Sekitar sebulan sebelum sahabatku menikah, melalui saat teduh Tuhan berbicara padaku untuk berani meminta seorang pasangan / teman hidup kepada Dia. Memang ini sejalan dengan apa yang sedang Ia ajarkan kepadaku sejak minggu-minggu sebelumnya, bahwa Ia adalah Bapa yang baik, dan aku harus belajar berani datang sebagai anak di hadapanNya, berani meminta dan berani berharap. Ini awalnya tidak mudah bagiku, karena latar belakang dan masa kecilku di tengah keluarga yang berkekurangan secara ekonomi, sehingga orang tuaku seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhanku sebagai anak. Namun dengan ketaatan, aku pun mulai mendoakan hal ini.
Yang mengejutkan, ternyata Tuhan semakin bukakan lewat perasaan sedih dan kehilangan yang aku alami, bahwa sebenarnya aku telah lama memiliki kepercayaan yang salah dalam alam bawah sadarku, yaitu bahwa Tuhan itu memang baik, namun kebaikanNya dalam bentuk memberikan seorang pasangan hanya terjadi pada orang lain, bukan kepada diriku. Kebaikan Tuhan padaku muncul dalam bentuk pengurapan dan kepercayaanNya dalam berbagai tanggung jawab pelayanan/pekerjaan, bukan dalam bentuk pemberian seorang pasangan hidup, karena aku melihat bahwa teman-teman di sekitarku mulai menemukan pasangan hidupnya dan menikah, sementara aku terus “tenggelam” dalam kesibukan kegiatan gereja. Parahnya lagi, paradigma yang salah ini semakin terbangun salah satunya lewat berbagai “contoh buruk” kehidupan pranikah orang-orang di sekitarku, yang rata-rata tidak lagi memprioritaskan Tuhan setelah mereka berpasangan, apalagi menikah. Ini membuat aku “malas” untuk membuka diri dalam hal hubungan dengan lawan jenis, karena aku tidak ingin mengikuti “contoh buruk” tadi. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dari beberapa pemimpin di gereja mengenai kapan aku akan menikah dan “saran-saran” mereka, baik yang bernada perjodohan maupun yang bernada menyalahkan karena aku dinilai terlalu “pemilih”, tanpa sadar membuat hatiku terganggu. Perkataan-perkataan semacam ini ternyata sedikit demi sedikit menggesek hatiku dan menjadikannya terluka, karena aku merasa “dianggap bersalah dan aneh” karena belum memiliki pasangan juga di usia menjelang 30 tahun ini.
Luka yang aku biarkan di hatiku itu telah menciptakan paradigma-paradigma yang salah, yang ternyata, membentuk diriku jadi mudah sinis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pasangan hidup. Tuhan mengingatkan bahwa seringkali aku bersikap terlalu keras kepada orang-orang yang aku layani yang sedang menjalani hubungan pranikah. Aku mudah curiga dan cenderung menghakimi mereka yang sedang membutuhkan bimbingan dalam membangun hubungan dengan pasangan. Sementara itu, aku sendiri juga menerapkan standar yang sama kerasnya kepada diriku sendiri. Aku cenderung enggan untuk membuka diri dan hatiku terhadap lawan jenis, dengan dalih bahwa aku sedang menjaga standar nilai-nilai “yang benar”, padahal sebenarnya karena luka di hatiku sendiri dan paradigmaku sendiri yang salah.
Beberapa hari setelahnya aku banyak menyendiri bersedih-sedih, Tuhan menyatakan hal lain lagi yang Ia ingin sembuhkan. Lewat kata-kata seorang teman, Tuhan membukakan bahwa di hatiku ada ketakutan tersendiri terhadap pernikahan. Ketika aku tanyakan pada Tuhan penyebabnya, Ia menyatakan lebih lanjut bahwa aku sudah lama mempunyai luka hati yang tidak disadari karena sejak dulu aku tidak pernah mendapatkan pujian untuk penampilan fisikku, khususnya dari lawan jenis. Mereka yang berkata aku cantik hanyalah ibu aku dan sahabat-sahabat dekat atau saudaraku, namun bukan para pria. Tanpa disadari, aku terdorong untuk senantiasa mengejar prestasi intelektual dan mengabaikan penampilan, karena pengalaman-pengalaman ini membuat aku merasa tidak normal, tidak cantik dan tidak berharga. Kemudian saat sahabatku yang baru menikah ini mengunjungiku dan mendoakanku, Tuhan berkata kepadaku bahwa aku diciptakan olehNya sebagai wanita yang normal, indah dan cantik. Malamnya ketika pikiran-pikiran ketakutan kembali mengganggu, aku mengalami penglihatan bahwa Tuhan berdiri di depanku dan mengijinkanku menjamah jubahNya, sehingga aku terbangun dengan keyakinan/iman bahwa Ia pasti menyembuhkanku.
Saat itu, sebenarnya aku sudah 2,5 bulan tidak mengalami menstruasi, dan diam-diam aku cemas dengan hal ini. Berkali-kali aku berdoa supaya siklus menstruasiku segera kembali normal, namun itu tidak kunjung terjadi. Malam itu, setelah penglihatan di mana aku menjamah jubah Tuhan Yesus, aku minta sahabat untuk mendoakan fungsi reproduksi tubuhku agar kembali normal. Salah satu hal yang dikatakannya ketika berdoa adalah, “Besok kamu akan mengalami menstruasi lagi..” Aku pun yakin hal itu akan terjadi, karena aku sudah menjamah jubah Yesus. Keesokan harinya saat bekerja di kantor, tiba-tiba saat ke toilet aku mendapati bahwa aku benar-benar mengalami menstruasi! Saat itu aku sungguh-sungguh senang dan ingin rasanya untuk bersorak-sorai dan melompat-lompat, menceritakan mujizat ini kepada semua orang. Aku tidak dapat berhenti tersenyum sepanjang hari itu. Yang lebih luar biasa, setelah keluar dari toilet dan merenungkan kebaikanNya sambil bekerja kembali, Tuhan berbicara dengan lembut di hatiku, “Lihat, Aku menciptakan kamu sebagai wanita normal. Kamu tidak perlu takut lagi, karena Aku sudah menjamah kamu dan menguduskan bukan hanya hatimu tapi juga seluruh tubuhmu, termasuk organ-organ kewanitaanmu. Kamu indah dan cantik, normal dan kudus, dan aku sudah menjadikan kamu baru kembali…” Inilah perkataanNya yang menjadi peneguhan tersendiri bagiku bahwa Tuhan sungguh telah menyembuhkan hatiku.
Sekarang aku tahu, aku sudah disembuhkan dan siap untuk memasuki babak baru kehidupanku, siap untuk berlari lagi mengejar panggilanNya lewat apapun yang Ia percayakan untuk kulakukan setiap hari.. ” (anonim)