///Kurir atau Pemberi?

Kurir atau Pemberi?

Suatu hari, saya mendapat kabar dari seorang teman yang tinggal di luar kota bahwa ia sedang mengirimkan paket makanan melalui kurir ke rumah saya. Makanan ini adalah makanan khas daerah asalnya, dan menurutnya makanan ini enak sekali sehingga ia ingin saya dan keluarga bisa menikmatinya. Tentu saja saya senang mendengar kabar ini. Hati saya terasa riang saat menanti datangnya kiriman makanan itu.

 

Ketika kurir itu tiba di depan rumah dan menyerahkan paket makanan tersebut, spontan saya mengucapkan terima kasih dengan tulus kepada sang kurir. Bahkan saking bahagianya, saya memberikan tip tambahan kepada sang kurir, karena berpikir saya telah mendapatkan makanan enak secara gratis. Setelah itu, barulah saya juga mengirimkan ucapan terima kasih kepada teman saya, yang mengirim paket makanan tersebut. Tentu, selanjutnya saya segera membuka paket dan langsung menikmati kiriman makanan itu.

 

Namun sambil saya menikmati makanan yang memang lezat itu, sebuah pertanyaan muncul dalam hati saya. Sesungguhnya, saya harus lebih berterima kasih kepada siapa? Kepada si kurir atau kepada teman saya sang pemberi? Betul, saya tertolong oleh kurir atas jasanya mengantarkan makanan, tetapi dalam hal ini saya sebenarnya harus lebih berterima kasih kepada teman saya, yang memberikan makanan itu; bukan justru meluapkan rasa terima kasih dan kegembiraan yang sebesar-besarnya kepada kurir, yang “sekadar” mengirimkan. Teman sayalah sebenarnya sang pemberi dan sumbernya; kurir itu hanyalah pengirimnya.

 

Pertanyaan ini membawa saya merenungkan sikap kita semua dalam menghadapi berkat Tuhan yang kita terima selama ini. Sering kali, kita lebih menghormati dan berterima kasih kepada para “kurir” pembawa berkat itu: atasan di kantor, pemimpin di gereja, teman, saudara, pelanggan dalam bisnis kita, atau siapa pun yang kita anggap pemberi berkat; padahal sesungguhnya mereka adalah pengirim berkat saja. Tuhanlah pemberi berkat yang sesungguhnya, dan kepada Dialah kita perlu bersyukur dan bersukacita sebesar-besarnya. Tuhan memang bisa memakai siapa dan bahkan apa saja untuk “mengantarkan” berkat, tetapi tentu tetap Dialah Sang Sumber berkat itu. Sayangnya, kita yang menerima berkat kerap tanpa sadar mengagungkan pihak-pihak yang mengirimkan atau menyalurkan berkat, dan lupa mengagungkan Sang Sumber berkat itu.

 

Mari kembali ke pengertian yang benar. Ketika kita diberi kesehatan, kondisi keuangan, prestasi kerja maupun studi, ketenteraman hati, hubungan dengan keluarga dan orang-orang terkasih, komunitas seiman, yang semuanya baik bagi kita, itu semua datangnya dari Tuhan Sang Pemberi. Daripada-Nyalah segala kebaikan dan berkat itu berasal, bukan dari manusia. Manusia lain hanyalah kurir atau pengirim atau perantara, bukan sang pemberi. Tuhanlah yang patut menerima segala ucapan syukur kita, patut kita agungkan dan muliakan atas setiap berkat yang kita terima. Bahkan, kita patut bersyukur pula karena Tuhan memakai banyak orang menyatakan berkat-Nya bagi kita, lalu berdoa agar kita pun menjadi pribadi yang Tuhan pakai menjadi “kurir” berkat Tuhan bagi banyak orang.

 

Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran. – Yakobus 1:17

Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku!

Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! – Mazmur 103:1-2.

2020-09-26T16:19:43+07:00