///Pak Ragil Jatuh

Pak Ragil Jatuh

Pagi itu tak akan pernah terlupakan oleh Esti… Matanya masih memandangi ujung gang rumahnya setelah mengantar Pak Ragil yang mengayuh sepeda hingga perlahan menghilang. Kejadian yang terjadi kira-kira 20 menit sebelumnya terasa begitu membekas indah di hatinya, bagaikan menikmati semangkuk bakso yang lezat dengan racikan bumbu-bumbu pelengkap yang pas. Ya, bakso dan Pak Ragil memang identik, dan Esti tahu, hal yang baru terjadi itu akan membekas indah untuk seumur hidupnya.

 

Pak Ragil ialah pedagang bakso langganan Esti yang biasa berjalan keliling selama belasan tahun kiprahnya, yang juga pernah menjadi pedagang langganan almarhum bapak dan ibu Esti. Bakso yang dijualnya dua macam: bakso halus dan bakso kasar (bakso urat); yang juga dilengkapi tahu bakso dan kuah kaldu dari kaki sapi. Citarasa bakso Pak Ragil benar-benar “ngangeni”, membuat para pelanggannya teringat selalu dan ingin menikmatinya lagi. Beberapa waktu lalu, karena sakit ginjal dan asam urat, Pak Ragil sempat “istirahat” dari berjualan dan berobat di kampungnya, Wonogiri – pusat pedagang bakso. Nama Pak Ragil yang sebenarnya Esti juga tidak tahu, tetapi orang-orang biasa memanggilnya Pak Ragil. “Ragil” sendiri berarti anak bungsu dalam bahasa Jawa; mungkin Pak Ragil memang anak bungsu di dalam keluarganya. Sejak kembali ke Jakarta setelah mulai pulih dari sakitnya, Pak Ragil tidak lagi berjualan bakso dengan berjalan keliling. Gerobaknya sekarang “parkir” di depan sebuah minimarket yang lokasinya agak jauh dari rumah Esti, sehingga sudah cukup lama Esti tidak mudah lagi menikmati bakso Pak Ragil. Kadang saat Esti mencoba mendatangi tempatnya berjualan, Pak Ragil justru ternyata tidak berjualan karena (lagi-lagi) sakit…

 

Pagi itu, sehabis berolahraga jalan pagi bersama Djoko suaminya, dari jauh Esti sudah mengenali sosok Pak Ragil. Badannya tinggi besar dan khas. Bagi Esti Pak Ragil sebenarnya cocok menjadi pak lurah, karena postur tubuhnya yang tinggi besar dan wajahnya yang bersih. Bagi orang-orang Jawa, sosok yang demikian itu “bagus”, rupawan, hangat dan memancarkan kebaikan. Pak Ragil juga selalu memakai topi. “Eh, itu Pak Ragil…! Tumben, dia pagi-pagi kok ada di sini… Mana gerobak baksonya?” celoteh Esti tanpa menunggu jawaban apa pun dari Djoko, suaminya.

 

Sebenarnya Djoko juga melihat Pak Ragil. Pedagang bakso itu sedang berdiri di depan pintu rumah tetangga di belakang gang rumah Esti. Tanpa ragu, Esti menyapa dengan penuh semangat, “Pak Ragil! Wah, pripun kabare…?” (terjemahan: “Pak Ragil! Wah, bagaimana kabarnya?”) Senyum tipis di wajah Pak Ragil menyertai jawabannya, “Niki, Mbak Esti… Alhamdulillah sae, mung kulo niki bar loro. Penyakit lawas kulo kumat, Mbak….” (terjemahan: “Ini, Mbak Esti… Alhamdulillah, kabar saya baik, tetapi saya baru sembuh dari sakit. Penyakit lama saya kambuh, Mbak…”). Esti melihat ekspresi kepasrahan di wajah Pak Ragil, termasuk sorot mata yang sekilas tampak putus asa, mungkin karena kondisi fisiknya yang sakit-sakitan. Di sisi lain, terlihat juga tekad yang tak goyah untuk terus berjuang demi penghidupannya pada diri Pak Ragil. Hati Esti tersentuh mendengar dan mengamati semuanya itu.

