“Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam injil, karena injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis, ‘Orang benar akan hidup oleh iman.’” (Roma 1:16-17)
Firman Tuhan menyatakan bahwa orang benar hidup oleh iman. Hal ini benar; kita tidak bisa mempraktikkan kekristenan tanpa iman. Sekecil apa pun atau sesederhana apa pun perintah Tuhan, jika tidak ada iman, kita akan gagal mempraktikkannya. Itulah sebabnya, jika kita membaca Ibrani 11 tentang para pahlawan iman, selalu dikatakan bahwa oleh imanlah mereka taat. Karena iman, Nuh taat membangun bahtera. Karena iman, Abraham taat ketika dia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, Karena iman, Ishak memandang jauh ke depan lalu memberikan berkatnya kepada Yakub dan Esau sesuai penentuan Tuhan kepada mereka masing-masing. Karena iman, Yakub taat ketika hampir mati dan masih memberkati kedua anak Yusuf.
Sejarah terus berlanjut dan Alkitab terus mencatatnya. Karena iman, Yusuf menjelang matinya memberitakan keluarnya orang-orang Israel dari tanah Mesir. Karena iman orang tuanya, Musa setelah lahir disembunyikan selama tiga bulan dari para pegawai Firaun. Karena iman, Musa setelah dewasa menolak disebut anak puteri Firaun. Karena iman, Musa pun membawa umat Israel meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka Firaun. Karena iman pula, dia mengadakan Paskah dan pemercikan darah sesuai petunjuk Tuhan, supaya malaikat pembinasa anak-anak sulung jangan menyentuh mereka. Karena iman, seluruh umat Israel melintasi Laut Merah sama seperti melintasi tanah kering. Karena iman umat Israel di bawah pimpinan Yosua, runtuhlah tembok Yerikho. Karena iman, Rahab, perempuan sundal itu, tidak turut binasa bersama orang-orang durhaka.
Semuanya ini terjadi karena iman. Jika tidak ada iman pada diri kita, bukan hanya kita gagal meraih berkat, tetapi apa saja yang kita lakukan adalah dosa. Sebab, tanpa iman semua adalah dosa. Orang benar harus hidup dari iman dan bertolak dari iman kepada iman. Apa arti bertolak dari iman kepada iman? Yang dimaksud adalah perjalanan iman kita. Orang percaya harus bertolak dari iman pertama, yaitu iman keselamatan, ke iman-iman lainnya dalam proses pertumbuhan.
Pertama-tama, Allah mengaruniakan bagi kita iman keselamatan, yaitu kita percaya bahwa kita adalah orang yang sudah dibenarkan. Inilah dasar kita hidup, iman pertama yang kemudian menjadi titik awal untuk kita bertolak kepada iman-iman yang lain. Iman keselamatan berbicara tentang keyakinan kita bahwa diri kita ini telah memperoleh status orang benar, bukan karena perbuatan, tetapi karena anugerah Tuhan. Allah mengampuni seluruh dosa dari kita lahir sampai mati. Penebusan Yesus di kayu salib menjadikan kita orang benar. Semua dosa kita ditebus Kristus, bukan hanya dihapus. Di hadapan Allah, kita yang telah menerima penebusan Kristus dipandang seperti orang yang tak pernah berbuat dosa. Dengan iman ini, kita percaya perbuatan dosa tidak bisa membatalkan status kita sebagai orang benar, sekaligus percaya bahwa sebagai orang benar kita tidak lagi suka berbuat dosa, karena kita tidak hidup di dalam dosa lagi. Ini lalu membawa kita bertolak kepada iman pengudusan, yaitu iman bahwa hidup kita adalah proses kita senantiasa dikuduskan sampai akhirnya sempurna, seperti Allah adalah sempurna. Dalam proses hidup dengan status sebagai orang benar yang senantiasa dikuduskan, kita akan bertolak ke iman-iman lainnya sesuai dengan pekerjaan dan waktu Tuhan atas kita: iman pemulihan, iman kesembuhan, iman kelimpahan, dan lain-lainnya. Inilah yang disebut hidup dari iman kepada iman.
Bagaimana cara kita hidup dari iman kepada iman?
