//Ravi Zacharias :  Pejuang Iman yang Tangguh di Garis Depan Pertempuran

Ravi Zacharias :  Pejuang Iman yang Tangguh di Garis Depan Pertempuran

Selasa itu, tanggal 19 Mei 2020, merupakan hari ketika dunia Kristen kehilangan seorang tokoh besar. Ravi Zacharias, seorang penginjil dan ahli apologetika Kristen, berpulang ke rumah Bapa di surga di kota Atlanta, Amerika Serikat, setelah selama sekitar dua bulan bertahan dalam peperangan melawan penyakit kanker. Apologetika berasal dari kata Yunani, “apologia”, yang bermakna “pembelaan”; ahli atau pakar apologetika berarti teolog Kristen yang memiliki spesialisasi pengetahuan, kemampuan, dan pelayanan di bidang mempertahankan/membela iman Kristen terhadap tentangan dan serangan terhadapnya. Makna ini membuat predikat ahli apologetika amat tepat bagi seorang Ravi Zacharias.

 

Frederick Antony Ravi Kumar Zacharias (26 Maret 1946-19 Mei 2020) adalah penginjil, ahli apologetika, pembicara, dan penulis buku Kristen. Kiprahnya di berbagai bentuk dan bidang pelayanan Kristen ini membuatnya dikenal sebagai salah satu dari segelintir saja tokoh pejuang iman yang mendunia pada era kekristenan modern saat ini. Pemikiran dan pendapatnya bahkan diterima serta disambut dalam diskusi yang melintasi berbagai bidang kehidupan dan tingkat pemerintahan secara global. Sejak tahun 1984, organisasi yang didirikan Ravi, Ravi Zacharias International Ministries (RZIM), telah melayani jutaan orang dari berbagai bangsa beserta jutaan pertanyaan mereka masing-masing, dengan misi yang singkat tetapi tegas: “Helping the thinker believe, and the believer think” (“Menolong para pemikir untuk percaya, dan menolong orang-orang percaya untuk berpikir”).

 

Melalui RZIM dan bersama timnya, Ravi berfokus untuk menginjil, mempertahankan kredibilitas iman Kristen, mengajar orang Kristen dalam disiplin rohani yang memperdalam pengenalan pribadi akan Allah, melatih orang Kristen untuk menginjil dan menjangkau mereka yang belum percaya, serta melakukan berbagai aksi kemanusiaan. Pula, ratusan cendekiawan dan pakar teologi Kristen diperlengkapi untuk menjawab berbagai pertanyaan di seluruh dunia terhadap kekristenan. Selain itu, Ravi juga menulis banyak buku, yang telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Salah satu bukunya bahkan meraih Gold Medallion Book Award, yaitu yang berjudul Can Man Live Without God? (Dapatkah Manusia Hidup tanpa Allah?). Beberapa buku lainnya yang juga laris diminati ialah Jesus among Secular Gods (Yesus di antara Allah-Allah Sekular), Light in the Shadow of Jihad (Terang dalam Bayang-Bayang Jihad), dan The Grand Weaver (Sang Pemintal Agung).

 

Ravi Zacharias lahir di Chennai, Madras, India. Ketika kecil, Ravi adalah seorang anak pemungut bola kriket di jalanan India. Ia juga sangat menggemari olahraga kriket, dan bercita-cita untuk menjadi pemain kriket dalam tim nasional India. Semasa kecil Ravi, ibunya pernah membawanya ke seorang peramal garis tangan untuk “melihat masa depan”. Dari hasil penglihatan si peramal itu terhadap guratan garis-garis di telapak tangan Ravi kecil, didapatilah bahwa “Ravi Baba tidak akan pergi ke mana-mana seumur hidup. Tidak ada pengharapan di masa depannya”. Alhasil, Ravi tumbuh sebagai seorang anak dan remaja yang rendah diri. Sebagai anak keempat di dalam keluarganya, ia tertutup oleh bayang-bayang saudaranya yang lebih berhasil daripada dia. Bahkan ayahnya sendiri pun selalu memandang remeh dirinya. Hanya ibu Ravi saja yang tulus menopangnya untuk tetap bertumbuh. Namun, tetap saja Ravi berkembang menjadi orang yang minder, malas belajar, dan tidak memiliki tujuan hidup selain bersenang-senang dengan menjahili orang dan menggeluti olahraga kriket. Selanjutnya, walaupun Ravi berhasil di olahraga favoritnya tersebut, ayahnya tetap tidak pernah mengapresiasi prestasinya.

