Alkisah di tanah Israel, ada suatu masa ketika hampir seluruh negeri mengalami kekeringan, sebab telah lebih dari dua tahun hujan tak kunjung turun. Bahkan, setetes air embun di pagi hari pun tidak pernah didapati saat itu.
Pada suatu hari ketika itu, langit cerah tak berawan dan panas matahari begitu terik seakan membakar kulit. Dekat pintu gerbang kota, terlihat seorang wanita yang amat kurus dan lesu sedang mengumpulkan ranting-ranting kayu yang berjatuhan dari pepohonan yang sudah mengering. Daerah Sarfat, kampung tempat wanita itu tinggal, merupakan wilayah yang paling parah terdampak oleh cuaca panas dan kering saat itu, sehingga dia memang telah lesu karena pupus pengharapan menantikan air hujan. Dia pun tak tahu lagi bagaimana dia dan anaknya akan hidup esok harinya. Rupanya, dia janda miskin yang hidup bersama seorang anak laki-lakinya. Keadaan janda di Sarfat itu memang sangatlah sulit. Memenuhi kebutuhan sehari-harinya bahkan sebelum musim kering melanda itu pun sulit, apalagi dengan deraan bencana kekeringan itu; rasa-rasanya mustahil untuk dapat bertahan hidup lebih lama lagi.
Di rumah si janda Sarfat serta anaknya, hanya ada sedikit sisa bahan makanan untuk menopang hidup mereka berdua hari itu saja. Pikirnya, “Ah… cukuplah kucari di dekat-dekat sini dua tiga potong kayu bakar untuk membuat roti hari ini. Masih ada segenggam tepung dan sedikit minyak. Setelah itu, terpaksa kutemani anakku menahan lapar dan menanti kematian tiba… Tak ada lagi sumber makanan yang bisa kutuju untuk melanjutkan kehidupan kami.”
Di sela-sela langkahnya berjalan sambil tertunduk mengais mencari potongan kayu bakar, terdengar langkah kaki seseorang mendekatinya. Sesaat kemudian didengarnya suara seorang pria memanggilnya. Janda itu menegakkan kepala dan tubuhnya untuk melihat sosok pria itu, dan dilihatnya pria itu tersenyum sambil berkata, “Ibu, bisa tolong berikan sedikit air minum untuk saya?” Spontan, si janda itu mengangguk dan berbalik ke rumahnya untuk mengambilkan air minum. Namun, belum lagi tiba di pintu rumahnya, pria itu melanjutkan permintaannya, “Ibu, tolong bawakan juga sedikit roti, ya.”
Mendengar permintaan itu, si janda berhenti berjalan. Dengan sisa kekuatannya dia menjawab lirih, “Pak… Demi TUHAN yang hidup, Allah yang disembah oleh Bapak, saya bersumpah saya tak punya roti. Saya hanya mempunyai segenggam tepung dan sedikit minyak di dalam simpanan. Ini pun saya sedang mengumpulkan kayu bakar untuk memasak bahan yang sedikit itu, membuat roti yang terakhir untuk saya dan anak saya. Setelah makanan terakhir itu nanti, kami akan menunggu mati saja. Saya tak punya apa-apa untuk menjadi makanan Bapak…”
Tanpa diketahuinya, pria yang datang dengan permintaan tragi situ adalah nabi penting bernama Elia. Asalnya dari Tisbe, suatu kota di wilayah Gilead di Israel. Elialah nabi pemimpin umat TUHAN di bangsa itu, yang sungguh-sungguh berdoa supaya hujan tidak turun selama 3 tahun dan 6 bulan.
Tanggapan Elia saat mendengar jawaban janda itu adalah Firman Tuhan baginya, “Jangan khawatir, Bu! Silakan Ibu membuat makanan untuk Ibu dan anak Ibu, tapi sebelum itu buatlah dahulu satu roti kecil dari tepung dan minyak itu, dan bawalah ke sini untuk saya. Sebab TUHAN, Allah yang disembah orang Israel, mengatakan bahwa tempayan Ibu itu akan selalu berisi tepung, dan buli-buli Ibu itu akan selalu berisi minyak, tak ada habisnya, sampai pada saat TUHAN mengirim hujan ke bumi.”
Hati janda itu berespons dengan percaya. Tanpa menaruh curiga atau keraguan sama sekali, meski Elia adalah pria asing yang sebelumnya tak pernah dijumpainya, janda itu segera pergi dan berbuat seperti arahan Elia.
Benarlah perkataan Tuhan melalui nabi-Nya. Elia makan roti buatan si janda, dia tinggal di rumah janda itu untuk beberapa waktu lamanya, dan tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang. Semuanya persis seperti yang Tuhan katakan melalui Nabi Elia, setelah janda itu taat melakukannya. Kehidupan pun berlanjut bagi janda itu dan anak lelakinya.
Namun, tidak berselang lama, tiba-tiba anak janda itu jatuh sakit. Dalam waktu singkat kondisinya semakin parah hingga akhirnya meninggal. Dalam keadaan ditinggal oleh anak satu-satunya yang dia sangat kasihi, yang kehidupannya telah “tersambung” oleh jaminan Tuhan setiap hari, janda itu sangat menderita dan terpukul. Sambil terisak dia bertanya kepada Elia, “Pak hamba Allah, mengapa Bapak melakukan hal ini terhadap saya? Apakah Bapak sebenarnya datang untuk menyebabkan Allah ingat akan dosa saya, sehingga anak saya harus meninggal?”
