Setiap orang bertanggung jawab atas segala suatu yang diterimanya dari Allah, baik itu berupa talenta, kemampuan, kekuatan, energi, maupun waktu. Semua yang kita terima pada dasarnya diberikan dengan tujuan agar kita memuliakan Allah. Yesus berkata, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku,” (Mat. 10:37). Bukan hanya itu, Ia juga berkata tegas, “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal,” (Mat. 19:29). Inilah yang seharusnya menjadi prioritas hidup kita di dunia, dan inilah yang kali ini akan kita teladani dari seorang David Livingstone.
Pada tahun 1813, lahirlah seorang anak laki-laki di Blantyre, Skotlandia, dari orang tua yang takut akan Allah. Bayi itu diberi nama David Livingstone. Ayahnya adalah seorang guru Sekolah Minggu Presbitarian yang saleh. Kebiasaan hidup ayah yang takut akan Tuhan ini adalah sering mendudukkan anak laki-lakinya di hadapannya dan mengisahkan cerita-cerita yang memesona tentang pahlawan-pahlawan iman dan orang-orang yang memberitakan Injil ke ujung-ujung dunia yang jauh. Suatu kali, sang ayah mengisahkan tentang Charles Gutzlaff, dokter misionaris terkenal. Dari mendengar kisah tokoh inilah David Livingstone menetapkan hati untuk hidup seperti Gutzlaff. David Livingstone percaya kepada Kristus secara pribadi dan hidupnya berubah serta bertumbuh dalam iman.
David Livingstone mengabdikan hidupnya bagi pemberitaan Injil Yesus. Ia masuk ke sekolah kedokteran demi menjadi seorang dokter misionaris. Setelah diwisuda dan ditahbiskan, ia bersiap untuk melayani di negeri Cina. Namun pada zaman itu terjadi perang, sehingga pelayanan tertutup. Dalam kekecewaan, ia pun berdoa, “Tuhan, Engkau berjanji untuk menyertai dan membimbingku. Mengapa Engkau meninggalkan aku?” Sebuah suara menjawab, “David, Aku tidak meninggalkanmu. Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa; tetapi Aku tidak mengutusmu ke Cina.”
Kemudian, datanglah seorang utusan Injil dari pantai Afrika, Robert Moffat, ke kota tempat tinggal David. Khotbahnya, “Sering kali, ketika aku memandang ke dataran yang luas di utara, di bawah sinar matahari pagi, aku melihat asap dari seribu desa, yang tidak pernah didatangi satu pun utusan Injil.” Kata-kata itu menjamah hati David Livingstone dan ia berdoa kepada Tuhan, ”Utus aku ke mana saja, Tuhan.” Saat itu, ia mendengar jawaban-Nya, “Aku menyertai kamu senantiasa.” Maka, berlayarlah David ke Afrika.
Ia menulis di buku hariannya, “Tuhan, utus aku ke mana saja, tetapi sertailah aku. Letakkan beban apa saja atasku, tetapi topanglah aku. Putuskan ikatan apa saja daripadaku, kecuali ikatan yang mengikatku kepada pelayanan-Mu dan kepada hati-Mu.” Kata Tuhan, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa.”
Suatu hari ketika David melayani, seekor singa hampir mengoyakkan lengannya dan membuat ia lumpuh selamanya. Rupanya, hal itu justru membawa berkat terselubung, karena Robert Moffat datang menjenguk bersama anak perempuannya yang cantik, Mary. Bagi David dan Mary, itu adalah cinta pada pandangan pertama. Segera saja mereka menikah dan Mary berbagi semangat penginjilan di benua Afrika. Namun, bulan-bulan berjalan penuh penderitaan bagi Mary. Seorang anak mereka meninggal ketika mereka mencoba melintasi padang pasir Afrika. Akhirnya, David pun mengirimkan istri dan ketiga anaknya ke Inggris.