Untuk mengalami perjalanan iman yang sehat, yaitu terus-menerus bertolak dari iman kepada iman lainnya, kita harus selalu tinggal di dalam hadirat Tuhan. Inilah yang membuat Tuhan berkenan atas hidup kita, dan inilah yang sering disebut dengan istilah coram Deo. Dalam Alkitab, ada tertulis, “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, dia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia,” (Ibr. 11:6). Kita berkenan kepada Allah karena iman. Mari kita amati maksudnya.
Barangsiapa berpaling kepada Allah (artinya, mendekati Allah, menghampiri Allah, tinggal di hadirat Allah, coram Deo), dia harus percaya dua hal:
Pertama, percaya bahwa Allah ada, bukan sekadar merasa Allah ada. Banyak orang hidup berdasarkan perasaan; datang ke hadirat Allah dan tidak merasa merinding, lalu merasa bahwa Tuhan tidak hadir. Iman bukanlah perasaan semacam ini. Iman jauh melampaui perasaan manusiawi kita. Walaupun kita tidak merasakan Tuhan hadir, dengan iman, kita harus percaya bahwa Allah ada, karena demikianlah kebenarannya. Dia tinggal di dalam kita dan kita tinggal dalam Dia.
Kedua, percaya bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia. Bukankah kita sesungguhnya sudah berdekatan dengan Allah? Bukankah kita sudah ada di dalam Allah dan Allah ada di dalam kita? Mengapa kita harus mencari-cari Dia? Yang dimaksud dengan mencari Allah di sini bukan berarti Allah jauh atau tidak ada. Sebaliknya, ini berarti kita mencari tahu isi hati dan pikiran Allah dengan membangun suatu keintiman dengan Dia. Karena hati kita senantiasa dekat dengan Allah, kita terus-menerus ingin berinteraksi dengan-Nya. Inilah maksudnya. Ketika kita intim dengan Bapa, “Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu,” (Mat. 6:6). Allah memberi upah kepada kita yang mencari Dia. Upah ini adalah berkat Perjanjian Baru, yakni hidup yang berkelimpahan.
Bagaimana cara kita menjaga hidup oleh iman terus-menerus?
Supaya orang benar dapat hidup oleh iman terus-menerus, bukan hanya berjalan dengan iman dalam melakukan berbagai hal atau pada saat-saat tertentu, kita harus hidup di dalam komunitas. Di dalam komunitaslah iman kita bisa terpelihara dan terbangun, sehingga menjadi bertumbuh. Alkitab menuliskannya, “Waspadalah, hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya oleh karena dia murtad dari Allah yang hidup. Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan ‘hari ini’, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa. Karena kita telah beroleh bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula,” (Ibr. 3:12-14).
Komunitas mendorong pertumbuhan iman kita karena di dalamnya kita ditolong untuk menjaga hati kita supaya jangan menjadi jahat, supaya jangan pada akhirnya kita murtad dan tidak percaya kepada Allah. Bagaimana mekanisme menjaga hati dan saling mendorong dalam pertumbuhan iman ini terjadi di dalam komunitas? Caranya ialah dengan saling menasihati setiap hari (terus-menerus), supaya hati kita masing-masing jangan menjadi tegar/keras karena tipu daya dosa.
Sebenarnya, kata “menasihati” di sini berasal dari kata “parakaleo”, yang berasal dari akar kata yang sama dengan kata “parakletos”, yaitu salah satu gelar bagi Roh Kudus. Artinya adalah “penghibur” atau “penolong”. Rupanya, peran Roh Kudus sebagai Penghibur dan Penolong akan kita rasakan jika kita bersama-sama saling menasihati di dalam komunitas! Ini menjelaskan ayat lainnya yang berkata bahwa Tuhan hadir di tengah-tengah setiap dua-tiga orang yang berkumpul di dalam nama Yesus. Di dalam komunitas seperti inilah, Roh Kudus hadir dan memakai kita masing-masing setiap hari untuk saling menasihati, saling menghibur, saling menegur, saling mengingatkan, saling membangun, saling menguatkan, dan saling menjaga. Alhasil, iman kita terus-menerus bertumbuh dan terpelihara sampai kedatangan Tuhan.
Mari, bersama-sama di dalam komunitas, kita bertolak dari iman kepada iman dan hidup oleh iman terus-menerus. Haleluya!