“Ra, kamu rencananya pulang jam berapa hari ini?” tanya Dina.
“Hmm, Rencananya sih jam 6,” kata Ira yang masih serius dengan laptop di depannya.
Dina cuma tertawa sambil menggelengkan kepala. “Ra … Ra … Aku merasa lucu lho lihat kau ini! Selalu bercita-cita pulang jam sekian, tapi meleset terus ….” Ia tahu kebiasaan sahabatnya yang belakangan lebih sering pulang terlambat.
Wanita bertubuh mungil yang dikomentari itu hanya diam, sambil sesekali menimpali celoteh sahabatnya dengan senyuman.
“Betul juga kata Dina,” batin Ira. Mungkin ini karena ia juga terlalu menikmati pekerjaannya. Ia sering keluar dari kantor saat langit sudah gelap, dan itu ditambah perjalanan menuju ke rumah yang tidak pendek. Tiba di rumah selalu setelah malam cukup larut. Menariknya, Ira bahagia menjalani itu semua. Bisa dibilang, pekerjaan ini adalah jawaban Tuhan atas apa yang didoakannya sejak masih di bangku sekolah menengah dulu.
“Ra, aku prediksi kau bakal pulang malam, deh. Mending kita makan bakso malang dulu yuk di bawah, supaya tenang udah makan malam!” Dina tiba-tiba menghampiri Ira dan membuyarkan konsentrasinya.
“Makan, ya?” kata Ira sambil menarik napas. “Yuk, lah!”
***
(Di kedai bakso)
“Bang! Apa kabar?” senyum lebar Dina yang khas menyapa penjual bakso.
“Oalah! Ke mana aja toh, Mbak? Udah lama ndak kelihatan.”
“Hehehe, di sini aja kok, Bang.”
“Mau makan, Mbak?” pemuda asal Malang itu mengambil mangkuk dari susunan di raknya.
“Iya. Biasa!” kata Ira, sambil mengangkat dua jari menunjuk Dina di sebelahnya.
“Kesukaan Mbak Ira… keripik dipisah, toh? Sambelnya banyak!” abang penjual bakso menunjuk Ira.
“Kalau Mbak Dina… jangan pake tahu, terus keripiknya juga dipisah!” lanjutnya sambil mengambil satu per satu bakso dan memasukkannya di mangkuk.
“Mantap nih si Abang! Tahu aja kesukaan kita!” Ira dan Dina tersenyum lebar mengacungkan jempol.
Tak lama kemudian, Dina sudah menikmati makan malamnya. Ira sebagai pencinta pedas masih sibuk meracik makanan di piringnya, ditemani seperangkat botol saus, sambal, cuka dan kecap.
“Ra, aku boleh nanya, gak?” Dina menatap Ira serius.
“Kamu udah menemukan panggilan hidupmu, belum?” lanjutnya.
“Buset!” Ira menoleh ke arah Dina sambil meneguk minumannya, “Lagi makan bakso ngomongin panggilan hidup.”
“Iya…”
“Hmm… Begini, Din…. Aku sebenarnya gak terlalu tertarik untuk mencari-cari panggilan hidup lagi. Kayaknya itu proses penemuan yang panjang ya, yang mungkin juga gak akan pernah selesai,” kata Ira sambil menikmati suapan dari sendoknya.
Dina tampak heran mendengarnya, “Maksudmu, kamu nggak percaya gitu dengan urusan panggilan hidup?”
“Bukan. Bukan aku gak percaya, Din. Begini… Aku melihat ada banyak orang yang sibuk mencari panggilannya tetapi lupa dengan esensi yang ada di depan mata. Bagiku, lebih penting adalah kita mengerti tujuan dari setiap musim yang Tuhan kasih di hidup kita hari ini. Itulah esensinya. Kalau kita setia dengan apa yang sudah Tuhan berikan di hadapan kita ini, kita gak merasa perlu lagi mencari-cari panggilan hidup. Panggilan hidup itu akan datang menemukan kita! Artinya, lewat proses kesetiaan ini kita akan memahami sendiri panggilan hidup kita.”