Betapa beratnya beban yang ditanggung David. Banyak sekali kritik menimpa dirinya dengan tuduhan bahwa ia meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk berkelana di Afrika. Dalam suratnya, ia mengungkapkan curahan hatinya, “Maryku tersayang, aku tidak melihat wajah yang dapat dibandingkan dengan wajah terbakar terik matahari yang sering kali menyambutku dengan pandangan yang ramah… Kumpulkan anak-anak di sekelilingmu dan ciumlah mereka mewakili aku. Katakan kepada mereka bahwa aku mencintai mereka, dan bahwa aku telah meninggalkan mereka karena kasih kepada Yesus, dan bahwa mereka harus mengasihi Yesus juga…”
Selama lima tahun penderitaan panjang karena ia tidak bisa melihat istri mau pun anak-anaknya, David tetap dibayang-bayangi gambaran ribuan desa di bawah sinar matahari pagi yang membutuhkan Injil Kristus. Pada masa itu, keberanian dan perasaan kuat bercampur baur setiap saat. David menulis, “Aku tidak akan menyimpang sedikitpun dari pekerjaanku bila hidup masih tersisa. Sasaranku yang terbesar adalah menjadi seperti Yesus, dan menjadi serupa Yesus, sepanjang Ia dapat ditiru. Tak ada hal duniawi yang membuat aku putus asa. Aku membangkitkan keberanianku sendiri di dalam Tuhan Allahku dan maju terus…”
Pada suatu kesempatan, David pulang menemui keluarganya. Mary, istrinya, tetap mencintai David dan menulis puisi, ”Seratus ribu selamat datang; betapa hatiku meluap-luap dengan kasih dan sukacita dan keheranan karena melihat wajahmu lagi. Bagaimana mungkin aku dapat hidup tanpa engkau selama ini, selama tahun-tahun kedukaan yang panjang? Kelihatannya seolah aku akan mati bila aku harus terpisah lagi denganmu sekarang.” Bulan-bulan berlalu dan persekutuan mereka berjalan manis, tetapi bagi David selalu kata-kata ini terngiang dalam pikirannya: “Pergi… dan beritakanlah Injil.” Mimpi-mimpinya pun sama, dihantui visi tentang seribu desa di bawah sinar matahari pagi. Jadi dengan kesusahan hati yang besar, David berlayar kembali ke Afrika.
Tahun-tahun berlalu, dan anak-anak mereka pun beranjak dewasa, Mary menulis surat bahwa ia kini bisa datang tinggal bersama David. Mary berlayar melintasi lautan dan hulu sungai-sungai Afrika untuk bertemu kembali dengan suaminya. David mengesampingkan segala sesuatu yang sedang dilakukannya demi berfokus pada persekutuan kembali dengan Mary. Ia bahkan mencurahkan segenap keahlian medisnya untuk merawat istrinya, karena Mary terserang demam di Afrika. Siang malam ia duduk bersama Mary memeriksa dahinya yang panas. Menyedihkan, keadaan Mary memburuk sampai akhirnya meninggal dunia. David menguburkan istrinya di bawah sebuah pohon besar sambil meratap. Doanya dalam tangis, “Tuhanku… Lepaskan ikatan apa saja kecuali ikatan yang mengikatku kepada pelayanan-Mu dan kepada hati-Mu.”
Ia remuk, hancur luluh. Mary yang dicintainya meninggal dan ia kini benar-benar merasa sendirian. Ia menulis di buku harian, “Yesusku, Rajaku, Hidupku, Segala-galanya bagiku, sekali lagi aku mengabdikan hidupku untuk-Mu! Aku tidak menganggap bernilai segala sesuatu yang kumiliki atau pun segala sesuatu yang dapat kulakukan, kecuali dalam kaitannya dengan Kerajaan Kristus.”
Ketika David tiba kembali di Ujiji, daerah pelayanannya, ternyata penduduk asli telah mencuri makanan dan kotak obat-obatan berisi kina untuk menyembuhkan demam yang melanda mereka sendiri. David menulis dalam catatannya, “Tuhan, tolong aku untuk menyelesaikan pekerjaan-Mu tahun ini bagi kehormatan-Mu.” Selama berbulan-bulan ia hanya makan jagung kering. Ia ditinggalkan oleh teman-teman kecuali Suzi dan Chumah yang akhirnya membawa tubuh rentanya untuk kembali ke Inggris. David saat itu sudah dalam kondisi tidak dapat berjalan atau berdiri. Namun, ia menolak berhenti melayani Kristus. “Aku tidak akan menyimpang sedikitpun dari pekerjaanku selama hidupku masih tersisa,” kata David Livingstone kepada teman-teman yang memikulnya di atas tandu. Ia memaksa masuk semakin jauh ke Afrika di atas sebuah tandu. Dengan bersandar di tandu yang ditegakkan, ia memproklamasikan kekayaan Injil Yesus Kristus kepada semua orang yang ditemuinya, sampai pada suatu hari turun hujan lebat dan mereka membuat sebuah pondok kecil agar David bisa berbaring aman di tandunya.
Pada tengah malam, pembantunya berbaring di pintu untuk menghalau binatang-binatang liar. David berusaha bergerak di tengah-tengah penderitaan rasa sakitnya demi berlutut dalam doa. Di pagi hari, si pembantu melihat David masih tetap pada posisi berdoa, tetapi karena tubuhnya tampak tetap diam, ia khawatir dan berbisik memeriksa, “Bwana (Tuan).” Namun, tidak ada jawaban. “Bwana.” Hening. Si pembantu pun merangkak mendekat dan menyentuh pipi David. Dingin. David Livingstone meninggal saat berlutut dalam doa. Ia meninggal dalam hadirat Allah.
Selama 39 tahun, David Livingstone berjalan sejauh 29 ribu mil di benua Afrika. Dua juta orang Afrika dibawanya kepada Injil. Pantaslah kehidupannya disebut “kehidupan yang terbakar bagi Allah”.