//Sebuah Rahasia

Sebuah Rahasia

Namaku Dee, anak kedua dari tiga bersaudara. Aku satu-satunya perempuan di keluarga ini, karena Mama sudah dipanggil Tuhan saat dulu melahirkan adikku. Aku bersyukur tumbuh dan dibesarkan di keluarga yang hangat dan cinta Tuhan. Papa, meskipun seorang diri membesarkan ketiga anaknya, dapat aku rasakan bahwa didikannya penuh kasih sayang dan tidak membeda-bedakan kami bertiga. Papa cukup sibuk dengan pekerjaannya. Maklum, kami tinggal di pinggiran kota kecil, maka tak jarang Papa harus pergi ke luar kota untuk urusan bisnisnya.

 

Kakakku, Joon, usianya berjarak cukup jauh denganku, lima tahun. Aku selalu kagum dengannya. Pembawaannya yang tenang, dewasa, dan pintar, apalagi dengan banyaknya bakat yang dimilikinya, membuatnya disukai orang-orang. Dia juga seorang pemain musik di gereja. Kadang aku tak percaya bahwa ada orang yang bisa memaksimalkan otak kanan dan kirinya dengan baik, tetapi kulihat sendiri contohnya pada diri kakakku. Dia selalu haus untuk belajar, dan dengan mudahnya menguasai apa pun yang dipelajarinya. Dia juga selalu tak pelit mengajarkanku berbagai hal, padahal dengan penuh perjuangan pun sering kali aku tetap kesulitan untuk paham.

 

Lain halnya dengan Jimie, adikku. Ialah seseorang yang membuat aku gemas setiap harinya. Selalu menganggap seolah-olah dirinya masih kecil, padahal umurnya hanya berbeda 1,5 tahun denganku. Sifatnya yang egois dan sangat malas untuk belajar sungguh tak dapat kumengerti. Aku tahu betul bahwa sesungguhnya dia cukup cerdas, tetapi pemikirannya sendirilah yang selalu mengatakan bahwa dia tak cukup pintar. Dia selalu membandingkan dirinya dengan Joon atau aku, dan merasa bahwa Papa pilih kasih dan tak sayang padanya.

 

Hari itu, sedari pagi aku melihat bahwa Jimie panik. Dia takut karena hari inilah Papa akan pulang ke rumah setelah penerbangannya tertunda sebulan akibat pandemi Covid-19. Aku tahu bahwa hari ini dia harus mengakui segala kebohongannya di hadapan Papa, dan mengungkap kebenarannya bahwa dia gagal naik kelas. Entah berapa kali Joon ingin membantunya belajar, sama seperti apa yang dilakukannya terhadapku, tetapi Jimie selalu punya alasan untuk menunda. Pada akhirnya, aku tahu bahwa Jimie berbohong di telepon, mengabarkan kepada Papa bahwa dia baik-baik saja, termasuk situasi belajarnya di sekolah.

 

Setibanya di rumah, rasa kangen dan sayang Papa dia curahkan dengan memeluk kami satu per satu. Papa datang tepat saat jam makan malam. Dengan antusias Papa memberikan telinga untuk mendengar kabar kami. Joon memulai dengan berita bahagia yang seru, bahwa posisi barunya di pekerjaan membuat dia kewalahan dan pusing sendiri. Aku pun tak mau kalah bercerita bahwa hari Minggu kemarin aku dijadwalkan mengajar di Sekolah Minggu, dan juga dengan bersemangat memberi tahu Papa bahwa aku baru membeli cat dan kuas lukis untuk berlatih menjadi pelukis. Joon selalu meledek ketika aku bercerita ingin belajar melukis, tetapi aku tahu tatapan Papa begitu menghargai jerih payahku.

 

Lalu, tibalah saat Jimie tak dapat lagi mengelak untuk bercerita. Seolah terpojok, dia terpaksa membongkar segala kebohongan dan kegagalannya. Sayangnya, dia justru marah dan menyalahkan Papa yang terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya sampai lalai memperhatikannya. Dengan emosional, Jimie berkata bahwa Papa hanya peduli dengan kedua kakaknya. Aku yang melihat tingkah laku kekanakan Jimie jelas naik pitam, karena aku tahu betul Papa begitu care padanya, sama seperti Papa juga care padaku dan Joon. Kulihat muka Papa, terlihat jelas ekspresi sedih dan geram. Tanpa disangka-sangka, Papa membentak Jimie sangat keras. Papa marah besar! Malam itu, untuk pertama kalinya kulihat Papa semarah itu.

 

“… Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam? … Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu. … dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.” (Mat. 25:26-30)

 

Dunia mengajarkan kita hanya sebatas untuk mengasihi diri sendiri, dan tanpa sadar hal ini sering membuat kita egois. Fokus ke “aku” terlalu diagung-agungkan sehingga bila si “aku” terusik, respons salah yang timbul adalah mengasihani diri, bahkan tak jarang menyalahkan Tuhan. Ketidakpercayaan kita kepada Tuhan ditunjukkan dengan rasa tak puas akan hal-hal yang telah Tuhan berikan, bahkan kita tidak mau Tuhan hadir di dekat kita karena kita tak rela si “aku” terusik kenyamanannya.

 

Tahun ini, segala sesuatunya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dan semuanya serba terbatas. Mendengar seseorang mengalami kemajuan dalam hidupnya atau berbagai macam mukjizat terjadi di tengah situasi ini bisa saja membuat kita jatuh dalam respons yang salah, apalagi jika apa yang kita inginkan atau doakan belum terwujud. Kita pun jadi menganggap bahwa Tuhan tak sayang dan peduli kepada kita.

 

Keselamatan dan karya penebusan yang Yesus lakukan untuk kita dapat mengenal pribadi-Nya tak cukup jika hanya berhenti sampai di diri kita. Dengan menolak dan menunda untuk terus mengerjakan keselamatan-Nya, hanya berfokus ke diri sendiri, kita menjadi hamba ketiga yang mengubur satu-satunya talentanya di tanah itu, atau seorang Jimie yang selalu beralasan untuk mengasihani diri.

Padahal…

Bukankah semua yang kita miliki saat ini adalah kepercayaan dari Tuhan untuk kita usahakan?
Bukankah segala kemampuan, bahkan kesempatan, untuk menjalani setiap hobi kita adalah karunia-Nya yang diberikan untuk kita?
Bukankah Natal tak hanya bicara tentang kelahiran-Nya, tetapi kasih-Nya yang tanpa syarat untuk datang ke dunia dan menebus kita?
Bukankah Dia datang bukan hanya untuk kita ketahui nama-Nya, tetapi untuk memimpin dan menuntun hidup kita di dalam rencana-Nya yang sempurna?

 

Yesus memercayakan hidup-Nya untuk kita, dan bagian kita adalah tak hanya menerima-Nya tetapi justru mengusahakan untuk mengerjakan keselamatan-Nya. Kerajaan-Nya datang bukan hanya sebatas untuk aku, Joon, Jimie, atau kita, tetapi juga melalui kenyataan hidup kita yang menjadi kesaksian nyata agar orang-orang lain juga mengenal-Nya.

 

Hari ini, di penghujung tahun yang berbeda ini, belum terlambat untuk segera menggali kembali talenta yang terkubur di tanah dan mengusahakannya sampai Sang Raja itu datang menanyakannya dan mendapati kita telah setia.

2020-11-26T12:36:53+07:00