Elia, yang tahu pasti bahwa Tuhan telah menghidupkan janda itu serta anaknya sejak peristiwa tepung dan minyak sebelumnya, menjawab, “Bawa anak itu kemari.” Nabi itu lalu mengambil anak itu dari ibunya dan membawanya ke ruang atas, ke kamar yang ditumpanginya selama tinggal di rumah itu. Elia membaringkan anak itu di atas tempat tidur, lalu berdoa kepada Tuhan dengan suara yang keras, “Ya TUHAN, Allahku, mengapa Engkau mendatangkan celaka ini ke atas janda ini? Dia sudah memberi tumpangan kepadaku dan sekarang Engkau membunuh anaknya!” Kemudian, tiga kali Elia menelungkupkan badannya di atas anak itu, sambil berdoa, “Ya TUHAN, Allahku, hidupkanlah kiranya anak ini!”
TUHAN mendengarkan doa Elia; anak itu mulai bernapas dan hidup kembali.
Membawa jawaban doa dari Tuhan, Elia turun dari kamarnya menggendong anak itu. Elia segera menghampiri si janda dan dan berkata, “Bu, ini anak Ibu! Dia sudah hidup kembali!”
Janda itu menjawab, “Sekarang saya tahu Bapak adalah hamba Allah dan perkataan Bapak memang benar dari TUHAN!”
Janda di Sarfat itu sebenarnya bukanlah orang Israel; dia berasal dari Sidon, pusat pemujaan dewa Baal. Orang-orang di situ ialah masyarakat kafir yang tidak memiliki pengharapan untuk kelangsungan hidup di tengah-tengah bencana kekeringan yang terjadi. Namun, Tuhan datang kepada janda itu dan menyatakan diri-Nya. Lukas 4:25-26 menyatakan bahwa Tuhan secara khusus memilih dirinya, “Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri. Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon.”
Tuhan memilih dan memakai janda kafir di Sarfat itu bukan dalam kondisi kehidupannya yang baik dan ideal, tetapi justru dalam keadaan terburuk. Tuhan menyatakan siapa diri-Nya, Tuhan berbicara kepadanya, Tuhan mengajar dia untuk taat kepada Firman-Nya, dan Tuhan menopang kehidupannya. Syukurlah, di tengah-tengah segala kelemahan dan keterbatasannya itu, si janda percaya. Imannya timbul terhadap Tuhan yang sebelumnya asing baginya, sehingga jika dibandingkan janda-janda lain yang juga kesulitan di tanah Israel dia istimewa di mata Tuhan. Tuhan memilihnya dan Tuhan bertindak atas hidupnya.
Mengamati kisah pengalaman janda di Sarfat itu mengajar kita pula betapa iman percaya berarti bagi Tuhan. Di dalam situasi mustahil dan keterbatasan yang menghimpit, bahkan kondisi hati yang “hanya” mengenal Tuhan dari cerita orang, janda itu lulus melewati ujian iman. Dia menerima dan memberi tumpangan kepada orang asing, dia menyambut perkataan Tuhan dan taat bertindak menurut perkataan Tuhan itu. Dia memberikan seluruh miliknya, atas dasar percaya kepada janji Tuhan melalui orang asing itu. Seluruh responsnya ini menunjukkan kualitas hatinya, dan membuktikan kepada kita bahwa Tuhan tepat dalam memilih dia. Iman percayanya terwujud dalam tindakan kasih dan pemberian, dan Tuhan bekerja memelihara hidupnya dan anaknya. Ketersediaan kebutuhan pokok sehari demi sehari Tuhan cukupkan untuk mereka bertiga dengan nabi-Nya yang tinggal bersama mereka, bahkan mukjizat terjadi membangkitkan dan menyembuhkan anaknya.
Tuhan mengenal hati setiap manusia, temasuk hati kita satu per satu. Kalau saja saat itu hati janda di Sarfat itu bertahan dalam kekhawatirannya sehingga memilih untuk bersikap kikir, tentu segala pekerjaan Tuhan atas kehidupannya tidak terjadi. Sangat mungkin, yang terjadi justru sesuai perkiraannya sendiri: dia dan anaknya mati kelaparan begitu saja, tanpa pernah mengenal pribadi Tuhan, dan kita pun tak punya kisah kesaksian iman yang menjadi pelajaran tentang ketaatan memberi dalam keterbatasan.
Hari ini, kita anak-anak Tuhan yang mengenal-Nya pun menghadapi ujian iman kita masing-masing. Mungkin keadaan kita tidak benar-benar sama dengan keadaan janda di Sarfat itu, tetapi kita pun punya tantangan dan keterbatasan, pernah mendengar perkataan Tuhan atas kita, serta perlu mengambil langkah respons iman secara pribadi. Jika ujian iman itu juga soal memberi dalam keterbatasan, respons apa yang akan kita berikan kepada Tuhan? Siapkah kita, meski tanpa diketahui siapa pun, taat memberi karena kita mengasihi Tuhan? Percayakah kita dengan iman di hati bahwa Tuhanlah pemilik segala sesuatu yang ada pada kita dan Dialah penjamin hidup kita?