//Lewat Tengah Malam

Lewat Tengah Malam

Berat rasanya. Ketakutan yang telah lama membayangi hatiku itu akan segera mendatangiku. Akhirnya tiba juga saatnya aku harus bertemu kembali dengan dia yang sosoknya menakutkanku…

Dia sebenarnya kakakku. Kakak kandungku sendiri, kembaranku. Dulu sekali, bertahun-tahun lalu, saat usia kami masih sama-sama belia, aku membuatnya murka. Kutipu Ayah dengan bantuan Ibu, hingga Ayah mengiraku dia lalu memberkatiku dengan berkat yang semestinya dipersiapkan untuk dia sebagai si sulung dalam keluarga kami. Ayah memang sudah rabun dan kondisi kesehatannya jauh dari baik saat itu. Penglihatannya yang kabur membuatnya tak menyadari bahwa anak di hadapannya itu aku, bukan kakakku. Aku menutupi lenganku dan leherku dengan lapisan kulit binatang berbulu supaya mirip kulit kakakku yang berbulu lebat. Kubawa pula sup daging domba kesukaan Ayah, yang sebenarnya dimasak oleh Ibu dari salah satu hewan ternak kami, karena itulah sajian yang biasa dibawakan Kakak untuk Ayah sepulang dia berburu.

Hari itu, Ayah meminta kakakku pergi menangkap domba buruan lalu menyajikan sup itu, untuk kemudian secara khusus berdoa memberkati Kakak dengan berkat istimewa. Ini memang sudah dipersiapkan Ayah untuk dilakukannya menjelang tutup usia. Ibuku, yang kebetulan mendengar permintaan Ayah itu, cepat-cepat menyuruhku bersiap-siap menyamar sebagai Kakak lalu memasak sup domba. Sebelum Kakak pulang dari berburu, taktik kami selesai dan aku mendatangi ayahku sebagai “kakakku”. Berhasil. Meski sempat bertanya, Ayah akhirnya percaya dan memberkatiku. Di hadapan Tuhan, berkat istimewa sang anak sulung itu tercurah atasku, si anak bungsu. Lalu demi memuluskan taktik ini, aku pun menipu Kakak. Dia yang baru pulang berburu tergiur dengan harumnya sup kacang merah yang sengaja kumasak, lalu tanpa sepenuhnya menyadari seriusnya transaksi itu, menukarkan hak kesulungannya dengan semangkuk sup kacang merah yang nikmat itu. Maka, terjadilah semuanya. Kakak murka, Ayah sadar telah tertipu, berkat kesulungan yang telah diberikan tak dapat dibatalkan, dan aku pergi dari rumah sebagai pelarian.

Aku, si penipu yang menjadi pelarian, pun tinggal di rumah seorang pamanku dari pihak Ibu. Lama tak kudengar lagi kabar dari rumahku, dan aku tak mampu membayangkan prahara yang kutinggalkan di tengah-tengah keluargaku akibat perbuatanku itu. Yang kutahu pasti, kakakku seorang pemberang, dan murkanya adalah sesuatu yang patut dihindari. Apa daya, aku telanjur melukai dan mencurangi dirinya. Aku pantas dimurkai olehnya.

Kini, kudengar bahwa Kakak sedang berada di sekitar daerah ini, bersama dengan rombongannya. Segalanya berbeda pada diri kami sekarang. Aku dan kakakku sama-sama telah berkeluarga dan sukses dalam bidang usaha masing-masing. Kami memiliki keluarga yang sejahtera, kekayaan melimpah, dan banyak pekerja. Kami bukan lagi dua anak kembar berusia belia seperti dulu; tetapi ketakutanku terhadap Kakak tetap sama.

Besok, pertemuan itu tak dapat lagi kuhindari. Telah kucoba menundanya dengan berbagai cara. Telah pula kuusahakan untuk melunakkan hati kakakku dengan berbagai pemberian yang kukirim melalui utusan-utusanku. Bahkan, aku telah berdoa dengan jujur di hadapan Tuhan, supaya Tuhan meloloskanku dari kakakku. Namun, malam ini tiba juga, dan esok pagi akan segera datang, lalu aku harus bertemu dia.

