//Multitasking

Multitasking

Seperti yang sering digembar-gemborkan di berbagai media, saya pernah memiliki paradigma bahwa multitasking adalah sebuah keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas hidup. Multitasking, yang pada intinya ialah mengerjakan beberapa hal sekaligus pada waktu yang bersamaan, disodorkan menjadi solusi cepat di tengah-tengah keterbatasan waktu pada zaman modern ini. Apalagi, bagi kita generasi terkini yang hidup di era digital, berbagai konsep dan bentuk multitasking tersaji untuk diadopsi dalam kehidupan kita sehari-hari. Hampir semua aplikasi yang kita gunakan di ponsel, misalnya, belakangan makin mudah untuk diakses dan berfungsi secara multitasking. Bisa dibilang, multitasking kini telah menjadi budaya di tengah-tengah masyarakat.

 

Namun rupanya, akhir-akhir ini saya justru menyadari bahwa multitasking sesungguhnya tidak membuat kita lebih produktif. Bahkan, multitasking berisiko dapat merusak fokus, konsentrasi, dan keterampilan berpikir seseorang. Hal ini dikonfirmasi melalui berbagai riset dan ditegaskan oleh banyak pakar ilmu saraf.

 

William Klemm, Ph.D, seorang profesor ilmu saraf dari Texas A&M University, Amerika Serikat, menjelaskannya, “Di sekolah, multitasking mengganggu pembelajaran. Di tempat kerja, multitasking mengganggu produktivitas serta meningkatkan stres dan kelelahan. Multitasking menciptakan ilusi aktivitas paralel, tetapi sebenarnya membutuhkan peralihan mental ekstra dari satu tugas ke tugas lain. Ini menguras bahan bakar glukosa yang dibutuhkan oleh otak, membuat otak kurang efisien, dan menciptakan rasa lelah.

 

Ahli saraf lainnya, Dan Levitan, pun menyatakan bahwa multitasking membuat stres, yang tampak dari peningkatan sekresi kortisol dan adrenalin. Jika diukur saat itu juga, ia menemukan bahwa IQ seseorang untuk sementara dapat turun sebanyak 10 poin selama melakukan multitasking. Studi pemindaian otak yang dilakukan Dan Levitan menunjukkan bahwa informasi baru yang masuk pada pelaku multitasking akan diproses di bagian otak yang salah dan bukan di hippocampus, tempat seharusnya informasi itu lewat untuk kemudian diingat dalam memori otak. Selanjutnya, aspek paling berbahaya ialah bahwa kebiasaan multitasking memprogram otak untuk beroperasi secara multitasking terus-menerus, hingga menciptakan kebiasaan cara berpikir yang melemahkan secara permanen.

 

Kebiasaan multitasking yang sering dilakukan juga punya dampak yang tak kalah gawatnya, yaitu pelakunya menjadi “tidak pernah sepenuhnya hadir”. Ini karena otak kita jadi terlatih untuk memiliki rentang perhatian singkat, hingga menyusutkan kapasitas memori kerja otak kita. Ini tentu sangat berbahaya bagi orang muda seperti kita, yang kemungkinan besar biasa ber-multitasking dan berada pada faase usia yang otaknya paling rentan terhadap pemrograman kebiasaan buruk hingga menjadi permanen. Berkaitan dengan hal ini, seorang pakar ilmu saraf lainnya, William Klemm, meneguhkan dengan temuannya bahwa multitasking tidak hanya berpotensi menjadi kebiasaan, tetapi juga membuat ketagihan. Banyak orang muda yang tampaknya memiliki “withdrawal syndrome” (serangkaian gejala fisik dan psikologis yang dialami oleh seseorang setelah ia berhenti atau mengurangi konsumsi zat adiktif) terhadap perilaku multitasking; contohnya, jika tidak dapat memeriksa ponsel (pesan teks, media sosial, atau apa pun) setiap beberapa menit, terus me-refresh tampilan layar ponsel saat tidak terlihat ada notifikasi baru, dan sebagainya. Berbagai notifikasi di ponsel itu mengirim sinyal ilusi bahwa penerimanya adalah orang yang cukup penting untuk dihubungi oleh orang lain. Ini menjadi afirmasi pribadi yang sangat digandrungi oleh kebanyakan pengguna ponsel usia relatif muda, yang beberapa tahun lalu melahirkan istilah “FOMO” (fear of missing out – ketakutan ketinggalan dari kabar terbaru atau pergaulan terkini).