Percakapan mereka pun berlanjut…

 

Biasane ketemu Pak Ragil teng pasar, nggih… lha niki sejak pageblug kulo pun jarang teng pasar, Pak.” (terjemahan: “Biasanya saya ketemu Pak Ragil di pasar, ya… sekarang sejak pandemi saya sudah jarang ke pasar, Pak.”) Esti coba bercerita mengabarkan kondisinya sendiri. Pak Ragil mendengarkan sambil mengambil pembayaran pesanan bakso si empunya rumah yang didatanginya itu.

 

Setelah menerima pembayarannya, Pak Ragil berjalan bersama Esti dan Djoko ke arah gang rumah mereka. Rupanya Pak Ragil pagi itu naik sepeda, yang diparkirnya di ujung gang rumah Esti. Tanpa ditanya, Pak Ragil menjelaskan, “Niki lho, Mbak… Motor kulo pun rusak, mboten saget mlaku, dadi niki kulo numpak sepeda, teng pasar nggih numpak niki mawon. Lha awak kulo niki pun mboten sehat, nanging kulo kudu pados duit kangge urip ben dino ne…” (terjemahan: Begini, Mbak… Motor saya sudah rusak, sudah tak bisa berfungsi lagi, maka saya sekarang naik sepeda, ke pasar juga naik sepeda ini. Habis bagaimana, badan say aini tidak sehat, tapi saya harus mencari uang untuk hidup setiap harinya…”) Suara Pak Ragil terdengar agak tercekat. Tanpa sadar, Esti juga tercekat melihat sepeda mini tua yang ditumpangi badan besar Pak Ragil itu. Kehabisan kata-kata rasanya. Namun, akhirnya mulutnya berbicara perlahan, “Ati-ati nggih, Pak… Alon-alon mawon…” (terjemahan: “Hati-hati ya, Pak… Pelan-pelan saja…”).

 

Kelihatannya, Pak Ragil sungkan untuk mendahului Djoko dan Esti. Justru sebaliknya, dia terus mengajak berbicara sambil mengayuh sepedanya lambat-lambat. Ceritanya mengalir seputar kondisi sepinya dagangan sejak pandemi dan bagaimana sekarang dia bertahan untuk tetap berjualan bakso dibantu istrinya, termasuk soal penghasilan mereka yang pas untuk kehidupan sehari-hari.

 

Tiba-tiba, sepeda Pak Ragil oleng ke kiri dan menabrak pintu pagar tetangga depan rumah Esti. Kelihatannya keseimbangan badannya yang melemah dan juga kondisinya yang tidak begitu sehat membuat Pak Ragil hilang keseimbangan. Peristiwa itu terjadi dengan cepat dan terlihat sederhana, tetapi akibatnya ternyata cukup gawat. Mata kaki Pak Ragil langsung bengkak dan ada luka terbuka di jari manis kaki kirinya. Djoko dan Esti kaget. Bukan hanya karena peristiwa itu menimbulkan bunyi kegaduhan yang cukup keras pada pagi hari sementara suasana gang itu masih sepi, tetapi juga karena suara kesakitan dari mulut Pak Ragil terdengar jelas.

 

Dengan sigap, Djoko langsung mengajak Pak Ragil untuk masuk ke rumah, “Pak Ragil sebaiknya masuk ke rumah dulu. Saya ambilkan arak gosok saja, karena mata kakinya bengkak.” Sungkan tetapi juga kesakitan, akhirnya Pak Ragil menuruti ajakan Djoko, yang segera keluar dengan sebotol arak gosok dan kapas di tangannya. Digulungnya sendiri ujung celana panjang Pak Ragil dan dioleskannya arak gosok yang sudah dituang di kapas. Sekilas, Esti melihat jari manis kaki kiri Pak Ragil yang terluka mengeluarkan darah. “Owalah, Pak… lha niku driji ne metu getihe. Sediluk kulo obati, ngggih…” (terjemahan: “Ya ampun, Pak… Itu jarinya berdarah. Sebentar saya obati, ya…”) Makin sungkan lagi, Pak Ragil segera menjawab, “Mboten nopo-nopo, Mbak… Pun biasa niki. Asam urat kulo nyat pun parah, dadine nek ketumbur sithik nggih koyo meniko.” (terjemahan: “Tidak apa-apa, Mbak… Sudah biasa ini. Asam urat saya memang sudah parah, jadi kalau kebentur sedikit jadinya ya seperti ini…”) Namun tanpa saling berbicara, Djoko pun sudah sepakat dengan bantuan yang ditawarkan oleh Esti. Segera diambilnya plester dan obat untuk luka. Esti tanpa ragu atau canggung langsung membalut luka di jari manis kaki Pak Ragil dengan lembut. Sepintas, dilihatnya tatapan mata Pak Ragil. Terbaca di situ campuran rasa syukur, sungkan, dan tak percaya terhadap hal-hal yang sedang Djoko dan Esti lakukan.