Baru saja beberapa menit yang lalu aku selesai menyeberangkan seluruh keluargaku dan segala milikku lebih dulu. Aku berencana untuk menghabiskan malam ini sendirian saja, untuk menyiapkan mental sebelum pertemuan esok. Di tepi sungai sisi sini, aku, sang pengusaha hewan ternak yang sukses dan kaya raya, kepala keluarga yang dihormati dan dikasihi, kembali menjadi si anak bungsu yang ketakutan menghadapi murka kakak sulungku. Tak ada gunanya aku berpura-pura berani; hanya ada aku dan Tuhan di sini.

Malam makin gelap, hawa makin dingin, ancaman bahaya makin merundung seluruh pikiranku… Tunggu dulu, siapa itu? Seorang pria tegap yang tak kukenal tampak berjalan ke arahku. Tanpa sempat kukenali wajahnya, dia langsung menyerangku! Hah! Orang suruhan kakakku-kah ini?!? Baik. Aku memang ketakutan, tetapi aku tak akan begitu mudahnya menyerah…

Plak! Bak, buk! Ah! Hhh… Uhh!

… … …

Tanpa terasa, awan telah bergeser jauh dan sinar bulan mulai tampak menipis… Malam bukan saja telah larut, tetapi justru hampir berganti menjadi pagi! Sekilas teringat kembali olehku bahwa aku akan segera menghadapi murka kakakku, tetapi aku tak rela melepaskan penyerangku ini. Sekian jam kami baku hantam, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Seenaknya saja dia berusaha melumpuhkanku tanpa kupahami alasannya! Setidaknya, aku harus mendapatkan sesuatu darinya, karena pastilah ada sesuatu yang berharga yang membuatnya begitu bersikeras untuk menundukkanku…

Buk!

… … …

Aduh! Otot pangkal pahaku terpukul! Aku terjatuh! Rupanya saat aku sedikit kehilangan fokus tadi, penyerangku mengambil kesempatan untuk menjatuhkanku. Samar-samar dalam kesakitan, kulihat fajar menyingsing. Terang datang, dan kurasakan udara hangat menyapu wajahku. Kulihat penyerangku lebih jelas; wajahnya bercahaya, seperti terangnya fajar. Saat dia akhirnya beranjak untuk pergi, kutahan dirinya. Kutegaskan bahwa dia harus memberikan sesuatu yang berharga kepadaku sebelum pergi. Kutanyakan namanya. Dia mau tak memberitahukan namanya, tetapi dia lalu menyampaikan ucapan berkat yang terdengar janggal bagiku, “Namamu bukan lagi Yakub. Namamu kini Israel, karena kau telah bergumul melawan Allah, dan kau menang.” Tepat saat itu, kusadari bahwa itu Tuhan!

Terpincang-pincang, aku berjalan sambil mencerna pengalamanku barusan. Tuhan yang tadi muncul sebagai sosok penyerangku itu tak tampak lagi. Anehnya, ketakutanku soal bertemu kakakku kembali telah hilang. Sirna sama sekali. Aku telah bertemu dengan Tuhan dan nyawaku selamat! Dia bahkan telah memberkatiku dengan kemenangan dan jati diri yang baru. Kegelapan malam boleh saja mengungkungku tanpa kutahu akhirnya, tetapi aku tahu asalkan aku bergumul melewatinya dengan Tuhan, aku akan baik-baik saja dan terang itu akan datang.

Aku kini siap. Kuseberangi sungai dengan kemenangan di dalam diriku. Akan kujumpai kakakku tanpa ketakutan, karena aku telah melewati pergumulan dengan Tuhan di sepanjang malam. Kujalani hari yang baru ini di dalam terang, sebagai diriku yang baru. Malam telah berlalu, pergumulan telah kutaklukkan, dan apa pun yang menungguku di depan sana, aku siap.

 

*Adaptasi bebas dari kisah pergumulan Yakub dengan Tuhan, Kejadian 32

2021-01-27T11:05:04+07:00