/, Pre Marriage/Kompas bagi perjalanan

Kompas bagi perjalanan

Sebuah cerita kuno dari negeri Cina mengisahkan seorang pemuda yang sedang menunggang kuda dengan cepat melintasi perbukitan. Di sebuah jalan yang sempit, seorang lelaki tua muncul dan melambaikan tangan untuk menghentikannya, “Ke mana engkau hendak pergi dengan begitu tergesa-gesa?”

“Minggir!” teriak si pengendara kuda, “Perang sedang berlangsung, dan aku sedang dalam perjalanan hendak berperang dan memenangi pertempuran!”
“Bagaimana engkau tahu bahwa engkau akan menang?”
“Pedangku tajam, lenganku kuat, dan kudaku dapat berlari cepat.”
“Anak muda, pedangmu yang tajam dan lenganmu yang kuat tak ada gunanya. Begitu juga kudamu yang cepat. Perangnya ada di utara dan engkau berjalan ke selatan!”

Dalam situasi seperti ini, arah adalah segalanya. Demikian juga dengan banyak situasi lainnya dalam hidup ini. Jika cinta diumpamakan sebagai dua insan dalam sebuah perjalanan, sebuah kompas sangatlah penting. Tanpa kompas, Anda bisa memiliki segalanya, namun tanpa arah yang benar.

Dalam memupuk kasih dalam sebuah hubungan, bisa jadi kita menempuh jalan yang berbeda-beda dalam situasi yang berbeda pula. Namun, ada prinsip mendasar tertentu yang selalu sama. Kita bisa mengumpamakannya dengan titik utara sebuah kompas. Jika menemukan arah yang tepat, kita akan berjalan ke arah tujuan kita. Jika salah arah, kita menghadapi masalah, tak peduli betapa majunya kita dalam hal-hal yang lain. Inilah keenam “titik utara” yang harus dituju itu:

1. Saling menerima sebagai pribadi yang berbeda

“Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita.” (Rm. 15:7).

“Titik utara” yang pertama ini membangun semua bentuk hubungan kasih. Tanpa penerimaan, tak ada kasih yang bisa bertumbuh. Kita sering mengartikan pernikahan yang ideal sesuai pernyataan “keduanya menjadi satu daging”, yaitu “ia harus menjadi seperti saya”. Tentu saja ini berarti kita membesar-besarkan diri sendiri dan meremehkan pasangan. Ia harus rapi seperti saya, ia tak boleh pelupa karena saya bukan pelupa, ia harus memikirkan masalah secara objektif seperti saya, dan lain-lain. Usaha saling mengubah yang demikian adalah suatu tanda keangkuhan, bukan cinta. Kita pikir, kita lebih tahu banyak daripada pasangan kita. Kasih berusaha membangun (1 Kor. 8:1). Kasih tidak menghancurkan orang lain lalu “membangun” pribadi yang baru kembali berdasarkan keinginan diri sendiri. Kasih bermula dari keberadaan pasangan kita, serta membangun pasangan kita dengan cara menerima kelemahannya dan memperkokoh kekuatannya.

kepada perempuan yang berbuat zinah, Yesus berkata, “Aku pun tidak menghukum engkau.” Namun Yesus tidak berhenti di situ, Ia melanjutkan, “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Yesus menerima wanita itu, kemudian meminta suatu perubahan dalam hidupnya. Bagaimana kita tahu bahwa kita sedang mengarah pada tujuan yang benar? Ketika kita telah menerima satu sama lain sebagai pribadi yang berbeda, saat itulah kita boleh meminta perubahan.

2. Saling mengampuni kesalahan

“…saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” (Ef. 4:32)

Sambil memahami bahwa kita diciptakan berbeda, kita juga memahami bahwa kita tidak sempurna. Pengampunan adalah harga yang kita bayar untuk menebus kasih. Tanpa pengampunan, tak ada kasih yang dapat bertahan. Kata alkitabiah tentang pengampunan adalah “membiarkan pergi”. Mengampuni berarti melepaskan. Sejauh mana kita membiarkan seseorang pergi (tidak menahan-nahan kesalahannya), sebenarnya sejauh itu jugalah kita membebaskan diri kita. Dalam hubungan cinta, sejauh hubungan itu terjadi di antara dua orang yang tak sempurna, pengampunan akan selalu dibutuhkan. Mengatakan, “Saya mengampunimu” dan “Maafkan saya” menggambarkan sifat kasih yang memberi dan menerima.

Kasih tidak menyimpan kesalahan. Kasih mengalihkan kita dari berbagai kesalahan dan kecerobohan kita serta pasangan. Saat hati kita terbuka untuk saling melepaskan dan menerima pengampunan, kita sedang berjalan ke arah tujuan yang benar.

