Banyak hal baru yang terjadi selama dan karena pandemi, yang pada akhirnya melahirkan istilah kenormalan baru (new normal) bagi kehidupan sehari-hari kita saat ini. Mulai dari cara bekerja, cara bertemu orang, cara makan di rumah makan, sampai cara beribadah bersama, semuanya menjadi berbeda. Salah satunya yang menarik perhatian saya secara khusus ialah cara memesan makanan atau minuman di kedai atau restoran. Sebelum pandemi, salah satu opsi menu favorit banyak orang ialah memilih bersama-sama lalu menikmati berbagai sajian yang telah disiapkan atau disajikan sejak sebelumnya, sepuas yang diinginkan, yaitu yang biasa disebut dengan menu “all you can eat” atau “buffet”. Kini karena pandemi, restoran umumnya tidak lagi menyediakan menu buffet. Tidak ada lagi sajian yang berlimpah variasinya, menggoda selera orang beramai-ramai untuk berkerumun memilih-milih, dan menikmatinya bolak-balik sepuasnya. Sebaliknya, setiap tamu restoran kini disarankan untuk memesan makanan secara pribadi (personal) sesuai dengan minat dan porsinya masing-masing. Koki dan staf dapur lalu menyiapkan pesanan setiap tamu satu per satu, lalu tamu menikmati sajian dan cita rasa yang khusus untuknya.
Saya pun mengalaminya; dan, ketika menikmati pesanan makanan yang personal ini, saya jadi teringat akan kasih Tuhan yang diberikan secara personal pula bagi diri kita masing-masing.
Kita masing-masing pernah, atau sering, berada dalam situasi yang menekan atau menggoda kita untuk mempertanyakan mengapa situasi kita berbeda dengan situasi orang lain. Mengapa mereka terlihat lebih baik hidupnya daripada hidup saya, apakah Tuhan mengasihi saya, kok sepertinya saya selalu menjadi orang yang paling menderita di keluarga saya, dan pertanyaan-pertanyaan serupa muncul di dalam benak kita. Semuanya serupa, bernada protes. Tanpa sadar, melalui pertanyaan semacam ini, sebenarnya kita (saya) ternyata sedang iri hati terhadap kasih Tuhan yang disajikan kepada orang lain, atau berharap agar kasih Tuhan disajikan sama kepada setiap orang.
Sejatinya, kasih Tuhan itu dinyatakan secara personal bagi setiap anak-Nya. Tuhan adalah Bapa dan Pencipta; cara kasih-Nya bekerja tentu berbeda-beda pada setiap anak-Nya, karena kita masing-masing unik, berharga, dan khusus di mata Tuhan. Yang perlu kita pegang adalah kadar kasih Tuhan itu tidak pernah dibeda-bedakan, selalu penuh dan melimpah. Hanya cara-Nya yang bisa berbeda, karena cara-Nya memang sering kali bukan cara kita atau cara manusia.
Firman Tuhan merupakan ungkapan kasih Tuhan yang utama kepada kita. Karena kasih-Nya bagi kita itu personal, demikian juga kita harus mencari pesan Firman Tuhan secara personal bagi diri kita sendiri masing-masing. Bagaimana caranya? Setiap kali kita membaca atau mendengar Firman Tuhan, renungkan dan temukan pesan khusus yang Tuhan ingin sampaikan sebagai bentuk kasih-Nya kepada diri kita sendiri secara personal, bukan kepada orang lain. Kuasa dan kebenaran Firman Tuhan itu menjadi nyata bagi diri kita bukan tergantung dari berapa banyak ayat Alkitab yang telah kita terima, tetapi dari berapa banyak Firman yang telah kita terima dan kita lakukan sendiri secara personal. Inilah yang disebut dengan perjalanan iman. Perjalanan iman kita itu personal, unik dan hanya dapat kita susuri bersama Tuhan Yesus. Makin banyak kita mengalami kuasa dan kebenaran Firman Tuhan secara personal, makin kuat pula iman kita.
Mari kita berpegang kepada hati Tuhan. Kasih-Nya bagi kita personal, dan ada ungkapan kasih itu bagi kita masing-masing di dalam Firman-Nya yang kita resapi secara personal pula; karena kita masing-masing bernilai unik di mata Tuhan.
“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu.” – Yesaya 43:4