Dalam perjuangannya membangun negeri, Dr. Leimena senantiasa didampingi oleh pasangan hidupnya, yaitu Tjitjih Wiyarsih Leimena Prawiradilaga. Tjitjih Wiyarsih berasal dari kalangan bangsawan Priangan Timur, ia merupakan putri bungsu Pangeran Sumedang, yaitu Pangeran Sugih Soeria Koesoemah Adi Nata. Mereka bertemu di Rumah Sakit Imanuel Bandung, ketika Tjitjih bekerja sebagai kepala asrama putri. Bekerja di kalangan Kristen sebenarnya memberatkan hati keluarga Tjitjih, karena bagi mereka ini merupakan hal yang memalukan. Namun, suasana kekristenan di kalangan staf Rumah Sakit Imanuel itulah yang mempengaruhi keputusan Tjitjih muda kala itu. Kebaktian yang diselenggarakan setiap pagi hari dan setiap Sabtu sangat berkesan di hatinya. Sebab itu, ia memutuskan untuk mengikuti katekisasi (pelajaran dasar-dasar agama Kristen) dari Ds. Woordman. Setahun sebelum menikah dengan Dr. Leimena, Tjitjih dibaptis di Gereja Pasundan Bandung. Perkawinan mereka dilangsungkan di Sukabumi oleh Ds. Siebold van der Linde di rumah Ds. B. Arps pada tahun 1933.
Perkawinannya dengan Tjitjih Wiyarsih yang berasal dari kalangan bangsawan Sunda menyebabkan Dr. Leimena makin tertarik kepada golongan masyarakat ini. Hubungan yang telah dibina sebelumnya melalui staf rumah sakit dan poliklinik-poliklinik serta para pasien di kota Bandung makin dipererat lagi. Terutama setelah pihak keluarga Tjitjih Wiyarsih melupakan keberatan mereka mengenai perkawinan tersebut, hubungan ini meluas pula ke kalangan bangsawan Priangan.
Di balik keberhasilan kepemimpinan Dr. Leimena, Tjitjih Wiyarsih Leimena turut berperan besar. Di tengah-tengah kegiatan sebagai dokter dan sebagai anggota gereja yang ikut aktif dalam bidang zending, Dr. Leimena menghabiskan waktunya untuk melakukan beragam penelitian. Obyek penelitian yang dipilihnya adalah penyakit lever atau penyakit-penyakit yang menyerang hati. Di rumah sakit, ia melakukan penelitian dan percobaan-percobaan, sedangkan di rumah ia membaca hasil-hasil penelitian sarjana-sarjana lain tentang penyakit yang sejenis. Kerja kerasnya ini sudah barang tentu mendapat restu dari Tjitjih Wiyarsih; mereka bahkan bersedia mengorbankan kebiasaan untuk mengunjungi kerabat atau pun menonton film bersama demi memprioritaskan hal ini. Akhirnya, disertasi yang berjudul Leverfunctie-proeven bij Inheemsche itu diuji pada tanggal 17 Nopember 1939 oleh Geneeskundige Hogeschool dan mendapatkan apresiasi yang memuaskan.
Selain itu, mandat sebagai seorang menteri tidak jarang mengharuskan Dr. Leimena untuk meninggalkan istri dan anak-anak, terutama ketika di akhir tahun 1948 Jakarta disebut ibukota diplomasi dan sedang Yogyakarta disebut ibukota perjuangan. Sebagai ketua delegasi, Dr. Leimena seringkali meninggalkan keluarga di Jakarta. Setiap bulan, gajinya diantar ke rumah mereka di jalan Bonang 6. Gaji yang kecil itu bahkan tidak cukup untuk kehidupan satu minggu. Namun demikian, Bu Leimena tidak pernah patah semangat. Senyumnya tak pernah hilang dari wajahnya. Sungguh suatu pasangan yang ideal, saling melengkapi dan menguatkan. Inilah wujud seorang istri yang mendorong suaminya untuk berjuang demi bangsa, tanpa memikirkan pundi-pundi kekayaan.
Dr. Leimena memang memiliki nama besar, namun sesungguhnya Indonesia jarang menyadari peran besar seorang Tjitjih Wiyarsih di baliknya. Peranan sang istri ini memang tidak berada di medan pertempuran maupun politik. Namun, kecakapannya dalam mengatur rumah tangga dan menjadi seorang ibu bagi kedelapan putrinya selama suami untuk berjuang tidak kalah pentingnya dalam sejarah kemerdekaan bangsa ini. Inilah yang digambarkan dalam Amsal 31 bahwa istri yang cakap lebih berharga daripada permata. Tanpa kecakapan seorang wanita, seorang pria tidak akan pernah dibangun hidupnya dan tertopang untuk melakukan perannya. Tjitjih Wiyarsih tidak terlihat langsung, tapi terlihat nyata pada sosok sang suami. Beliau adalah wanita teladan, perempuan yang bijaksana yang membangun rumahnya, serta hidupnya yang berfungsi dan berperan sebagai seorang penolong bagi suami dan ibu bagi delapan orang putri telah membawa dampak begitu besar bagi bangsa dan negara Indonesia.
Sesungguhnya, jika kita mengerti betapa berharganya kita diciptakan Tuhan sebagai wanita dan menyadari rencana, cara, serta waktu Tuhan untuk memakai kita maksimal dalam peran dan fungsi kita sebagai penolong, tentu kita akan bersukacita melakukan dan menjalani peran kita. Alkitab mencatat wanita-wanita yang maksimal yang dapat kita teladani: Abigail, Rut, Esther, pelayan istri panglima Naaman, dan banyak lagi. Wanita-wanita ini lewat perannya ikut mengambil bagian dalam mengubah sejarah bangsanya. Itulah bagian “sederhana” yang dapat kita lakukan untuk “pergi” dan menghasilkan dampak nyata, yaitu melalui peran dan fungsi kita sebagai penolong. Sudahkah Anda dan saya melakukannya?
Refleksi pribadi:
1. Apakah Anda bersukacita dengan keberadaan diri Anda sebagai seorang wanita?
2. Pernahkah Anda merasa bahwa apa yang sehari-hari Anda lakukan seakan sia-sia?
3. Berapa sering Anda mengalami pertolongan Tuhan dalam menjalankan fungsi dan peran Anda sehari-hari?
4. Sadari dan lihatlah bahwa setiap hari adalah anugerah dan kesempatan untuk kita dapat “pergi” dan menceritakan tentang Tuhan lewat hidup sehari-hari!