Dalam hitungan menit Diana mencoba memahami apa yang barusan terjadi. Runutan peristiwa itu terputar di benaknya…
Setengah jam yang lalu Diana berangkat bersama suaminya dari rumah dan mereka sepakat untuk drop off Diana di pintu masuk mal karena ia punya janji pertemuan di mal itu sebelum rapat lainnya sore nanti. Namun, suatu hal di luar dugaan terjadi. Saat mobil melewati pintu belakang mal yang dituju, Handi sang suami tiba-tiba berucap, “Apa kamu turun di sini aja, ya..?” Pertanyaan itu sederhana saja dan tidak mengandung maksud jahat, tetapi ternyata berdampak serius dan terlalu jauh di benak Diana. Tak lama berpikir, Diana menyahut, “Hah..? Yang benar saja, kamu mau turunin aku di sini..?” Handi pun menjawab enteng, “Oooh… Ya sudah, saya antar kamu dan drop off di pintu masuk depan, ya…” Kali ini Diana tak menjawab lagi, tetapi hatinya sudah telanjur panas. Kepalanya mendadak riuh dengan self talk. “Terlalu, nggak punya empati, gimana, sih… Kok segitu teganya… Bukannya tadi janjinya di pintu masuk depan…” Antara sadar dan tak sadar, hatinya marah.
Sesampainya mobil di pintu masuk depan mal itu, Diana cepat-cepat turun dan menutup pintu mobil. Ciuman Handi sang suami di pipinya sebelum ia turun tadi seperti “numpang lewat” saja, tak ada rasa apa pun. Yang kini lebih terasa di hati Diana justru panas, dan sejujurnya pikirannya jadi kacau sekejap sejak “insiden” tawaran untuk turun di pintu belakang itu. Alhasil, begitu turun dari mobil, ia jadi kurang berpikir panjang dan tergesa-gesa, langsung mengambil langkah cepat ke sisi kanan jalan, yang sebenarnya adalah jalur masuk mobil ke area parkir mal. Kekesalan dan kemarahan memang membuat pikiran jadi pendek, sependek langkah-langkah kaki Diana mengambil jalur kanan yang dirasanya lebih aman dan lebih cepat untuk sampai di tujuannya.
Diana masih sempat lihat mobil di depannya bergerak maju agak jauh dari posisinya berjalan, tetapi tiba-tiba… dukk!!! Sebuah benda keras menghantam dahinya di sebelah kanan, tanpa Diana sendiri mengerti apa yang terjadi. Refleksnya mencoba menyingkirkan benda yang membentur kepalanya itu dengan tangannya, dan gerakan refleks itu mendatangkan kesadaran penuh: rupanya kepalanya baru saja terhantam palang otomatis pintu masuk mobil.
Dengan langkah yang diusahakan sekuat mungkin berjalan, Diana bergerak menepi. Pikirannya seperti masih loading, dan lamat-lamat ia mendengar beberapa kalimat yang sepertinya ditujukan kepada dirinya… “Mbak baik-baik aja?” “Waduh… itu pasti sakit! Jalannya salah jalur Mbak, itu jalur masuk mobil…” tetapi semua itu tak ia hiraukan. Pikirannya sekarang berkonsentrasi mencari tempat untuk duduk sejenak sambil mencerna semua hal yang terjadi dengan lengkap. Begitu tiba di area pejalan kaki yang memang menyediakan tempat duduk, Diana pun bernapas lega. Dipegangnya dahi kanannya yang terasa nyut-nyutan…. Langsung terasa benjolan itu. Sekelebat, Diana membayangkan dahinya kini terlihat seperti kepala ikan lou han… Dalam hitungan detik, dibukanya tas tangannya dan ia mengeluarkan minyak oles dari Thailand pemberian seorang teman minggu lalu. Kata temannya itu, minyak oles itu mujarab untuk semua rasa sakit, termasuk benturan. Sambil tangannya mulai mengoleskan minyak sambil menggosok, rasa nyut-nyutan di benjolan di hati itu menjadi makin serius. Detik berikutnya, sebuah kesadaran muncul di hati Diana, “Aku tadi kesel dan marah sama Handi buat urusan sepele… Beginilah akibatnya.” Mungkin lebih tepatnya, kesadaran itu bukan muncul dari pikirannya tetapi dari suara lembut di hatinya, yang menyadarkan Diana sepenuhnya tentang sikap hatinya yang sempat salah. Segera diambilnya smartphone dan Diana pun menghubungi Handi. Sampai tiga kali, usahanya berubah menjadi miscall, karena rupanya panggilan teleponnya itu tidak diangkat. Dengan tertunduk, Diana berkata di hatinya, “Tuhan, ampuni aku…”
Sambil terus menggosokkan minyak oles mujarab ke benjolan di dahi kanannya, Diana merasakan kepalanya mulai lebih ringan sekaligus “melayang”. Ia lalu mencoba memejamkan mata sejenak supaya rasa tak enak di kepalanya berkurang. Berikutnya ia mencoba menghubungi Handi lagi. Kali ini panggilan teleponnya diangkat. Diana seketika mendengar suara hangat suaminya di seberang sana. Lemah dan pelan tetapi pasti, Diana langsung berbicara ke pokok persoalan, “Maafkan aku…. Tadi waktu turun dari mobil aku kesal dan marah sama kamu, lalu barusan aku terkena palang otomatis pintu masuk mobil.” Sontak, suara Handi terdengar khawatir, sangat khawatir. “Kamu sekarang bagaimana? Itu pasti sakit sekali… Aku perlu jemput kamu? Kamu masih mau lanjut ikut pertemuannya dengan kondisi seperti itu?” Pertanyaan-pertanyaan ini memang khas gaya Handi kalau terjadi sesuatu dengan istri tercintanya. Diana menyahut pelan, “Iya… ini lagi nyut-nyutan, tapi aku nggak akan cancel pertemuannya, sementara aku oles dulu dahiku pakai minyak mujarab dari Thailand… lumayan berkurang benjolnya. Nanti di rumah aku kompres lagi pakai es batu.” Setelah obrolan singkat tetapi hangat, sambungan telepon pun berakhir dengan kondisi hati Diana yang hangat.
