/, Movement News/Prinsip Latar Belakang Sejarah dan Budaya

Prinsip Latar Belakang Sejarah dan Budaya

Pada build! edisi bulan lalu, kita sudah membahas mengenai prinsip kedua, yaitu prinsip gramatika atau tata bahasa dalam menafsirkan Alkitab. Selanjutnya, selain memperhatikan perbedaan bahasa penulisan dengan bahasa yang kita gunakan, demikian pula kita perlu memperhatikan perbedaan latar belakang sejarah dan budaya penulisan dengan konteks kita saat ini. Mengabaikan atau tidak mempelajarinya bisa mengakibatkan keliru atau salah menangkap maksud sebenarnya dari penulis Alkitab. Oleh karenanya, kita pun perlu belajar mengenai latar belakang sejarah dan budaya ketika menggali kalimat-kalimat dalam Alkitab. Prinsip yang ketiga dan terakhir dalam penafsiran Alkitab ini perlu juga mendapat perhatian, supaya kita dapat menafsir sesuai dengan maksud sebenarnya dari penulis Alkitab.

 

Untuk lebih memahaminya, mari kita lihat beberapa contoh berikut:

Contoh pertama: makna “akar pahit”

Ibrani 12:15: “Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang.”

Mungkin kita pernah membaca ayat ini dan berpikir (artinya, menafsir) bahwa akar pahit di sini adalah hati yang penuh kepahitan. Padahal, frasa akar pahit ini diambil atau dikutip dari Ulangan 29:18. Mengingat surat Ibrani ini ditujukan kepada pembaca pertama di kalangan orang-orang Kristen Yahudi, penulisnya menggunakan suatu frasa yang sudah dikenal oleh para pembaca sasarannya. Frasa ini sebenarnya merupakan suatu istilah yang dipakai Musa dalam kitab Taurat, dalam hal ini kitab Ulangan, untuk menggambarkan seseorang yang menyimpang dari kebenaran Firman Tuhan sehingga akan menjadi sesat dan penyembah berhala. (e-Sword: Treasury of Scriptural Knowledge Cross References; Jamieson-Fausset and Brown Commentary; Albert Barnes’ Notes on the Bible)

Dengan demikian, maksud akar pahit dalam Ibrani 12:15 adalah meninggalkan kasih karunia Allah (kebenaran dalam Injil), yang akan berakibat pembenaran diri/penyembahan berhala (penyesatan) dan bahkan juga akan menular/menyesatkan banyak orang. Ayat ini merupakan suatu peringatan agar kita tidak membiarkan akar pahit ini pada diri kita dan di antara kita.

Dari contoh pertama ini, kita melihat pentingnya mencari tahu latar belakang sejarah/budaya dari suatu frasa/kalimat dalam Alkitab, dengan memeriksa apakah frasa/kalimat itu pernah dipakai dalam Perjanjian Lama dan apa konteksnya.

 

Contoh kedua: makna konsep “selamat setelah mengaku dan percaya”

Membaca perkataan Paulus dalam Roma 10:9, apa maksud kalimat “…mengaku dengan mulutmu…, …dan percaya dalam hatimumaka kamu akan diselamatkan”? Ini bukan berarti asalkan mulut kita mengaku bahwa hati kita percaya kepada Yesus lalu kita pasti diselamatkan begitu saja dari hukuman dan konsekuensi dosa (seperti pemahaman banyak orang). Maksud sebenarnya bukanlah hanya mengaku dan percaya saja, tetapi harus disertai dengan ketaatan!

Hal ini dapat kita ketahui dengan membandingkan tulisan Paulus dalam Roma 10:6-9 itu dengan ayat sumber referensinya dalam Perjanjian Lama, karena memang Paulus mengutip perkataan Musa dalam Ulangan 30:12-14 (kita dapat melihat informasi sumber dan/atau referensi ini dari bagian catatan kaki dalam Alkitab terbitan LAI – lihat foto). Perbandingan seperti ini juga disebut sebagai prinsip penafsiran konteks jauh.

