///Iman yang sejati

Iman yang sejati

Saya pernah mendengar sebuah kesaksian mengenai pelayanan orang dokter yang memiliki sebuah apotek di daerah Tangerang. Ketika ia membeli apotek tersebut, ia dan suaminya tidak sedang berada dalam keadaan berkelebihan. Bahkan, sebenarnya mereka sedang mencicil sebuah rumah dengan program cicilan selama 20 tahun yang mereka usahakan dengan hasil kerja keras mereka sendiri. Namun, keadaan yang sulit itu tidak menghalangi mereka untuk menaati Tuhan dengan menolong orang-orang kurang mampu yang membutuhkan bantuan pelayanan kesehatan. Mereka sepakat untuk secara berkala mengadakan pelayanan medis dengan harga hanya Rp5.000. Dengan harga itu ia memberikan jasa pemeriksaan dan konsultasi kesehatan, mereferensikan pasien ke para dokter spesialis jika diperlukan, dan memberikan obat-obatan yang diperlukan untuk program pengobatan selama sebulan penuh.

Situasi yang mereka alami sangat mirip dengan Abraham ketika Tuhan minta untuk mengorbankan Ishak. Tuhan meminta agar satu-satunya sumber penggenapan janji Tuhan sendiri itu Abraham serahkan kepada Tuhan. Dalam pelayanan dokter tadi, Tuhan minta mereka melayani orang lain dengan proyeksi kerugian, walaupun mereka sedang mencicil sebuah rumah yang menjadi impian mereka bersama.
Namun, Tuhan tidak pernah salah dalam merencanakan dan Ia tidak pernah berhutang. Dokter tadi dengan taat tetap melakukan apa yang Tuhan inginkan. Mereka bersaksi bahwa rumah yang seharusnya mereka cicil dalam 20 tahun, ternyata dapat mereka lunasi beserta dengan biaya penaltinya hanya dalam waktu 3 tahun.

Halangan memiliki iman yang sejati
Banyak orang merasa kesulitan “beriman” ketika menghadapi tantangan. Banyak orang pula berkata bahwa mereka sebenarnya ingin mengimani janji dan penyertaan Tuhan, tetapi pada kenyataannya mereka merasa tidak dapat sungguh-sungguh melakukannya.
Biasanya, keadaan “tak mampu beriman” ini terjadi karena dua hal, yaitu:

1. Iman yang berorientasi ke masa lalu
Jika kita memiliki iman yang cenderung berorientasi ke masa lalu, sebetulnya kita menggantungkan iman kita pada pengalaman kita. Jika pengalaman kita lebih banyak diisi oleh hal-hal yang positif, kita akan merasa lebih percaya diri mengambil risiko atas nama iman. Namun jika pengalaman kita lebih banyak diisi oleh kegagalan, kita akan merasa sulit beriman. Alkitab jarang sekali mengajarkan kita untuk menjadikan pengalaman sebagai landasan iman. Alkitab bahkan berkata bahwa di dalam Tuhan, masa lalu yang buruk tidak lagi memiliki kuasa untuk menentukan masa depan orang percaya (Yes. 1:18). Oleh karena itu, jadikan masa lalu sebagai pengalaman untuk dipelajari, bukan landasan iman.

2. Iman yang berorientasi ke masa sekarang
Iman sejati selain tidak dibangun di atas dasar pengalaman, juga tidak dibangun di atas dasar kenyataan masa sekarang. Masa sekarang adalah waktu Tuhan menuntut kita mengambil keputusan, bekerja, dan melakukan sesuatu. Tuhan tidak akan pernah mengambil tanggung jawab itu dari tangan kita. Ia memang akan menjamin masa depan kita, tetapi kitalah yang harus mengambil keputusan pada masa sekarang (Dan. 3:17-18). Seberapa pun sulitnya kenyataan situasi kita di masa sekarang, berusaha dan bertindak sesuai tuntunan Tuhan adalah bagian dari iman kita akan kesempurnaan rencana-Nya di masa depan.

Bagaimana membangun iman yang berorientasi pada masa depan
Iman sejati tidak berbicara mengenai masa lalu kita atau apa saja yang dapat kita lakukan saat ini. Setiap kali Alkitab memberikan pelajaran mengenai iman, selalu ditunjukkan bahwa iman adalah kemampuan untuk memercayakan masa depan kita kepada Tuhan. Bagaimana caranya?

1. Akui kelemahan kita.
Mengapa iman harus berdasarkan masa depan? Karena kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahui masa depan. Kita hanya dapat memprediksi masa depan. Kemampuan prediksi itu sendiri sering kali muncul dari kumpulan pengalaman yang kita pelajari. Oleh karena itu Tuhan sengaja menempatkan iman di masa depan agar genaplah Firman-Nya yang mengatakan, “Di dalam kelemahanmulah kuasa-Ku menjadi nyata.” (2 Kor. 12:9)

2. Gantungkan masa depan kita pada kemahakuasaan Tuhan.
Mengakui kelemahan saja tidaklah cukup. Orang-orang yang sekadar mengakui kelemahannya saja akan cenderung menjadi orang yang apatis dan kehilangan harapan. Di sinilah peran iman sejati mengambil peran. Ketidakmampuan kita untuk mengetahui dan menjamin masa depan menjadi tempat yang paling baik bagi Tuhan untuk menyatakan dirinya. Itulah sebabnya, hanya orang-orang Kristen yang dapat membanggakan ketidakmampuannya, tanpa menjadi orang yang pasif dan tidak berpengharapan (2 Kor. 12:9-10). Itulah sebabnya pula, Allah mengizinkan tantangan yang sulit hadir dalam kehidupan kita. Tujuan Allah sama sekali bukan untuk membuat hidup kita sengsara, melainkan agar hidup kita menjadi lahan yang subur dan berbuah, yaitu banyak orang dapat melihat kemuliaan Allah.

3. Berikan yang terbaik dalam mengerjakan tanggung jawab kita di masa sekarang.
Iman sejati akan memberikan kita pengharapan akan masa depan yang aman dan sejahtera di dalam Tuhan, semustahil apa pun itu menurut pandangan manusia. Namun, iman itu hanya akan menjadi pernyataan yang tidak berguna jika tidak disertai dengan tindakan nyata (Yak. 2:20). Paulus mengajarkan bahwa hasil di masa depan ada di tangan Tuhan, tetapi tanggung jawab di masa sekarang adalah bagian kita (1 Kor. 3:6-7). Oleh karena itu, nantikan masa depan yang penuh harapan itu dengan mengerjakan tanggung jawab kita di masa kini dengan usaha dan kualitas terbaik (2 Kor. 12:11-12). Ingat, iman tanpa perbuatan adalah mati.

Responding Tip
Tuhan menjawab, “Kalau kalian mempunyai iman sebesar biji sawi, kalian dapat berkata kepada pohon murbei ini, ‘Tercabutlah engkau dan tertanamlah di laut,’ pasti pohon ini akan menurut perintahmu.” ( Lukas 17:6, versi IBIS)

2019-10-17T11:34:21+07:00