///Kekuatan dalam kelemahan

Kekuatan dalam kelemahan

Kekuatan dari manakah yang dapat mengubah kelemahan yang nyata menjadi kekuatan? Itu tentu bukanlah sembarang kekuatan; itu adalah sebuah kekuatan yang sumbernya tidak tampak namun terasa. Dalam sepanjang sejarah peradaban manusia, kekuatan itu ada dan terus berkarya membuka mata hati banyak insan tentang siapa sumber kekuatan sebenarnya yang menguasai alam semesta. Saat hati manusia jumawa dengan kemampuannya, kekuatan itu tidaklah terasa; tetapi di titik terendah hidup seorang manusia, di situlah kekuatan itu memberikan bukan hanya rasa tetapi kesadaran bahwa dari semua yang fana ini ada sesuatu yang kekal dan abadi. Setiap orang pasti bertemu dengan kekuatan ini, sehingga dalam sepanjang sejarah hidupnya pasti ada hal yang membawa dirinya menyadari bahwa kekuatan ini nyata dan ada.

Kekuatan apakah itu?
Itulah pribadi Tuhan, yang sering kali diabaikan, terutama di saat kita, manusia yang diciptakan-Nya, merasa baik-baik saja tanpa Dia. Bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Di satu sisi, pemikiran ini ada benarnya, tetapi di sisi lain jika ini hanya berdasarkan pengalaman dan kesanggupan manusia, nyatanya toh ada saatnya kita mengalami suatu hal yang tidak terduga dan tiba-tiba. Di situlah, baru kesadaran itu datang. Ketika kesadaran ini datang dalam hidup kita, lebih cepat lebih baik, itu berarti kita mulai menjalani hidup dengan tubuh dan kemampuan kita sendiri yang terbatas tetapi di dalam Dia yang tidak terbatas. Itulah yang dialami oleh seorang bayi perempuan yang dilahirkan dalam keadaan buta sejak lahirnya: Frances Jane van Alstyne, atau yang lebih dikenal dengan Fanny Crosby.

Bayi perempuan ini lahir di desa Brewster, sebelah utara kota New York, Amerika Serikat, pada tanggal 24 Maret 1820. Saat berumur enam minggu, matanya buta karena demam tinggi sehingga terjadi peradangan di mata. Enam bulan kemudian ayahnya meninggal dunia, sehingga Fanny dibesarkan oleh ibu dan neneknya; keduanya menanamkan prinsip-prinsip yang mendasar dari kebenaran firman Tuhan, termasuk mengajarkan menghafal isi Alkitab. Pada saat Fanny berusia 3 tahun, dokter menyatakan bahwa dirinya mengalami kebutaan secara permanen. Namun matanya memang tidak melihat, tetapi hatinya yang dipenuhi oleh kekaguman akan Tuhan membuat Fanny dapat tetap “melihat” keindahan hidupnya. Pada usia 8 tahun, dia menulis puisinya yang pertama yang menggambarkan keadaan fisik dan kekuatan batinnya:
“It seemed intended by the blessed providence of God that I should be blind all my life, and I thank him for the dispensation. If perfect earthly sight were offered me tomorrow I would not accept it. I might not have sung hymns to the praise of God if I had been distracted by the beautiful and interesting things about me. When I get to heaven, the first face that shall ever gladden my sight will be that of my Savior.”

(terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia): “Tampaknya Tuhan dalam kehendak dan kemurahan-Nya mengizinkan aku buta seumur hidupku, dan aku bersyukur untuk hal ini. Jika aku ditawarkan penglihatan yang sempurna oleh dunia, aku tidak akan menerima Dia. Aku tidak dapat menyanyikan lagu pujian kepada Tuhan jika aku terganggu dengan banyak hal yang indah dan menarik tentang diriku. Saat aku ke surga, wajah pertama yang akan muncul dalam pandanganku adalah wajah Juru Selamatku”

