///Kala Harapan Menipis dan Putus Asa Tiba

Kala Harapan Menipis dan Putus Asa Tiba

Hari-hari ini, kematian terasa begitu dekat. Hampir setiap minggu, ada saja berita duka yang kita dengar. Mulai dari saudara, teman, tetangga. Banyak yang tak menyangka kepergian mereka masing-masing. Ada yang tampaknya sehat-sehat saja, tak pernah terlihat sakit, ada yang baru saja masih berkomunikasi dengan kita, atau ada pula yang baru saja kita tahu kabarnya melalui media sosial; tetapi ketika maut menjemput, kita semua kaget dan tak mampu menafsirkannya. Dalam situasi seperti ini, masihkah kita merasakan Tuhan itu tetap dekat, ataukah Dia terasa begitu jauh hingga sulit sekali direngkuh? Masihkah ada harapan di hati kita meski harapan itu tak sesuai dengan kenyataan? Masihkah kita tetap memercayai-Nya?

 

Suatu kali, setelah Yesus mengalami perdebatan sengit dengan orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, Dia memilih untuk menyingkir ke wilayah Tirus dan Sidon. Ini merupakan wilayah non-Yahudi. Menyingkir ke tempat yang sunyi memang merupakan hal yang biasa dilakukan Yesus; sebelumnya Dia pernah melakukan hal yang sama (Mat. 2:12 dan 22, 4:12, 12:15, 14:13). Dengan menyendiri sesaat, Yesus beralih fokus dari konfrontasi dengan mereka yang memusuhi-Nya. Namun, tampaknya perjalanan Yesus untuk menyendiri ini diketahui oleh seorang perempuan Kanaan yang mengharapkan kesembuhan bagi putrinya. Alkitab tidak mencatat nama perempuan itu, tetapi menyebutkan dari mana dia berasal, untuk mendeskripsikan keberaniannya. Bangsa Kanaan adalah bangsa kafir, dan saat itu orang Yahudi tidak bergaul dengan bangsa kafir karena hal itu najis menurut hukum Taurat, maka perempuan Kanaan ini unik karena keberaniannya mendekati Yesus, sang tokoh Yahudi.

 

Dengan berani, si perempuan Kanaan berangkat keluar dari kampungnya dan datang ke tempat yang membuatnya bisa berjumpa dengan Yesus. Sebenarnya, dia bukan saja terancam risiko diusir, tetapi juga bisa mendapatkan penghinaan dan hukuman yang batal. Bisa jadi, keputusannya mengambil risiko yang besar ini lahir dari keputusasaannya mencari berbagai pengobatan untuk putri kesayangannya. Saya pun seorang ibu, dan mungkin juga Anda pun orang tua; tentu kita akan menempuh berbagai cara, bahkan yang paling nekat sekalipun, demi kesembuhan anak yang kita kasihi.

 

Dalam kisah yang tercatat, keberanian perempuan Kanaan ini ditunjukkan melalui kata-katanya. Dia berteriak kepada Yesus, “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita.” Memanggil Yesus dengan sebutan “Anak Daud” biasanya hanya dilakukan oleh murid-murid Yesus, yang notabene adalah orang Yahudi. Ada konsekuensi besar yang dihadapi perempuan Kanaan “kafir” ini, karena penggunaan sebutan itu menunjukkan bahwa dia sedang bersikap seolah-olah dirinya adalah orang Yahudi juga.

 

Apa yang didapat perempuan Kanaan itu dari keberaniannya? Sepertinya pengorbanan besar yang diberikannya tak sebanding dengan respons yang diterimanya. Yesus yang selama ini didengarnya menyembuhkan orang yang sakit, membebaskan yang terbelenggu, tenar sebahai orang hebat yang menolong orang sakit di mana-mana, ternyata menolak permintaannya. Bahkan, meskipun didesak oleh para murid agar Yesus segera memenuhi permintaannya itu, Yesus tetap saja menutup mulut. Menyerahkah perempuan itu?

 

Sikap diam Yesus rupanya tak menghentikan langkah perempuan Kanaan itu; dia bahkan mengemis agar Yesus menolongnya, “Tuhan, tolonglah aku.” Ucapannya menegaskan bahwa tidak ada tempat lagi dia dapat memperoleh pertolongan selain Yesus. Namun, sepertinya hati Yesus tak tergerak sedikit pun oleh permohonan yang begitu dalam dari seorang ibu yang merindukan agar putrinya hidup normal sebagaimana perempuan muda lainnya. Tragis sekali; Yesus malah mengasosiasikan ibu itu dengan seekor anjing yang tidak layak mendapat pertolongan, “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (Mat. 15:26). Sekarang, menyerahkan perempuan itu?

 

Alih-alih tersinggung atau pergi, dia malah menyadari betul kebenaran pernyataan Yesus itu. Memang merupakan kebiasaan bagi orang Yahudi untuk menyebut orang bukan Yahudi sebagai anjing, “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya,” (Mat. 25:27). Dia tidak lagi berpura-pura menjadi orang Yahudi, dia kini mengakui bahwa dirinya memang non-Yahudi, tetapi sekaligus menyatakan dia percaya bahwa Yesus memiliki otoritas atas masalah anak perempuannya yang kerasukan setan.

Akhir kisahnya menyentuh hati saya sebagai seorang perempuan. Ibu ini, yang mungkin telah lelah berjuang ke sana kemari mencari cara agar anaknya yang sakit bisa disembuhkan, mendapat jawaban yang sangat pribadi dari Yesus. Yesus menjawabnya, “Hai, ibu,” dengan menyebut identitas hati perempuan Kanaan yang tengah putus as aitu. Yesus mengerti betul beban yang dihadapinya sebagai seorang ibu.

 

Selanjutnya, Yesus berkata kepada sang ibu, “…besar imanmu.” Kata-kata pujian terhadap iman semacam ini hanya diucapkan Yesus dua kali, dan keduanya ditujukan kepada orang non-Yahudi: seorang perwira di Kapernaum dan perempuan Kanaan dalam kisah ini. Tercatat di kelanjutan kisahnya, “Maka seketika itu juga anaknya sembuh.” Yesus tidak diam. Yesus peduli. Yesus menyembuhkan anak perempuan Kanaan itu dari jarak jauh.

 

Terkadang dalam situasi yang begitu pelik, kita sering merasa Tuhan tak memedulikan kita. Bahkan, semakin kita memohon kepada-Nya, kita mungkin merasa Dia seolah makin menjauh dan kian tak terjangkau oleh seruan doa kita. Ketika Anda mengalami yang demikian, ingatlah kisah perempuan Kanaan. Ada kalanya, Tuhan mengizinkan iman kita diuji agar terbukti murni dan kita bertumbuh dewasa dalam iman itu. Iman yang besar tidak timbul dengan sendirinya. Iman yang besar lahir dari ketekunan dan kesetiaan untuk bertahan di masa sukar, seperti pernyataan Ayub tentang ujian imannya sendiri, “Karena Dia tahu jalan hidupku; seandainya Dia menguji aku, aku akan timbul seperti emas,” (Ayub 23:10). Jangan menyerah, sebab Tuhan tidak pernah berhenti bekerja.

 

Pertanyaan refleksi pribadi:

  1. Pergumulan apakah yang sedang kuhadapi sekarang ini?
  2. Bagaimanakah caraku berespons terhadap pergumulan itu? Masihkah aku berpegang pada janji Tuhan atas hidupku?
  3. Dalam proses mengalami pergumulan itu, bagaimana kondisi imanku? Apakah imanku sudah dan tetap bertumbuh?

 

2021-02-24T08:36:56+07:00