“Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal…” (2 Timotius 4:5a)
Penguasaan diri merupakan karakter yang sangat diperlukan oleh setiap orang dalam kehidupan. Tanpa penguasaan diri, banyak sikap dan tindakan menjadi tak terkontrol sehingga mengakibatkan kerugian dan kegagalan. Sebaliknya, penguasaan diri membuat kita mampu berpikir lebih matang, bersikap lebih tenang, dan bertindak lebih hati-hati. Penguasaan diri ialah fondasi bagi pengembangan karakter lainnya.
Kondisi diri yang emosional sering kali memengaruhi sikap penguasaan diri kita. Dalam kondisi emosional, kita cenderung berikap impulsif dan reaktif, sehingga sulit mengendalikan diri. Kita akan kehilangan pertimbangan dan akal sehat, lalu terjebak dan didorong oleh naluri, emosi, bahkan nafsu. Sikap dan tindakan seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut biasanya tidak bertahan lama, dan suatu ketika membawa kerugian bahkan kehancuran.
Penguasaan diri dapat dilatih dan dibangun melalui latihan dan sikap disiplin dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Kita tidak akan kehilangan peluang, tidak akan terjebak dalam kondisi emosional, dan tetap aman dalam pengendalian diri yang baik jika tetap bersikap waspada dan peka terhadap kesadaran nurani. Penguasaan diri meminimalkan resiko kegagalan dan menghindarkan kita dari tindakan yang ceroboh.
Singkatnya, mengapa kita perlu memiliki penguasaan diri?
- Kita cenderung bereaksi spontan (bersikap reaktif), yaitu bertindak dulu baru berpikir.
- Kita lebih senang bersikap semaunya, yang dapat menimbulkan kerugian, daripada bertindak tertib melalui penguasaan diri sehingga kerugian dapat dicegah.
- Kita perlu penguasaan diri sebagai suatu latihan iman dan dasar bagi pengembangan karakter lainnya.
Dalam hal apa saja kita bisa membangun penguasaan diri?
- Menguasai diri dalam perkataan
Pepatah berkata bahwa kata-kata adalah doa. Hal ini selaras dengan Firman Tuhan dalam Amsal 12:21, “Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.” Kata-kata memang mudah sekali diucapkan, tetapi sekali terucap tak akan pernah bisa ditarik kembali. Setiap kata yang keluar ibarat sebuah doa yang terucap, entah baik atau buruk. Waktu akan mewujudkan doa dari kata-kata itu menjadi kenyataan, seperti yang tertulis dalam ayat di atas; siapa yang menggemakannya atau mengucapkannya akan memakan buahnya, yaitu buah dari perkataan kita. Inilah perlunya menguasai diri dalam perkataan kita. Kita harus berpikir sebelum berkata-kata supaya kata-kata kita adalah kata-kata yang membangun, memotivasi, meneguhkan, menguatkan, dan memberkati; sehingga setiap orang yang mendengarnya beroleh berkat dari perkataan kita. Kolose 4:6 menjelaskannya, “Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” Jika kita tidak bisa menguasai diri dalam perkataan, kata-kata kita cenderung melukai hati orang lain. Ketika kita menyadari bahwa kata-kata kita telah melukai, kita bisa saja meminta maaf, tetapi maaf tidak menarik kembali kata-kata kita. Oleh sebab itu, marilah kita menguasai diri dalam perkataan kita.
- Menguasai diri dalam keinginan dan perbuatan
Tuhan menciptakan manusia dengan kehendak bebas. Namun, ingatlah bahwa manusia bebas dalam keinginan apa pun tetapi tidak bebas dalam menerima konsekuensi dari keinginannya itu. Karena itu, kita harus menguasai diri dalam kehendak kita supaya apa yang kita inginkan adalah keinginan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, lalu mendatangkan kebaikan dan menjadi berkat bagi sesama. Semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia (1 Yoh. 2:16).
Keinginan daging termasuk keinginan makan yang berlebihan. Sering kali kita mendapati dalam acara-acara pesta, banyak makanan tersisa dalam piring-piring kotor tanpa dihabiskan sementara masih banyak tamu yang mengantre dan belum mendapatkan makanan. Keinginan untuk makan banyak dan mencicipi semua yang tersedia membuat pengendalian diri hilang, padahal tubuh kita tak sanggup menghabiskan makanan itu. Pada situasi lain, kadang kita menginginkan makanaan-makanan enak padahal makanan itu tidak baik untuk kesehatan. Kita pun mengesampingkan risiko jika kita memakannya, seperti kolesterol, darah tinggi, diabetes dan sebagainya, demi tetap menikmati makanan enak itu. Di satu sisi kita berdoa kepada Tuhan meminta kesehatan yang baik, tetapi di sisi yang lain kita tidak menguasai diri terhadap keinginan makan dengan tetap memakan makanan yang tidak sehat.
Keinginan mata adalah keinginan-keinginan dosa yang timbul oleh karena melihat. Kalau sesudah melihat sesuatu tidak timbul keinginan dosa apa pun, ini hanya melihat biasa dan tidak termasuk keinginan mata. Namun jika setelah melihat sesuatu kemudian timbul dorongan untuk berpikir dosa dari dalam hati, apalagi pikiran itu disetujui dan diwujudkan dalam perbuatan dosa, inilah keinginan mata yang dimaksud di Alkitab. Keinginan mata membawa dosa, di pikiran lalu di perbuatan. Dosa dalam pikiran yang tidak terlatih dalam pengendalian diri akan terus direnungkan, lalu berkembang hingga akhirnya membawa dosa perbuatan.
Keangkuhan hidup adalah kesombongan, yaitu merasa lebih hebat dari yang lain dan gila hormat. Keangkuhan memandang orang lain rendah dan tidak menghargai orang lain. Ini termasuk keinginan untuk dipuji dan tidak mau kalah, yang pada dasarnya perlu dikendalikan.
“Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” (Amsal 16:32)