//Ini Bukan Soal Saya; Ini Soal Allah

Ini Bukan Soal Saya; Ini Soal Allah

Akhir Oktober, tepatnya di hari Minggu tanggal 25, saya bersama dengan kakak tertua dan ditemani oleh saudara dari almarhum Papa berkumpul di ruangan kantor seorang notaris. Keputusan tersulit yang harus dan mau tak mau diambil akhirnya kami sepakati, bahwa kami sekeluarga menjual satu-satunya aset keluarga kami, satu-satunya peninggalan almarhum Papa, yaitu rumah. Enam jam berlalu sejak pertemuan penting di kantor notaris itu, saya menangis seorang diri dalam perjalanan kereta jurusan ke Jakarta. Saya tahu, titik itulah, di kantor notaris, saya melepas segala kenangan manis semasa saya bertumbuh dan bermain. Rumah itu bukan hanya sejarah hidup saya, tetapi juga sekaligus sebuah bukti perjuangan almarhum Papa dan Mama berbentuk sebuah rumah. Segala kejadian masih terekam jelas di ingatan saya, sepuluh tahun yang lalu…

 

Saya bahagia. Saya berada dalam komunitas dan ikut terlibat dalam kegiatan pelayanan di gereja. Saya percaya bahwa Tuhan menjamin setiap langkah hidup saya, termasuk masa depan saya. Segala kesepian, kesedihan, dan kekhawatiran seakan tak terasa ketika saya menyadari bahwa saya ada di antara teman dan saudara yang selalu ada. Namun, segala kisah manis itu seakan terhenti mendadak ketika suatu kejadian muncul. Saya tiba-tiba harus merelakan kehilangan seseorang yang saya sayangi untuk selamanya. Malam itu, tepat dua tahun yang lalu, saya menangis tanpa henti…

 

Sebagai perantau yang seorang diri berada di Jakarta, tentu saya harus berusaha keras bekerja dan menafkahi diri. Pekerjaan saat ini sangat menyita waktu dan tenaga sehingga saya mulai meninggalkan beberapa pertemuan komunitas dan pelayanan. Saya seakan tak bisa menolak dari rentetan pekerjaan karena tanggung jawab… Hari-hari semakin menjemukan dan meletihkan, jenuh rasanya. Saya butuh liburan untuk melepas penat. Namun… Ah sudahlah, tak mungkin angan-angan itu terjadi di tengah pekerjaan yang menumpuk dan uang yang pas-pasan.  Malam itu, dua bulan yang lalu, saya menangis sambil mengasihani diri…

Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” – Amsal 3:5-6

Iman percaya kita pada Tuhan kadang sulit dimengerti dalam situasi yang sedang kita alami, karena iman memang tidaklah sebatas situasi atau kondisi yang kita harapkan. Iman juga adalah bukti dari apa yang tidak kita lihat (Ibr. 11:1). Allah-lah yang terlebih tahu yang terbaik untuk hidup kita; Ia melihat dari apa yang tidak/belum kita lihat. Sering kali, manusia hanya percaya dan berharap pada apa yang dilihat atau yang ingin dilihat, mengukur waktu yang tepat buat dirinya sendiri, merancang tujuan yang ingin dicapai, atau dengan kata lain, bersandar kepada segala pengertiannya sendiri.

Segala kenangan masa lalu, impian masa depan, kebebasan dan kenikmatan yang saat ini terasa tak mengenakkan, atau di tengah-tengah segala depresi dan permasalahan hidup, mari terus memelihara iman kita kepada Allah. Iman bukanlah soal diri kita, bukanlah soal si “saya”. Iman adalah juga dan terutama soal Allah. Soal siapa itu diri-Nya. Sama seperti Kristus yang hidup dalam iman-Nya, melakukan apa yang Bapa kehendaki, bahkan rela mati menyerahkan diri-Nya untuk menggenapi panggilan Bapa. Kristus itu ada dan hidup di dalam diri kita, maka kita pun dituntun-Nya untuk hidup dalam iman yang sama. Iman yang bukan soal “saya”, tetapi soal Allah.

“..supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” – Galatia 2:19b-20

Saya, yang saat ini sedang menangis, kini tidak lagi tenggelam dalam sikap hati mengasihani diri, tetapi justru terkagum dan bersyukur karena iman saya bertumbuh melewati setiap proses kehidupan. Di dalam perjalanan pesawat, saya menulis tentang salah satu perjalanan iman menuju ke suatu negara yang bahkan lebih dari sepuluh tahun yang lalu pernah saya impikan untuk didatangi. Impian itu terwujud saat ini…

 

In Christ alone,

I place my trust and find my glory in the power of the Cross.

In every victory let it be said of me:

My source of strength, my source of hope,

is Christ alone

(lirik lagu In Christ Alone, Brian Littrell)

 

2019-11-23T13:53:57+07:00