///Pelatihan Pekerja: Beban Biaya atau Investasi?

Pelatihan Pekerja: Beban Biaya atau Investasi?

Saat ini, dunia usaha bergerak begitu cepat; dan angkatan kerja yang ada belum siap mengejar perubahan. Di mana-mana di berbagai negara, kita melihat fenomena “capacity gap”, yaitu perusahaan/bisnis tidak memiliki SDM yang siap melanjutkan kinerja dan keahlian para senior yang sudah tak lagi hadir (karena pensiun atau meninggal dunia atau sebab-sebab lainnya), sehingga kinerja dan produktivitas menurun drastis. Dalam perjalanan saya selama ini memberikan pelatihan dalam format kelas, seminar, atau apa pun, memang saya menemukan bahwa banyak pemimpin kecewa dan putus asa dengan kualitas pekerja, sedangkan banyak pula di antara pemimpin-pemimpin itu tidak rela berusaha melatih pekerja (atau hanya meyakini bahwa atasan langsung dari si pekerja-lah yang bertanggung jawab untuk melatih pekerja, sedangkan perusahaan/pemimpin/departemen SDM sekadar memfasilitasi).

Pertanyaannya, apakah sikap malas dan pelit melatih pekerja masih tepat untuk kita pertahankan sebagai pemimpin? Apakah perusahaan/bisnis masih perlu melajutkan budaya “feodalisme” yang “menjajah” para pekerja sebagai pesuruh yang tetap “bodoh”, tidak terampil, dan tidak kunjung berkembang, demi agar mereka tidak berpindah ke perusahaan/bisnis pesaing? Bagaimana perusahaan/bisnis sesungguhnya memandang biaya dan waktu untuk mengembangkan SDM-nya; sebagai biaya (potensi kerugian) atau sebagai investasi (potensi keuntungan)?

Sebagian dari banyak fungsi penting seorang pemimpin di dalam pekerjaan atau bisnis ialah memengaruhi pekerja melakukan aktivitas untuk mencapai target tertentu serta mengembangkan kualitas pekerja agar mereka terampil melakukan tugas-tugas dalam upaya pencapaian tujuan itu. Dua hal yang menjadi kata kunci di sini ialah memengaruhi dan mengembangkan pekerja yang dipimpin. Namun sayangnya dalam praktik, tidak banyak pemimpin yang bersedia untuk mengembangkan pekerjanya. Banyak pemimpin justru cenderung memimpin dengan pendekatan “3M”, yaitu menyuruh + mengontrol + mengomel. Akibatnya, banyak pekerja tidak berkembang dalam berbagai hal: keterampilan kerja, paradigma dan perilaku kerja, serta kualitas kinerja

Ada banyak alasan klasik mengapa pemimpin enggan mementor, mengembangkan, atau melatih pekerjanya, antara lain:

  • “Nanti posisi saya jadi tersaingi dan terancam…” (yang berarti: “biarkan saja pekerja tetap bodoh, supaya saya tetap menikmati menjadi pemimpin mereka”)
  • “Kalau setelah dilatih mereka pindah ke perusahaan lain, kita akan rugi…” (yang berarti: “tidak perlu mengambil risiko mengeluarkan waktu, biaya, dan usaha untuk pekerja yang tidak terjamin seumur hidup berguna untuk kita”)
  • “Saya sendiri dulu juga susah payah belajar sendiri tanpa ada yang melatih…” (yang berarti: “pekerja pun harus merasakan penderitaan berat yang dulu saya alami”)

Kita pun mungkin termasuk pemimpin yang enggan atau malas mengembangkan pekerja, dengan alasan-alasan ini atau alasan lainnya. Sebenarnya, ini terjadi karena kita cenderung memandang pelatihan pekerja sebagai beban atau biaya yang merugikan bagi perusahaan/bisnis, bukan sebagai investasi yang menguntungkan. Ketahuilah bahwa tidak mengembangkan atau melatih pekerja justru merupakan kesalahan dan kerugian besar, karena kita akan kehilangan beberapa keuntungan luar biasa sebagai berikut:

 

Keuntungan bagi diri kita sebagai pemimpin:

  1. Memperoleh pekerja yang terampil dan mandiri dalam melakukan tugas-tugasnya;
  2. Tidak terikat dengan kewajiban kehadiran, karena tugas dan pekerjaan tetap berjalan lancar dengan proses delegasi kepada pekerja yang telah terlatih;
  3. Dapat berkonsentrasi pada hal-hal yang lebih penting dan strategis, karena terlepas dari kewajiban menangani dan/atau mengawasi hal-hal operasional yang lebih mendetail yang kini sudah bisa didelegasikan kepada pekerja yang telah terlatih;
  4. Mendapatkan respek dari pekerja dalam hubungan kerja saat ini, karena berinvestasi sesuatu bagi kehidupan professional pekerja;
  5. Membangun rekam jejak kualitas kepemimpinan yang baik untuk jangka panjang, karena mampu “mencetak” pekerja yang andal dan unggul.