 

Titik terendah sekaligus titik balik dalam kehidupan Ravi terjadi ketika ia mulai beranjak memasuki bangku kuliah. Ravi yang saat itu mengambil kuliah pra-kedokteran, mengalami sebuah guncangan terbesar dalam hidupnya sehingga mengambil sebuah keputusan yang mungkin terkesan sangat logis, yaitiu mengakhiri hidupnya. Ia berniat bunuh diri. Ia menyelinap ke laboratorium kimia dan mengambil beberapa botol racun untuk diteguk. Setelah meneguk seluruh isi racun tersebut, ia merasa sekujur tubuhnya panas dan kaku, lalu ditemukan dan dilarikan segera ke rumah sakit. Singkatnya, karena pertolongan yang segera itu, nyawanya tertolong dan ia harus menjalani pemulihan di rumah sakit. Di rumah sakit inilah, ia bertemu dengan Tuhan secara pribadi. Seorang direktur pelayanan Youth for Christ, Fred David, datang berkunjung dan menitipkan kepada ibu Ravi sebuah Alkitab. Melalui Alkitab ini, Ravi membaca kata-kata Yesus dalam Injil Yohanes 14:19, “…sebab Aku hidup dan kamu pun akan hidup.” Ayat Firman Tuhan ini benar-benar berbicara menusuk ke kedalaman jiwanya. Ravi pun menerima Kristus sekaligus menerima kehidupan yang baru.

 

Pengalaman pertobatan Ravi membawanya untuk melayani di organisasi Youth for Christ pula. Belajar dan melayani dilakukannya setiap hari dengan ketekunan yang baru. Ravi berubah total. Dari seorang yang malas belajar dan hidup ogah-ogahan menjadi orang yang senantiasa termotivasi untuk belajar lebih banyak dan membagikan Kristus ke sekitarnya. Selain itu, ia juga semakin rakus membaca buku, mulai dari tafsiran Alkitab, buku biografi tokoh, dan karya-karya penulis lainnya dengan berbagai genre, khususnya yang memuat pesan Injil. Dengan bimbingan Tuhan, perjalanan Ravi pun berlanjut. Ia diperkenalkan dengan dunia homiletika (ilmu berkotbah) melalui sebuah acara yang akhirnya membawanya ke panggilan dan talentanya. Ravi bertekad untuk membawa terang Kristus seumur hidupnya, dan ia pun semakin dipakai Allah dengan luar biasa.

 

Pada tahun 1966, Ravi yang saat itu berusia 20 tahun berimigrasi bersama keluarganya ke Kanada. Ia mengejar panggilan Tuhan di masa mudanya sebagai penginjil. Pada usia 37 tahun, Ravi menjadi salah satu pembicara dalam Konferensi Penginjilan International di Amsterdam, Belanda, atas undangan Billy Graham. Lucunya, saat itu ia belum mengenal nama besar Billy Graham. Namun, khutbah Ravi benar-benar memperlihatkan kredibilitas intelektual Kristennya. Setahun kemudian, setelah melalui proses perenungan pribadi yang dibahasnya bersama istrinya, Margie, ia mendirikan Ravi Zacharias International Ministries (RZIM). Rupanya, berbagai pengalaman melayani dan bertemu dengan orang-orang dari berbagai konteks dan latar belakang mencelikkan matanya akan suatu kebutuhan yang mendasar: bahwa setiap orang punya jeritan hati berupa pertanyaan-pertanyaan, yang harus dijawab dengan pasti dan jelas, dan jawaban itu ialah Kristus. Ravi juga menemukan bahwa bukan kebetulan ia terlahir di tanah yang menjadi ladang misi sekaligus tempat peristirahatan terakhir Rasul Tomas, murid Yesus sendiri yang terkenal sempat tidak percaya kebangkitan Yesus sampai mencucukkan jari ke lubang-lubang luka Yesus. Bagi Ravi, Rasul Tomas bukanlah murid yang gagal percaya, melainkan justru seorang penanya yang hebat. Rasul Tomas-lah tokoh Alkitab favoritnya. Rasul Tomas berani bertanya dan menantang, sebagai wujud kerinduannya untuk berjumpa langsung dengan pribadi Yesus yang bangkit. Itulah sebabnya, Ravi bertekad untuk memandang setiap pertanyaan dari siapa pun bukan sebagai serangan yang harus ditolak atau dihindari, melainkan sebagai jeritan hati yang harus dijawab. Dari perenungan ini, lahirlah Ravi Zacharias, sang ahli apologetika, melalui proses persiapan dan pembentukan tangan Tuhan ini.

 

Salah satu penjelasan apologetika Ravi Zacharias mengenai kebenaran iman Kristen menjadi terkenal di seluruh dunia. Ravi menyatakan suatu pandangan atau keyakinan yang koheren/padu dan benar harus mampu menjawab empat pertanyaan mendasar secara logis dan memuaskan, yaitu pertanyaan tentang asal mula segala sesuatu, tentang makna hidup, tentang moralitas atau apa yang benar dan apa yang salah, serta tentang akhir dari segalanya. Rabi menerangkan dalam berbagai forum bahwa iman Kristenlah satu-satunya yang mampu menjawab keempat-empatnya; bahwa meskipun semua agama besar membuat klaim eksklusif sebagai satu-satunya keyakinan yang benar, iman Kristen unik karena menjadi satu-satunya yang menjawab keempat pertanyaan tersebut.