Seorang penulis biografi menilai bahwa isi puisi Fanny ini menggambarkan pengaruh kuat dari orang-orang terdekat yang dia terima dalam proses tumbuh kembangnya sebagai seorang anak. Pengaruh keadaan fisiknya dan bagaimana Fanny dibesarkan dalam dasar iman yang kuat memberikan dampak yang besar. Sejak usia 10 tahun, Fanny menghafal lima pasal Alkitab setiap minggunya. Pada usia 15 tahun, Fanny dapat menghafal isi keempat kitab Injil dan kitab-kitab Pentateuch (lima kitab pertama dalam Perjanjian Lama: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan), kitab Amsal, Pengkhotbah, serta banyak pasal dari kitab Mazmur. Fanny juga mulai belajar menyanyi dari seorang guru musik. Selama delapan tahun, Fanny belajar di New York Institution for the Blind dan di situlah dia mulai menyukai lagu-lagu himne. Fanny juga belajar memainkan alat musik dan menguasai piano, harpa, gitar, dan organ, selain menyanyi. Sejak itu, Fanny menemukan panggilan hidupnya: menolong mereka yang buta untuk bisa dilihat dan “melihat” dunia. Tuhan mempertemukannya dengan beberapa orang penting sehingga panggilannya semakin tajam dan kuat.

Saat wabah kolera melanda kota New York pada bulan November 1849, Fanny memilih tetap ada di kotanya dan merawat mereka yang terkena wabah ini. Keadaan dan kelelahan melakukan semua itu memengaruhi jiwanya. Dia menyadari bahwa walaupun dikelilingi oleh orang-orang penting dari lingkungan sosial, politik, dan pendidikan, perlahan dia mulai kehilangan kasih Allah dalam hatinya. Sejak saat itu, Fanny lebih berhati-hati dengan popularitas yang mulai memasuki hidupnya. Banyak pihak yang berinisiatif untuk mempublikasikan karya-karya, sedangkan baginya itu semua sesungguhnya adalah “karya yang belum selesai”.

Selanjutnya, Fanny bertemu dengan rekan guru lain yang juga buta, Alexander van Alstyne, Jr., dan mereka kemudian menikah serta dikaruniai seorang bayi perempuan yang diberi nama Frances, seperti nama ibunya. Namun rupanya Tuhan berkehendak lain, karena tidak lama setelah lahir bayi Frances meninggal dunia saat tidur. Peristiwa ini menjadi sebuah pukulan bagi keluarga kecil Alstyne, tetapi kembali mata hati Fanny melihat hal yang lain. Peristiwa ini justru menginsipirasi terciptanya sebuah himne indah, “Safe in the Arms of Jesus” (“S’lamat di tangan Yesus”).

Fanny Crosby dikenal sebagai pekerja misi, penulis puisi/syair, maupun pencipta lagu. Sepanjang hidupnya, Fanny Crosby telah menciptakan lebih dari 8.000 himne dan nyanyian rohani (kidung pujian) yang dicetak lebih dari 100 juta kali. Fanny terus berkarya hingga akhir hidupnya dalam usia 94 tahun pada tanggal 12 Februari 1915, setelah menderita pendarahan di otak selama enam bulan. Ia dimakamkan di Mountain Grove Cemetery di Bridgeport, dekat dengan makam kerabat dan ibunya.. Di batu nisannya tertulis: “Bibi Fanny: Dia telah melakukan apa yang dapat dilakukannya; Fanny J. Crosby.”

Saat ini, apakah Anda merasa lemah dalam menjalani hidup ini? Ingatlah bahwa kekuatan hidup kita sebagai orang percaya hanyalah di dalam Kristus Yesus. Saat kita menyadari kelemahan kita, itu sesungguhnya adalah kesempatan untuk kita mengalami kekuatan yang sesungguhnya yang dikaruniakan oleh Allah kepada kita lewat iman percaya kita kepada Yesus.

2 Korintus 12:9–10,
“Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ‘Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.’ Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.”

Pertanyaan refleksi:
1. Kapan Anda terakhir kalinya mengalami keputusasaan dalam bergumul dengan kelemahan pribadi?
2. Firman Tuhan apa yang menyadarkan Anda untuk bangkit dan melihat dengan cara pandang yang berbeda?
3. Catatlah pengalaman Anda dalam buku jurnal pribadi.

Referensi:
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Fanny_Crosby

2019-10-17T11:07:17+07:00