 

Contoh ketiga: makna “otoritas untuk mengikat dan melepaskan”

Matius 18:18: “Aku berkata kepadamu: ‘Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di surga.’” Mungkin kita pernah menganggap (menafsir) ayat ini sebagai suatu otoritas yang diberikan Tuhan kepada orang percaya untuk mengikat kuasa kegelapan dan melepaskan berkat atau hal-hal yang baik dalam doa-doa kita.

Makna sebenarnya adalah otoritas untuk menyatakan/menghakimi apa yang salah dan apa yang benar (dalam konteks Mat. 18:18, ini adalah atas dosa yang diperbuat saudara seiman), yang diberikan kepada kepada para rasul sebagai perluasan dari otoritas yang diberikan terlebih dulu kepada Rasul Petrus dalam Matius 16:19. Hal ini terbukti dalam praktiknya oleh para rasul sejak zaman kekristenan mula-mula, yang dapat kita lihat di Kisah Para Rasul 15:23-31, 1 Korintus 5:4-5, dan 2 Korintus 2:10.

Dari sisi latar belakang sejarah dan budaya Yahudi, perkataan Yesus ini sebenarnya adalah sebuah kalimat yang biasa diucapkan para rabi Yahudi dari golongan Shammei dan golongan Hillel, Maksud intinya ialah otoritas yang diberikan kepada para rabi yang telah lulus dari sekolah rabi, untuk menyatakan sesuatu hal itu dilarang/haram/najis/dosa (“terikat”) atau dibebaskan/diizinkan/halal/kudus/aman (“terlepas”). (John Gill’s Commentary on Matthew 16:19)

Melalui ketiga contoh ini, jelaslah bahwa kita sebenarnya dapat mengetahui latar belakang sejarah dan budaya sebuah frasa atau kalimat yang ditulis di dalam Alkitab, dengan alat-alat bantu yang tersedia, misalnya: ensiklopedia Alkitab, kamus Alkitab, buku-buku pengantar PL dan PB, materi survei PL dan PB, atlas Alkitab, program elektronik seperti SABDA, Wikipedia, e-Sword, pencarian internet, dan banyak lagi lainnya. Secara sederhana, latar belakang sejarah dan budaya bahkan dapat dengan mudah ditelusuri dari sumber/referensinya di Perjanjian Lama, dengan catatan kaki Alkitab.

Selain ketiga prinsip penafsiran umum yang telah kita pelajari: prinsip konteks, prinsip gramatika atau tata bahasa, serta prinsip latar belakang sejarah dan budaya; ada pula prinsip penafsiran khusus untuk bagian-bagian khusus dalam Alkitab. Misalnya, penafsiran sastra (untuk kitab Mazmur, Amsal, dan Kidung Agung), penafsiran narasi (untuk kitab-kitab yang berformat/bergaya penulisan cerita/kisah), dan penafsiran simbol (untuk kitab Wahyu dan bagian-bagian lain yang bersifat nubuatan).

Jika kita menafsirkan isi Alkitab yang kita baca dengan prinsip-prinsip yang telah kita pelajari ini; apalagi digabungkan dengan aspek prinsip konteks dekat dan konteks jauh serta aspek pendekatan deduktif dan induktif; pemahaman kita akan semakin akurat dan semakin efektif menolong pertumbuhan iman kita. Mari kita terus belajar melakukannya; menggali Firman dengan segenap hati (penuh kerinduan untuk menjadi pelaku Firman) dan dengan segenap akal budi (menggunakan pengetahuan yang sehat), serta terutama melakukannya dalam komunitas kecil demi proses saling mengajar dan melengkapi. Mari kita mengalami Roh Kudus yang hadir membuka pikiran kita dan membuat kita mengerti, sehingga kita menjadi pelaku Firman yang menghasilkan banyak buah (Mat. 13:23).

2020-04-22T11:34:20+07:00