 

Dalam hal penginjilan kepada orang-orang yang belum percaya, Ravi bukan hanya sibuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Tahun 1971 merupakan salah satu titik penting awal Ravi dalam melakukan penginjilan langsung. Saat itu ia diundang untuk melewatkan musim panas di Vietnam, dan di sana ia melayani dan berdoa dengan para tawanan militer di Vietnam. Kemudian, perjalanan penginjilan selanjutnya terus meluas. Ia pun memulai pelayanan di Inggris untuk menjangkau Eropa, Timur Tengah, dan menyelesaikannya di Pasifik. Dalam setahun, ia menjadi biasa berkhotbah 600 kali di berbagai negara. Penginjilan menjadi gaya hidupnya dan membawanya bertemu segala bangsa. Bahkan sampai akhir hidupnya, Ravi tetap bersemangat untuk menginjil, termasuk saat terbaring di rumah sakit karena kanker sarcoma yang langka yang menyerang bagian bawah dari tulang belakangnya lalu menyebar ke banyak bagian lain di dalam tubuhnya. Kanker itu memang terlambat ditemukan, dan akhirnya tim dokter yang merawat Ravi menyerah karena secara medis tidak ada lagi perawatan yang dapat diupayakan untuk menyembuhkan Ravi. Saat Ravi akan pulang dari rumah sakit setelah menjalani kemoterapi, ia memberitakan Injil kepada tiga orang perawat yang mengantarkannya ke dalam kendaraan. Rupanya tak ada tempat atau situasi yang tidak mendorongnya untuk ia menginjil dan bercerita tentang imannya kepada Kristus. Ini seperti yang dituliskannya setelah memasuki masa lepas dari perawatan medis, “Kisah injil adalah kisah kehidupan kekal. Hidupku ini unik dan aku akan selalu berada di hadirat Allah, karena aku ini milik-Nya. Aku tidak akan pernah ‘hilang’ atau tersesat. Aku tidak akan pernah ‘tersesat’, karena aku selalu bersama Dia yang menyelamatkan aku.”

 

Ya, dahulu hidup Ravi memang terhilang dan sesat, bahkan dalam kebodohannya maut nyaris merenggutnya, tetapi ia telah ditemukan oleh Yesus. Ia juga telah dituntun, diajar, dan dipercaya oleh Yesus menjadi anak, sahabat, dan pelayan-Nya. Ia telah dibawa Yesus ke dalam sebuah perjalanan panjang sebuah panggilan, yang dijawabnya dan yang menempanya menjadi pejuang iman yang tangguh di garis depan pertempuran rohani di akhir zaman ini. Setelah belasan tahun awal hidupnya seolah sia-sia dan tanpa arah, puluhan tahun berikutnya ia jalani dengan tekun dan setia melayani Yesus, yang telah menyelamatkan hidupnya. Pada usia 74 tahun, Ravi Zacharias akhirnya pulang untuk bertemu muka dengan Yesus yang amat dicintainya itu.

 

Di bumi, keluarga merelakan dan mengiringi berpulangnya Ravi Zacharias dengan limpahan kasih, doa, serta pengagungan kepada Tuhan. Rekan-rekan pelayanan dari berbagai negara serta orang-orang “biasa” yang telah menerima dampak pribadi dari pelayanan Ravi pun bersatu hati dalam kasih dan ucapan syukur kepada Tuhan, sekaligus doa penghiburan bagi keluarga Ravi. Ravi sendiri telah pulang untuk tinggal bersama dengan Sang Pencipta dan Sang Penyelamatnya dalam keabadian. Ia telah menyelesaikan pertandingan imannya dan mahkota kemuliaan telah menanti dengan sambutan meriah di surga sana, dengan ucapan hangat dari Yesus, “Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu; baik sekali pekerjaanmu, hai hamba-Ku yang setia.”

 

Benarlah kata pepatah, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama; kematian Ravi pun dikenang orang di seluruh dunia karena imannya yang teguh kepada Tuhan dan ketekunannya berjalan dalam panggilan. Panggilan Tuhan yang dijawab oleh Ravi membuatnya berdampak. Sungguh masa hidupnya menjadi sebuah kehidupan yang diubah dengan luar biasa, dijalani dalam kegigihan dan kesetiaan, serta diakhiri dengan keindahan dan keharuman Kristus sendiri.

2020-06-26T19:23:00+07:00