Akhir-akhir ini, khususnya sejak pandemi yang menghentikan sementara aktivitas harian di mana-mana, banyak orang kembali ke sesuatu yang sudah lama ditinggalkan sebelumnya: bertani. Sebagian melakukannya sebagai hobi yang bermanfaat, sebagian lain demi mendapatkan kualitas nutrisi yang maksimum, sebagian lain ikut-ikutan supaya dianggap “kekinian”, sementara sebagian lainnya lagi menimba ilmu sekaligus membantu penghidupan para petani tradisional. Menariknya, tren bertani ini juga turut melanda kalangan kaum muda di berbagai negara. Mungkin termasuk kita masing-masing.
Bertani. Bercocok tanam. Berkebun. Semuanya mirip-mirip saja pada prinsipnya. Polanya tetap: menabur atau menanam benih, lalu memelihara atau merawat tumbuhannya dengan asupan air, sinar matahari, dan pupuk yang tepat, lalu menuai atau memanen hasilnya; apa pun jenis tanamannya.
Saya sendiri bukan petani, juga bukan orang yang sedang mulai mengikuti tren bertani ini. Namun, saya mengamati kemiripan bertani dengan situasi kita di seluruh dunia saat ini.
Konon, setiap tanaman secara alamiah memiliki musimnya masing-masing. Setidaknya, sebagian besar tanaman demikian. Jarang ada tanaman yang bisa ditanam, bertumbuh baik dan subur, lalu produktif serta siap dipanen pada segala musim, tanpa rekayasa di luar pola alamiahnya. Sebagai penikmat hasilnya saja, saya hanya hafal musim buah-buahan tertentu: duku menjelang pergantian tahun, rambutan di sekitar saat pergantian tahun, dan nanas setelah musim rambutan berlalu. Buah-buahan yang tidak sedang mengalami musimnya sulit ditemukan di pasaran, dan wajar saja bahwa saya mustahil membeli rambutan pada pertengahan tahun, seberapa besar pun keinginan saya. Pertumbuhan dan produktivitas hanya dapat terjadi pada musim yang ideal.
Nah, ini pada prinsipnya sama dengan kehidupan beribadah kita… Atau, benarkah begitu?
Mari kita perhatikan musim-musim dalam kehidupan kita. Kapankah musim yang ideal untuk kita mengalami pertumbuhan dan produktivitas dalam kehidupan beribadah atau kerohanian kita? Musim ketika hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita baik-baik saja, musim ketika keinginan kita terkabul, musim ketika hal-hal menyenangkan terjadi, musim ketika kita punya uang untuk kebutuhan kita, musim ketika target-target studi atau pekerjaan kita tercapai, musim ketika Firman Tuhan yang kita baca dan dengar terasa pas untuk hati kita? Bukankah inilah musim-musim yang “menjamin” pertumbuhan dan produktivitas yang maksimum dalam kehidupan beribadah dan kerohanian kita? Tentu wajar bukan, kalau kita kurang bertumbuh dan berbuah dalam ibadah dan kerohanian di luar musim-musim yang ideal ini? Kita tentu bisa menunggu saja musim yang ideal untuk mengusahakan pertumbuhan dan produktivitas itu?
Salah.
Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. – Pengkhotbah 3:1
Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya. – Mazmur 125:5-6
Ya, memang ada musim atau waktu yang berbeda-beda, ada musim yang mudah dan ada musim yang sulit; tetapi Firman Tuhan berkata bahwa setelah perjuangan pada musim yang sulit pun akan ada hasil yang mendatangkan sukacita.
Masa yang sedang kita jalani saat ini jelas merupakan musim yang sulit. Wabah penyakit akibat virus yang belum ada penangkalnya ini mengubah segalanya. Mengubah situasi interaksi antarmanusia, mengubah situasi keuangan dan pekerjaan, mengubah pola aktivitas, bahkan menjadikan kondisi mental, emosional, spiritual, dan fisik terombang-ambing oleh semua perubahan itu. Di tengah-tengah situasi yang serba tidak ideal, membosankan, dan menyesakkan ini, beribadah dan bertemu Tuhan pun jadi sulit dan tak nyaman – meski berbagai materi dan saluran-saluran daring telah tersedia untuk itu. Dan, semua ini akan terus berlangsung entah sampai kapan. Tepatkah jika kita menilai wajar bahwa kita tidak lagi bertumbuh dan produktif dalam beribadah dan kerohanian?
Salah satu bagian Firman Tuhan yang lain menyatakan kebenaran penting dalam hal ini. Bahwa ada dimensi spiritual yang tidak kelihatan di balik segala sesuatu yang kelihatan di dimensi duniawi ini, bahwa iman ialah bukti dari yang tidak kelihatan itu, serta bahwa kita yang telah menerima kebenaran Injil hidup oleh iman (baca: 2 Kor. 4:17-18; Ibr. 11:1; Roma 1:16-17). Segala usaha baik dalam hal apa pun yang kita kerjakan saat ini, di tengah-tengah ketidaknyamanan atau bahkan kesulitan, ialah ladang ibadah atau ladang rohani yang tak terlihat, yang harus kita kerjakan dengan iman serta untuk Tuhan. Ibadah pribadi kita kepada Tuhan, relasi kita dengan keluarga dan sesama lainnya, studi dan pekerjaan kita, keuangan kita, urusan-urusan di rumah kita, menolong dan memberi kepada sesama yang membutuhkan, bahkan hal-hal “remeh” seperti aktivitas ke luar rumah karena suatu keperluan, semuanya ini ladang kita masing-masing. Mungkin kita seperti banyak warga dunia saat ini dan seperti yang digambarkan dalam mazmur tadi; kita sedang menabur benih dan mengerjakan ladang sambil menangis mencucurkan air mata, dan hasilnya sama sekali belum kelihatan; tetapi yakinlah, kita akan menuai, membawa pulang berkas-berkas hasil yang melimpah dengan bersorak-sorai!
Mari mengalami Firman Tuhan tentang menabur dan menuai ini. Bagaimana caranya? Jadilah petani segala musim; bukan petani yang ngotot menanam salah satu tanaman saja sambil diam saja menunggu musim yang ideal untuk mengerjakan ladangnya. Berfokuslah bukan pada beratnya penderitaan atau hasil yang belum kelihatan; tetapi berfokuslah untuk setia dan giat menabur. Lakukan segala sesuatunya dengan iman. Entah benih taburan kita itu berupa “tanaman” pertumbuhan rohani kita, pemulihan hubungan yang rusak, kebangkitan ekonomi dan keuangan, memperkenalkan Kristus kepada sahabat-sahabat yang belum mengenal-Nya, kesehatan fisik dan kesembuhan dari penyakit, sukacita dan harapan dalam kehidupan, atau apa pun, segalanya ialah ladang kita masing-masing. Jangan diamkan tanahnya, jangan biarkan benih membusuk tanpa ditabur, jangan rusak pertumbuhan tanaman kita dengan persungutan atau perilaku negatif, dan jangan lelah berharap, mengerjakan, serta mendoakan yang baik di dalam usaha kita. Kalau kita ingin menuai atau memanen hasil yang manis dan berlimpah, kerjakan ladang yang tidak kelihatan itu dengan setia dan giat, karena Tuhan sendiri juga sedang mengerjakan bagian-Nya. Percayalah kepada Firman-Nya: musim panen pasti datang, dan panen kita tidak akan gagal.
Secara itu jugalah Abraham percaya kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran. Jadi kamu lihat, bahwa mereka yang hidup dari iman, mereka itulah anak-anak Abraham. – Galatia 3:6-7