Pelajaran berharga yang hari itu ditangkap oleh Diana ialah bahwa sedikit kekesalan bisa cepat berubah menjadi kemarahan dan itu sangat merugikan. Flashback seluruh peristiwa yang terjadi dalam kisaran durasi waktu hampir 30 menit itu membuat Diana membuat kesimpulan penting bagi dirinya sendiri.
Apa saja sebenarnya yang terjadi waktu kita mulai kesal dan akhirnya marah?
- Kelelahan
Orang yang marah pasti terengah-engah napasnya. Adrenalin bekerja dan memerintahkan otak dan semua fungsi tubuh untuk bekerja lebih keras dengan segera. Tidak ada orang yang marah dengan tenang; pasti reaksi umum kita ketika marah melanda adalah napas yang pendek-pendek, yang sangat mengakibatkan kelelahan, seolah berlari sprint 100 meter tanpa persiapan atau pemanasan. Lelah ini biasanya langsung terasa di tubuh kita, dan kepala juga terasa panas karena hati mendidih dengan emosi. Bisa saja kita tidak meluapkan ekspresi amarah, tetapi sama saja dampaknya. Orang yang marah dengan diam pun tetap kelelahan karena pikiran dan emosi membuat fungsi-fungsi di dalam tubuhnya menjadi memburu. Inilah kerugian pertama marah.
- Bertindak bodoh
Kemarahan adalah sebuah kebodohan; karena waktu marah kita cenderung akan berpikir pendek, berkata asal-asalan, dan mengumbar semua perasaan kita, tanpa mencerna lebih jelas situasinya serta tanpa berpikir panjang tentang akibatnya. Kepentingan yang paling mendesak orang yang sedang marah ialah marah, maka ia akan terjebak di dalam tindakan-tindakan bodoh yang hanya meluapkan emosi, bukan memahami situasi sebenarnya atau mencari solusi dari situasi itu.
- Mempermalukan diri sendiri
Saat marah, kita tidak perduli dengan situasi atau hal-hal atau orang lain yang ada di sekitar kita. Ini bukanlah semata-mata soal mengkhawatirkan pandangan orang lain, tetapi tindakan bodoh kita saat marah itu mempermalukan diri sendiri karena mempertontonkan ketidakdewasaan.
Bagaimana kalau kita sudah telanjur marah?
- Relaksasi pribadi: Lakukan teknik bernapas 2-4-6 (tarik napas 2 detik, tahan 4 detik, lalu lepaskan 6 detik). Membiasakan diri melakukan teknik sederhana ini saat mulai kesal akan menolong kita menjadi tenang dan tidak mudah terpancing untuk meluapkan kemarahan.
- Refleksi pribadi: Jika hati sudah lebih tenang, pikiran akan mengikuti. Inilah momen yang tepat untuk merenungkan beberapa pertanyaan penting seperti apa yang saya pelajari dari kejadian waktu saya marah dan sikap hati apa yang Tuhan tegur/ingatkan pada diri saya. Refleksi pribadi ini membantu kita belajar untuk lebih baik menghadapi situasi yang serupa nantinya.
- Rekomitmen pribadi: Setelah berefleksi, tentu kita perlu mempraktikkan apa yang kita pelajari dalam proses berefleksi itu. Nah, temukan apa yang menjadi komitmen kita untuk belajar lebih dewasa dan lebih bijak menyikapi sebuah situasi/peristiwa yang tak sesuai dengan kehendak kita.
Sebenar-benarnya, kemarahan adalah suatu bentuk pembenaran diri, yang semata-mata merupakan manifestasi dari hidup yang berpusat pada ego/self/diri sendiri. Kemarahan adalah hal yang manusiawi; tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah marah. Namun, kemarahan yang tidak dikendalikan bisa menjadi kebiasaan yang mengikat kita karena kita terus mengulang pola meluapkan emosi dan kekesalan saat situasi atau orang lain “melanggar” ego dan kebenaran diri kita. Jangan terjebak, mulailah kendalikan marah sekarang juga.
“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.”
(Yak. 1: 19-20)