya terlahir di sebuah kota kecil di pulau Jawa yang penuh dengan segala macam tradisi Jawa pula. Bersama saudara-saudari kandung, saya tumbuh besar dalam keluarga Jawa, dan tentu saja saya tak luput dari didikan menurut berbagai tradisi nenek moyang.
Masih teringat jelas bagaimana Mama memaksa saya untuk berhenti bermain dan segera masuk ke rumah ketika jam menunjukkan pukul 6 sore, “Mahgrib! Masuk rumah, nanti ada hantu!” Peringatan seram juga saya dengar ketika harus melewati jalan samping rumah, saat saya dipaksa untuk lekas mandi selepas melayat kerabat, tak peduli betapa larutnya malam atau dinginnya hari itu, “Mandi, jangan lupa keramas, abis lihat mayat!” Bahkan, masih banyak lagi kisah masa lalu mengenai tradisi yang saya anut semenjak kecil.
Mengingat hal-hal tersebut saat ini setelah saya beranjak dewasa membuat tersenyum. Betapa mudahnya kami dibodohi dengan segala macam tradisi masa lalu, padahal keluarga kami terbilang Kristen yang taat beribadah, tahu kebenaran, dan setia membaca Alkitab, berdoa, serta melayani Tuhan.
——
Mencoba memandang ke depan…
Sepertinya, saya memiliki fobia terbang, atau setidaknya saya memang penakut dalam urusan bepergian naik pesawat. Apalagi dengan banyaknya peristiwa kecelakaan udara akhir-akhir ini; saya semakin takut naik pesawat. Ya, saya tahu bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan, dan saya hafal perkataan Paulus di dalam Alkitab bahwa “hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”, tetapi selalu saja saya cenderung menghindar untuk bepergian dengan pesawat. Lalu entah kebetulan atau bagaimana, setiap kali saya bepergian dengan pesawat, ada saja peristiwa kecelakaan udara yang terjadi saat itu di berbagai belahan dunia (meskipun tidak menimpa saya). Pernah saat saya sedang mengikuti tur ke luar kota, saya mendengar ada salah satu pesawat yang tergelincir di landasan di saat yang bersamaan. Juga bertepatan dengan hari saya berlibur menggunakan pesawat, ada kabar pesawat salah satu maskapai hilang (dan ini terjadi pada dua kejadian yang serupa). Banyak kisah lainnya yang seolah tak masuk akal terjadi, yang membuat saya semakin teguh akan ketakutan saya.
Menceritakan ketakutan itu kepada rekan sesama anggota komunitas akhirnya membuat saya malu sendiri karena pemikiran “cocoklogi” yang saya terapkan dalam imajinasi saya. Saya sibuk mengait-ngaitkan semua peristiwa kecelakaan udara sebagai konfirmasi bahwa ketakutan saya itu benar dan sah. Alhasil, banyak hal di depan enggan saya raih karena saya cenderung memandang pada kemungkinan-kemungkinan bahaya yang akan terjadi. Sayang sekali! Padahal, saya pun menyadari, tak jarang saya bersemangat untuk mengajak dan mendorong orang lain untuk hidup dipimpin Allah.
——
Musim apa sekarang?
Saya selalu percaya bahwa segala sesuatu biasanya ada musimnya. Bila di mana-mana banyak rambutan, pasti memang itu sedang musim rambutan. Bila tren K-Pop melanda begitu banyak orang, itu memang sedang musim kejayaan budaya pop Korea. Bila film horor silih berganti sukses di pasaran, itu pasti musimnya film horor. Demikian juga, saya sering berpikir bahwa orang meninggal pun ada musimnya; begitu ada kabar si ini meninggal, tak lama setelahnya saya pasti mendengar bahwa beberapa orang lain meninggal.
Kepercayaan tentang “musim orang meninggal” ini membuat hati saya berdegup kencang ketika semalam saya menerima kabar bahwa ayah teman saya dipanggil pulang ke rumah Bapa. Perasaan tegang segera bercampur dengan takut karena saya teringat kabar yang siang tadi saya dengar tentang seorang kerabat yang meninggal. Saya pun menangis ketakutan memikirkan bahwa saat ini Mama memang sedang sakit cukup parah. Akankah “musim orang meninggal” ini melanda Mama juga? Ah, saya jadi tak bisa tidur…
——
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2)
Dalam perjalanan hidup saya, saya melihat dan mengalami bahwa memang Iblis menipu dengan berbagai cara. Jelas sekali, ia tak mau kita bertumbuh menjadi semakin serupa dengan Kristus. Banyaknya pengertian dan paradigma yang dunia tanamkan kadang membuat kita larut dalam ketakutan atau kekhawatiran. Kita yang semestinya sudah mengenal kebenaran yang sejati, tanpa sadar mulai menaruh iman kita pada kepercayaan yang salah.
Saya mengalaminya, dan saya mau menang melewatinya. Jika saat ini Anda membaca artikel ini dan teringat akan segala kepercayaan salah yang membuat Anda takut dan khawatir, mari gantikan itu dengan kebenaran yang sejati. Kebenaran sejati yang kita perdengarkan kepada diri kita sendiri akan melahirkan iman, dan iman ini kuat untuk membawa kita melewati segala musim. Masa lalu, masa depan, bahkan segala musim di hidup kita, bisa kita percayakan di dalam Tuhan. Hanya di dalam Dia sajalah hidup kita lurus dan aman. Mari berteguh hati dalam iman ini.
“Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” (Yoh. 14:27)
“Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya.” (Yes. 26:3)