 

Siapa orang-orang muda yang telanjur ketagihan multitasking ini? Ternyata bisa jadi itulah kita masing-masing yang membaca artikel ini, yang mungkin sedang berkuliah atau telah meniti karier atau merintis usaha, bukan hanya adik-adik kita yang masih berusia remaja. Saya sendiri pernah membaca hasil sebuah penelitian yang memantau 32 pekerja di lingkungan kerja mereka selama lima hari. Para pekerja ini lebih cenderung beristirahat sejenak dan beralih ke media sosial atau bercakap-cakap ketika mereka melakukan tugas-tugas rutin, yang agaknya cukup membosankan. Ketika mereka cukup terfokus, peralihan mereka lebih sering dilakukan ke email, tetapi kadang juga ke media sosial. Secara umum peralihan ini terjadi otomatis, tanpa disengaja atau disadari oleh pelakunya. Dalam satu hari kerja, setiap pekerja melakukan peralihan otomatis ke media sosial rata-rata 21 kali dan ke email sebanyak rata-rata 74 kali. Jika dipikirkan dengan logika yang wajar, mengapa orang perlu memeriksa media sosial sampai 21 kali sehari atau email sampai 74 kali selama satu hari kerja? Bukankah beberapa kali saja sudah cukup? Bukankah setiap kali terjadi peralihan, otak kita terpaksa membangun konsentrasi kembali? Ini membuktikan bahwa multitasking telah menjadi perilaku kompulsif (dorongan tak terkendali, ketagihan) yang memengaruhi performa para pekerja.

 

Dari pengalaman pribadi, saya pun menemukan dampak buruk dari multitasking. Saya jadi selalu sibuk. Saya tidak sepenuhnya hadir dalam setiap situasi. Lalu di tengah-tengah keriuhan kesibukan ini, saya merasa kesulitan mengalami Tuhan dalam keseharian. Kalau ini menjadi pengalaman Anda juga, coba tengok bagaimana rutinitas kita masing-masing sehari-hari. Saya juga mengajak kita semua untuk bersama-sama melatih diri berhenti melakukan multitasking, sambil mempraktikkan hidup yang berkesadaran (mindfulness practice), sehingga lebih mudah untuk mengalami Tuhan dalam keseharian.

 

Bagaimana caranya?

 

Ketika melakukan tugas rutin di kantor yang tidak membutuhkan konsentrasi tinggi, alih-alih sambil mendengar podcast materi yang memberi pengetahuan atau hiburan, saya sekarang membiasakan diri memutar lagu-lagu rohani yang membangun roh atau bahkan tidak mengonsumsi input audio/visual lainnya sama sekali. Hasilnya, saya jadi lebih terfokus dan terbiasa melibatkan Tuhan dalam tugas spesifik yang sedang saya kerjakan.

 

Ketika mencuci piring di rumah, alih-alih sambil menonton video-video dari channel favorit di YouTube, saya sekarang memilih untuk mencuci piring saja sambil berkomunikasi dengan Tuhan di dalam hati. Hasilnya, saya makin bersyukur untuk penebusan Tuhan atas dosa-dosa saya, seperti wajan kotor berminyak di tangan saya yang kemudian menjadi bersih ketika dicuci.

 

Ketika menyantap makanan pun demikian. Saya belajar untuk benar-benar memperhatikan isi piring saya. Doa saya sebelum makan menjadi spesifik atas setiap makanan di piring itu satu per satu, dengan kesadaran penuh bahwa makanan itu akan memberikan sukacita kenikmatan dan ucapan syukur sekaligus mendatangkan kesehatan bagi tubuh saya. Hasilnya, lidah saya mengecap setiap rasa yang masuk ke mulut saya dengan kesadaran penuh akan berkat dan kemurahan Tuhan.

 

Dalam praktik hidup berkesadaran ini, saya teringat bahwa Beth Moore, seorang penginjil, penulis, dan pengajar Kristen asal Amerika Serikat, pernah berkata “Langkah raksasa dalam perjalanan iman kita adalah langkah yang kita ambil ketika memutuskan bahwa Tuhan bukan hanya bagian dari hidup kita. Dia adalah pusat hidup kita.”

 

Karena sungguh, Tuhan ada dan nyata di dalam segala sesuatu dan setiap saat dalam keseharian kita. Dia bukan hanya penonton yang duduk sebagai latar belakang terhadap berjalannya hidup kita, atau sosok selingan yang kita jumpai sesempatnya dan sebentar-sebentar saja mengikuti rentang perhatian kita yang makin singkat ini. Tuhan layak dan sepantasnya menjadi fokus kita di dalam segala hal. Kita pun layak dan sepantasnya bertemu dengan-Nya senantiasa; bukan hanya kelak di surga yang kekal, tetapi juga kini di dalam kehidupan kita di bumi. Lagipula, bukankah Alkitab berkata bahwa hidup memang adalah Kristus?

2020-12-23T10:15:15+07:00