Pada bulan Juni ini, kita memasuki masa liburan sekolah. Biasanya, tiap tahun banyak keluarga sudah mempersiapkan perjalanan liburan mereka jauh-jauh hari sejak sebelum masa liburan, dan perusahaan-perusahaan jasa wisata maupun maskapai penerbangan juga sudah menjual habis paket perjalanan serta tiket. Namun, bulan Juni tahun ini rupanya masih sama dengan bulan Juni tahun lalu. Pandemi belum usai, kegiatan dan aktivitas masyarakat belum kembali normal sepenuhnya, banyak tempat masih ditutup, bahkan negara-negara tertentu masih membatasi akses masuk warga negara asing ke wilayahnya. Alhasil, meskipun masa liburan sekolah tiba, libur kali ini tetap tak tiba bagi kebanyakan orang.
Sebenarnya, saya cukup penasaran terhadap tanggapan anak-anak usia sekolah terhadap hal ini. Apakah mereka rela tidak menikmati keseruan berwisata pada masa liburan setelah setahun menyelesaikan kewajiban belajar mereka? Ternyata, saya menemukan bahwa pada kebanyakan anak sekolah, libur yang tak kunjung tiba tidak menjadi masalah yang terlalu mengganggu mereka. Kesadaran anak-anak rupanya cukup tinggi untuk tetap tinggal di rumah dan menikmati waktu dengan apa yang dapat dilakukan di rumah demi tujuan menjaga kesehatan bersama. Apalagi, orang-orang dewasa pun diarahkan oleh pemerintah untuk tetap tinggal di rumah, dan ini terjadi pada kebanyakan orang juga di seluruh dunia. Libur tak kunjung tiba menjadi suatu kondisi yang “menimpa” banyak sekali orang di mana-mana. Dalam kesadaran bersama, ada ketangguhan muncul pada diri anak-anak usia sekolah untuk menerima serta menikmati saja masa liburan yang masih belum normal ini.
Mengamati fenomena ini, saya jadi belajar tentang kehidupan dalam sebuah komunitas. Jika kita hidup di dalam komunitas yang memiliki pola hidup tertentu secara bersama-sama, kita pun cenderung untuk mudah memiliki kesadaran serta menjalankan pola hidup itu. Sebagai murid Kristus, inilah yang menjadi sasaran kita dalam hidup berkomunitas: kesadaran untuk hidup dan bergerak bersama senantiasa dalam visi Allah Bapa. Visi Allah Bapa adalah setiap orang datang kepada Kristus, percaya kepada-Nya, dan menerima kehidupan kekal. Sayangnya, banyak dari kita, orang-orang Kristen, tahu tentang visi Allah Bapa tetapi masih kesulitan untuk menjalankan dan hidup di dalam visi itu senantiasa.
Visi Allah Bapa terdengar sederhana, tetapi memang sulit dihidupi jika kita hidup sendiri di luar komunitas sesama anak-anak-Nya. Hanya di dalam komunitas anak-anak Allah-lah, kita bisa melihat cara hidup di dalam visi itu dan mengalami pola kebiasaan saling menguatkan dan menolong dalam menjalani cara hidup itu. Tanpa komunitas seperti ini, kita akan kembali lagi hidup dengan visi kita sendiri, meski kita tahu tentang visi Allah Bapa. Ketika saya melihat teman-teman di dalam komunitas seiman mengalami berbagai terobosan hidup dan makin teguh dalam iman akan visi Allah Bapa, saya pun dikuatkan untuk tetap teguh berjalan dalam visi Allah Bapa itu, dalam konteks dan bidang saya sendiri yang unik. Saya jadi merasa tidak sendirian dalam menjalani visi Allah Bapa itu, sehingga rela untuk terus hidup di dalamnya. Hal ini serupa dengan kondisi kita di tengah-tengah pandemi yang belum berakhir, yaitu banyak dari kita bisa menerima libur yang tetap tidak tiba karena melihat hal yang sama juga terjadi di seluruh dunia.
Mari mulai dan terus hidup di dalam komunitas anak-anak Bapa, agar kita bersama-sama saling mengerti, dikuatkan, dan ditolong untuk hidup menjalani visi Allah Bapa. Hanya dengan cara inilah kita akan terus didorong, digerakkan, dan diarahkan untuk gerak visi Allah Bapa itu melalui konteks dan bidang kita masing-masing. Kasih Allah bukan seperti pandemi; kasih Allah tidak pernah berakhir dan visi-Nya tetap sama bagi manusia, yaitu supaya sebanyak mungkin orang diselamatkan.
“Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman.”
– Yohanes 6:40