 

Keuntungan bagi perusahaan/bisnis:

  1. Menghasilkan tenaga kerja yang ahli, terampil, dan mandiri;
  2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja;
  3. Meningkatkan kualitas kinerja dan kualitas hasil kerja;
  4. Menghemat biaya karena waktu yang terbuang akibat kesalahan-kesalahan kerja oleh pekerja yang tidak/kurang terlatih;
  5. Meningkatkan produktivitas kerja dan angka capaian penjualan dan/atau laba.

 

Nah, sambil membandingkan alasan-alasan tadi dengan keuntungan-keuntungan ini, mari kita amati pandangan para pakar di dunia kerja dan usaha.

William Craig dari Forbes menyatakan bahwa pelatihan pekerja (“mentorship”) bukanlah hal baru, tetapi kini menjadi semakin populer sebagai cara untuk membangun rekam jejak yang baik, menciptakan hubungan jangka panjang yang produktif, dan mentransfer keterampilan kerja secara praktis. Demikian pula, ia meyakini bahwa melatih pekerja bukan hanya baik untuk keuntungan perusahaan/bisnis kita saat ini, tetapi juga untuk keberlangsungan usaha dalam jangka panjang sampai masa depan. Semua orang ahli dalam perusahaan/bisnis kita tidak akan tetap ada selamanya. Ketika mereka tidak lagi bersama kita, yang menggantikan adalah para pekerja yang dilatih oleh mereka itu. Seberapa siap para pekerja untuk mengambil peran para ahli itu ketika waktunya tiba tergantung pada pelatihan yang dilakukan oleh para ahli sejak saat ini. Jika mereka tidak segera siap, terjadilah yang disebut dengan “capacity gap”. Sudah seharusnya setiap pemimpin melakukan pelatihan dan pengembangan pekerja, apalagi ini bisa dilakukan sambil melakukan pekerjaan/bisnis itu sendiri sehari-hari. Sebagai hasil sampingannya, pelatihan membuat pekerja merasa lebih betah dalam lebih aman dalam peran kerjanya, sehingga tidak terpicu untuk segera mencari-cari lingkungan kerja yang lain. (Six Learning And Development Trends To Embrace For Maximum ROI, William Craig, https://www.forbes.com/sites/williamcraig/2019/04/23/six-learning-and-development-trends-to-embrace-for-maximum-roi/#1349a1e8993f, 23 April 2019)

Contoh lain yang menunjukkan pandangan yang mendukung pentingnya pelatihan pekerja oleh pemimpin ialah budaya pengembangan SDM yang diterapkan oleh perusahaan General Electric (GE). GE memiliki sebuah program unik, “mid-career leadership program”, yang pada intinya berkisar pada pertumbuhan talent pool (perhatian khusus dan kesempatan bagi sekelompok pekerja yang paling potensial), perluasan skill set (diversifikasi dan pengembangan keterampilan kerja), serta peringkasan promotion cycle (pekerja dari tingkat jabatan bawah menjadi lebih cepat dan mudah untuk naik ke tingkat jabatan yang lebih tinggi, jika memang terbukti potensial dan tepat). Melalui mid-career leadership program, misalnya, GE bisa saja merekrut seseorang dari kalangan militer Angkatan Udara, dengan keterampilan dan pengalamannya, untuk dipersiapkan menjadi manajer, khususnya karena orang itu belum punya pengalaman dalam dunia pekerjaan profesional atau bisnis. Dalam mid-career leadership program, selama 1.5 tahun pertama orang itu dilatih secara khusus oleh pemimpin senior yang tepat, misalnya Sales Leader yang sudah berpengalaman lama dan dibimbing dalam lapangan kerja; lalu selama 1 tahun berikutnya ia dirotasi untuk belajar tentang pengembangan produk di bawah pelatihan pemimpin di bidang produksi; lalu dilatih khusus sebagai pemimpin operasional; dan seterusnya. Di sepanjang program ini, ia akan mendapat masukan secara konsisten tentang perkembangannya dan bagaimana menutup capacity gap yang mungkin akan terjadi. 3 tahun kemudian, jika orang itu lulus dari seluruh rangkaian mid-career leadership program ini, ia bisa langsung ditempatkan pada posisi manajer atau bahkan lebih tinggi lagi.

McGinnis, seorang penulis ternama di Amerika Serikat, berkata, “There is no more noble occupation in the world than to assist another human being – to help someone succeed.” (Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia di dunia selain membimbing orang lain, yaitu membantu mereka untuk meraih sukses.) Dan perkataan ini sungguh tepat. Alkitab pun meneguhkannya: ketika Anda menabur hal baik kepada pekerja Anda, Anda juga akan menuai buah yang baik dari produktivitas mereka.

“Orang yang kikir tergesa-gesa mengejar harta, dan tidak mengetahui ia akan mengalami kekurangan.” –  Amsal 28:22

“Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” Lukas 6:38

Selamat menabur dan menuai!

2019-09-27T10:27:06+07:00