Mendengar itu, Dina kemudian lebih banyak diam. Ia seperti merenungkan kalimat demi kalimat yang baru saja dikatakan Ira. Ini juga sebenarnya hal yang pernah dialami Ira beberapa tahun lalu. Lama ia berkutat di lingkar pertanyaan tersebut, tentang apa sebenarnya panggilan hidup sebenarnya, sampai sulit rasanya untuk menikmati segala peran yang sedang dijalaninya saat itu. Akhirnya, kemudian ia memutuskan untuk peka dengan apa yang menjadi kehendak Tuhan di kurun waktu yang sedang dijalaninya, dan dengan cepat berespons terhadap kehendak Tuhan itu. Segalanya jadi berbeda dalam pemahamannya. Ira jadi menikmati dan bahagia dalam menjalani segala sesuatu yang Tuhan percayakan.
Sebagai karyawan di perusahaan tempat ia bekerja saat ini misalnya, Ira sendiri tidak pernah berhenti meningkatkan kualitas dirinya dan terus berusaha memberikan kontribusi yang terbaik. Ia meyakini keberadaannya di sana adalah karena Tuhan, maka segala daya dan upaya juga dilakukannya semata-mata untuk Tuhan.
Peran lain Ira ialah sebagai kakak di rumah; ia tekun mendoakan dan mendampingi adiknya yang bertahun-tahun ini sempat “lari” dari jalan Tuhan. Doa Ira dan keluarga dijawab Tuhan 1,5 tahun yang lalu, ketika sang adik bertobat, walaupun belum mau bergabung dalam komunitas orang percaya. Ira terus berdoa, sampai di awal tahun ini secara mengejutkan adiknya itu datang kepadanya untuk meminta bantuan bergabung di dalam komunitas sel.
Peran lain yang Tuhan sedang percayakan juga kepada Ira ialah sebagai pengajar. Ira mendampingi dan memuridkan anak-anak binaannya di sebuah pemukiman marginal pada setiap akhir pekan. Ira bahagia di sana, dan anak-anak binaan itu mengalami banyak perubahan dalam hidup mereka.
Sebenarnya masih ada lagi peran-peran lainnya yang kelihatan sederhana dan tidak “wah” dalam kehidupan Ira. Dulu bahkan ia sendiri pun memandang semuanya ini sebagai sesuatu yang melelahkan dan menjemukan, karena benaknya terus mengangankan suatu panggilan hidup yang spektakuler dan gilang-gemilang, yang “sudah tentu” berbeda jauh dari segala peran yang “biasa-biasa saja” ini. Namun kini cara pandangnya jauh berubah. Ira menikmati semuanya, meski dalam beberapa hal, ada orang-orang yang meragukan dan tidak mendukung apa yang dilakukannya. Ira tahu jelas apa yang menjadi tujuan dari semua jerih lelah yang ia upayakan itu, dan ia belajar untuk terus setia di sana. Tantangannya memang selalu ada dan jalannya pun tak selalu mudah, tetapi toh itulah prosesnya untuk belajar setia.
Sementara itu, makanan di piring Dina kelihatan sudah habis, tetapi ia masih menggenggam sendoknya. Mata sahabatnya itu seperti sedang menerawang…
“Din, udah selesai makan? Yuk, kita balik ke atas,” ajak Ira.
“Yuk.”
Mereka berdua beranjak naik ke ruangan kantor untuk melanjutkan pekerjaan hari itu. Setelah perbincangan tentang panggilan hidup malam itu, Dina makin sering berdiskusi tentang kehidupan dengan Ira. Ira pun senang sekali melihat banyak perubahan di dalam diri Dina belakangan ini. Dina menjadi lebih bersemangat dalam menjalani hari-harinya; segala aktivitas dijalaninya dengan bersukacita, tanpa banyak mengeluh atau tampak kelelahan. Sepertinya hal inilah yang ditemukan Dina dalam percakapannya dengan Ira, sahabatnya. Panggilan hidup itu sudah ada dan tak perlu dicari-cari dalam wujud yang spektakuler. Prosesnya sering kali hanya membutuhkan kesetiaan pada apa yang telah Tuhan percayakan kepada kita di depan mata kita, setiap hari.