///Sang Gawai

Sang Gawai

Tak hanya orang dewasa, anak-anak kecil pun sekarang sudah mengenal, memiliki, bahkan mahir menggunakan gawai. Memang, fungsinya luar biasa bermanfaat apabila digunakan sesuai kebutuhannya. Sayangnya, tanpa disadari peranti yang semakin canggih dan mudah didapat ini sering kali telah menjadi musuh dalam keluarga. Semakin canggih dan modern, gawai semakin lengkap memiliki fitur dan aplikasi yang dapat membuat manusia “kecanduan” untuk terus menggunakannya. Yang paling sering terjadi adalah fitur aplikasi permainan dan media sosial yang dapat diakses kapan pun dan di mana pun, asal terhubung dengan internet (“dalam jaringan”, online). Bahkan saat ini ada beberapa aplikasi yang tersedia untuk dapat digunakan tanpa koneksi internet (off line).

Kebanyakan orang tua yang membekali anaknya dengan gawai di era digital saat ini cenderung bermaksud baik, misalnya untuk mempermudah komunikasi dan menolong anak mengakses informasi dari internet dengan lebih cepat dan mudah. Namun, pada kenyataannya penggunaan gawai pada anak secara tidak terkendali justru berdampak negatif pada proses tumbuh kembang si anak. Berbagai pilihan permainan daring dan media sosial menjadi aspek yang paling disoroti dampaknya bagi karakter pribadi dan proses tumbuh kembang anak. Permainan daring yang umumnya lebih sering dimainkan oleh anak laki-laki, cenderung membuat anak-anak kecanduan dan tidak berfokus pada hal lain selain permainan tersebut sehingga mereka mengabaikan pelajaran serta bahkan mulai melawan peringatan orang tuanya. Ketika asyik dengan permainan itu, anak-anak cenderung menjadi lebih merasa percaya diri, karena mereka bisa mengendalikan permainan mereka sesuka hati. Padahal sesungguhnya dalam keseharian hidup, mereka cenderung tidak merasa percaya diri. Demikian pula dengan media sosial, anak-anak bisa dengan bebas mengungkapkan apapun melalui status, sehingga mereka menjadi pribadi yang tertutup dengan orang tua tapi terbuka dalam media sosial. Karena tidak dapat mengendalikan diri dalam penggunaan media sosial, banyak terjadi peristiwa penculikan anak, pelecehan anak akibat hal-hal yang sepele, atau komunikasi berbahaya yang lebih jauh dalam dunia maya. Bahkan, pertemanan di dunia maya yang dianggap indah berlanjut hingga di dunia nyata, yang pada kenyataannya tidak seindah di dunia maya atau justru berujung pada hal-hal yang penuh risiko. Selain itu, dampak negatif dari kebebasan berekspresi melalui media social juga muncul dalam fenomena anak-anak dan bahkan juga orang dewasa yang kini menjadi semakin tidak peduli dengan sesamanya.

Beberapa pakar dan praktisi dunia anak sepakat bahwa anak-anak memiliki rasa penasaran dan ingin tahu yang lebih kuat daripada orang dewasa. Maka, jika ada barang baru yang menarik perhatian mereka dan ketika mereka mencoba dan menyukainya, mereka akan cepat sekali keranjingan dengan barang itu. Mereka jadi kurang bisa menguasai diri dan sangat kesulitan mengendalikan dorongan di dalam diri untuk terus menggunakannya. Pengaruh gawai yang demikian membuat proses tumbuh kembang anak menjadi berjalan tidak normal. Secara fisik ketidaknormalan ini mungkin tidak terlalu terlihat, karena tubuh anak tumbuh membesar dengan normal dan tubuhnya terlihat baik (walau ada juga bahaya yang mengancam beberapa bagian tubuhnya seperti mata, tulang leher, dll.). Namun, kondisi kejiwaan, mental dan cara berpikir mereka belumlah sematang tubuh fisiknya. Dengan demikian, mereka akan menjadi pribadi yang kurang percaya diri dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar, bahkan banyak juga yang bertumbuh menjadi pribadi pemberontak.

Jadi, bagaimana kita dan anak-anak kita menghadapi sang gawai ini?

Ingatlah bahwa gawai hanyalah sebuah alat, dan keputusan mengenai gawai itu sesungguhnya ada di tangan sang pemilik. Apabila sang pemilik gawai menggunakannya dengan benar, gawai menjadi alat yang berguna dalam hidupnya; tetapi apabila sang pemilik bersikap tidak dewasa dan tidak benar dalam memperlakukan gawainya, gawai itu justru akan berdampak buruk. Hal ini bukan hanya prinsip yang berlaku bagi anak-anak saja, tapi juga bagi setiap orang, termasuk orang tua dan orang dewasa lainnya.

Bagaimana dengan kita sendiri? Apakah gawai adalah alat untuk menolong kita atau anak-anak kita sesuai fungsi dan manfaatnya? Atau justru sebaliknya, gawai memperalat kita karena pilihan-pilihan yang ditawarkannya dengan menyia-nyiakan waktu, uang, bahkan kehidupan sosial kita yang normal? Lebih jauh lagi, beranikah kita bertanya jujur kepada diri sendiri dan anak-anak kita, apakah gawai membuat saya semakin dekat dengan Tuhan dan semakin bertumbuh serupa dengan Dia? Atau justru sebaliknya, gawai membuat saya bertumbuh menjadi pribadi yang semakin tidak memiliki penguasaan diri, tidak memiliki kasih, dan lebih mencintai gawai serta berbagai keseruannya daripada mencintai kebenaran firman Tuhan? Kepada siapakah kita lebih berfokus dan setia? Tuhan, atau gawai?

2019-10-17T13:19:30+07:00