 

Setelah penanganan luka itu selesai, Pak Ragil berpamitan, “Mbak Esti, Mas Djoko, matur nuwun sanget, nggih…” (terjemahan: “Mbak Esti dan Mas Djoko, terima kasih banyak…”) Dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Esti. Dia langsung menyahut, “Nggih Pak, sami-sami. Kulo dongak ke nggih, Pak Ragil diparingi sehat lan kuat kaliyan Gusti Allah. Diparingi berkah lan rejeki kangge kecukupan urip. Mesti Gusti Allah paring berkahipun. Amin!” (terjemahan: “Iya Pak, sama-sama. Saya doakan ya, Pak Ragil diberikan kesehatan dan kekuatan dari Tuhan Allah. Diberikan berkat dan rejeki untuk hidup berkecukupan. Pasti Tuhan Allah memberkati. Amin!”) Doa yang spontan dan singkat itu pun langsung diaminkan oleh Pak Ragil.

Di sini, sekarang, Esti masih berdiri termangu di depan pintu pagar rumahnya setelah mengantar kepergian Pak Ragil ke ujung gang, dengan tatapan matanya yang tadi mengikuti sosok Pak Ragil dengan sepedanya sampai menghilang saat belok kiri menuju rumah kontrakannya.

Peristiwa pagi itu menjadi bahan diskusi yang menarik di antara Esti dengan Djoko. Esti bertanya kepada Djoko, “Apa yang kamu rasakan soal yang tadi?”, yang langsung dijawab oleh Djoko, “Sukacita… seperti bisa merasakan sukacita hatinya si orang Samaria yang menolong orang bukan sebangsanya itu…” Esti dengan cepat membalas, “Iya, aku bukan hanya sukacita, tapi juga terharu banget bisa ada kesempatan doain Pak Ragil. Such a precious moment… A great blessing for us to receive a joyful heart by experiencing His love!” (terjemahan: “Betapa berharganya momen itu… Sungguh  berkat yang besar bagi kita kalau kita menerima hati yang bersukacita dengan pengalaman kasih Tuhan!”)

Hati Esti terasa hangat. Seperti matanya yang kini digenangi air mata bahagia… Sukacita dan harapan terangkum dalam doa yang dia naikkan dengan segenap ketulusan hati, “Tuhan, Allah yang Mahakuasa… Jaga dan kuatkan Pak Ragil… Terima kasih untuk anugerah dan kesempatan yang Kau berikan pagi ini untuk kami mengalami sukacita dalam hati yang digerakkan oleh kasih-Mu. Nyatakan pribadi-Mu bagi Pak Ragil. Dalam nama Tuhan Yesus, aku berdoa. Amin.”

 

Matius 25:34-40

Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum?  Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.

(sebuah cerita pendek, berdasarkan kisah nyata)

 

Pertanyaan refleksi:

  1. Kapan terakhir Anda mengalami sukacita di hati ketika melakukan suatu tindakan kasih?
  2. Apa yang menjadi penghalang untuk Anda menyadari bahwa tindakan kasih itu adalah hal yang dapat dilakukan dalam keseharian?
  3. Berapa sering Anda menyadari kehadiran Tuhan di dalam kehidupan sehari-hari?
2021-04-28T10:47:08+07:00