3. Saling berbagi beban

“Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” (Gal. 6:2)

Cinta adalah sebuah perjalanan, dan dua insan mengarunginya bersama-sama. Mereka menuju arah yang sama sebagai teman seperjalanan yang menyenangkan. Namun, dalam perjalanan itu mereka harus berhadapan dengan berbagai perbedaan masing-masing. Pandangan mereka mungkin berbeda, norma mereka mungkin berbenturan. Karena itu, masing-masing belajar untuk mengurangi penggunaan kata “saya”, dan memakai lebih banyak kata “kita” atau “kami”. Berbagi dalam suatu tingkat yang lebih dalam lagi adalah sasaran dari perjalanan cinta.

Kita tahu sedang berada pada jalur yang benar sewaktu kita mampu menanggalkan keraguan dan ketakutan kita terhadap satu sama lain. Kita saling menolong dalam menggendong ransel pasangan, memasak makanan dan memberikan minuman bagi pasangan yang kelelahan, membantu mempelajari peta bersama-sama, dan saling membuat perjalanan menjadi lebih mudah. Jika tidak demikian, apa gunanya seorang teman dalam perjalanan?

4.Saling mendengarkan isi hati masing-masing

”…setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata…” (Yak. 1:19)

Tak satu hubungan pun dapat bertumbuh tanpa kedua pihak bersedia untuk saling mendengarkan. Kita mungkin berpikir bahwa kita memahami apa yang sedang dikatakan pasangan, tetapi apakah benar demikian? Kita perlu mendengarkan berbagai perasaan di balik kata-kata yang keluar. Kita perlu mendengarkan sampai ke dalam hatinya. Salah satu penghalang dalam mendengarkan adalah kemarahan. Oleh sebab itu, Alkitab menasihati kita agar cepat untuk mendengar, lambat untuk berbicara, dan lambat untuk marah. Dalam mengarungi perjalanan cinta, tak mungkin salah satu pihak bisa berbicara tanpa mau mendengarkan. “Titik utara” dari kompas ini mengarahkan kita pada teman seperjalanan kita. Apakah kita mendengarkan langkah kaki, detak jantung, dan segala sesuatu yang tersimpan di balik kata-katanya?

5.Saling menundukkan diri di bawah pimpinan Allah

“Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.” (Ef. 5:21)

Saat dua orang dengan temperamen keras bertemu, penundukan diri menjadi suatu masalah. Dalam Alkitab dituliskan bahwa istri diperintahkan untuk tunduk kepada suaminya. Ia harus menghormati suaminya. Ia mungkin tidak setuju dengan suaminya, namun ia tetap harus menghormati kedudukan pria sebagai suaminya dan tunduk kepada keputusan suaminya itu. Pria mempunyai hak untuk membuat keputusan akhir, tetapi hak ini disertai dengan satu syarat: ia harus memutuskan bukan untuk kepentingannya pribadi, tetapi bagi kebaikan orang yang dikasihinya. Penundukan diri yang alkitabiah adalah pria melaksanakan kepemimpinan yang sifatnya melayani dan wanita menunjukan penundukan diri kepada seorang yang ia tahu akan bertindak demi kepentingannya sebagai prioritas yang terutama. Inilah aplikasi kasih, yang tidak mencari keuntungan sendiri.

“Titik utara” ini mengarahkan dua orang dalam perjalanan cinta kepada suatu kedaulatan yang lebih tinggi, agar keduanya menundukkan diri.

6. Saling mengikat diri untuk selamanya

“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatuakn Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mrk. 10:7-9)

Pernikahan adalah komitmen seumur hidup. Sebuah hubungan yang dimeteraikan melalui pernikahan berlaku untuk seumur hidup. Komitmen itu tak bersyarat dan berlaku untuk selamanya, termasuk jika keadaan telah berubah dari saat komitmen itu dibuat. Perceraian tidak pernah menjadi pilihan yang disediakan Allah.

Kasih mengarahkan kita untuk membuat komitmen. Komitmen yang sekali dibuat akan melindungi kasih tersebut. Sejak saat itu, bukan lagi perasaan yang menentukan komitmen, tetapi justru komitmenlah yang mengarahkan perasaan. Saat kita saling menghormati komitmen yang kita buat terhadap satu sama lain, dapat dipastikan kita sedang berjalan menuju tujuan yang benar.

(sumber: buku “Perjalanan Cinta yang Teruji”, karya David W. F. Wong, terbitan Haggai Institute dan Gloria Graffa)

2019-10-17T15:32:55+07:00