40 Tahun Kedua Kehidupan Musa
40 tahun kedua di dalam kehidupan Musa dibuka dengan Musa melarikan diri dari ikhtiar Firaun untuk membunuhnya. Penguasa Mesir yang awalnya merawat Musa sejak kecil bagai putranya sendiri itu kini memburu Musa karena Musa membunuh mandor Mesir yang menganiaya orang Israel. Musa membela saudara sebangsanya yang diperlakukan semena-mena, dan tidak menyesal atas perbuatannya itu. Namun, dia terpaksa lari menyelamatkan nyawanya, sementara Tuhan berdaulat menjalankan rencana-Nya di dalam kehidupan Musa.
Langkah-Langkah Iman Musa dalam Pelarian
Dalam pelariannya, sampailah Musa di tanah Midian. Secara manusiawi, pelarian itu memang terkesan hanyalah pelarian biasa, tetapi di balik semuanya itu, Musa lari karena dia mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Oleh pengenalan dan keyakinannya, Musa memiliki tekad sempurna untuk meninggalkan segala kemegahan dan kenyamanan Mesir, siap untuk menyongsong ketidakpastian karena dia lebih memilih hidup bebas sebagai umat Tuhan. Musa melepaskan segala sesuatu yang ada padanya untuk menerima yang terbaik dari Tuhan, “Dia menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar dari pada semua harta Mesir, sebab pandangannya dia arahkan kepada upah,” (Ibr. 11:26). Mengapa Musa mantap mengambil keputusan yang sedemikian besarnya? Iman. Musa tetap percaya kepada janji Allah kepada umat-Nya, dan tetap teguh memandang pada janji Allah itu, “Karena iman maka dia telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Dia bertahan sama seperti dia melihat apa yang tidak kelihatan,” (Ibr. 11:27).
Tanah Midian merupakan awal perjalanan iman Musa secara pribadi dengan Tuhan. Di Midian, tidak ada fasilitas Mesir yang memberinya kemudahan, maupun kesengsaraan saudara-saudari sebangsanya yang mengingatkannya akan jati dirinya. Di Midian, Musa berurusan secara pribadi saja dengan Tuhan.
Suatu ketika, Musa sedang duduk-duduk di tepi sebuah sumur di tanah Midian, lalu datanglah anak-anak perempuan seorang imam di Midian menimba air di sumur tersebut. Sementara mereka mengisi palungan-palungan dengan air untuk memberi minum kambing domba sang ayah, datanglah sekelompok gembala lainnya, yang mengusir mereka dan berusaha menguasai lokasi sumur itu. Kelembutan hati Musa mendorong Musa untuk bangkit membela kaum wanita tersebut dari keusilan para gembala itu. Rupanya, belas kasihan di hati Musa bagi orang yang tertindas tetap kuat. Bahkan setelah mengusir para gembala, Musa tidak segan-segan membantu perempuan-perempuan itu menimba air dan memberi minum kambing domba mereka. Betapa senangnya hati mereka mendapat pertolongan dari seorang laki-laki yang baik hati! Mereka belum pernah mengenal laki-laki asing itu, tetapi mereka menangkap pancaran kebaikan hatinya.
Setelah peristiwa itu, anak-anak perempuan itu lekas-lekas pulang ke rumah ayah mereka. Rehuel, ayah mereka, sangat bingung karena tidak biasanya anak-anak perempuannya pulang begitu cepat. Dia pun bertanya, “Mengapa selekas itu kamu pulang hari ini?” Ramailah mereka bercerita tentang kepahlawanan dan kebaikan hati Musa tadi. Senada dengan respons putri-putrinya, Rehuel menyuruh agar Musa diundang makan di rumah mereka sebagai ucapan terima kasih. Inilah salah satu buah awal iman Musa dalam perjalanannya. Dia tidak dihargai oleh bangsanya sendiri, dimusuhi oleh penguasa yang pernah menyayanginya, tetapi diberi penghargaan dan dijamu khusus di Midian, oleh penentuan Tuhan. Bahkan selanjutnya, Musa tetap diterima dan dikasihi oleh keluarga Rehuel. Dia tinggal bersama keluarga itu dan menjadi bagian dari keluarga itu, melalui pernikahannya dengan salah satu putri sang imam. Tercatat, “Musa bersedia tinggal di rumah itu, lalu diberikan Rehuel-lah Zipora, anaknya, kepada Musa. Perempuan itu melahirkan seorang anak laki-laki, maka Musa menamainya Gersom, sebab katanya: ‘Aku telah menjadi seorang pendatang di negeri asing,’” (Kel. 2:21-22).
Musa tinggal di rumah mertuanya selama 40 tahun. Dalam masa itu, Musalah satu-satunya orang yang beriman kepada Tuhan di lingkungan keluarga mertuanya di Midian (mertuanya, Rehuel, adalah imam agama kaum tradisional setempat, bukan penganut keyakinan iman kepada Tuhan), tetapi dia tetap teguh berpegang pada imannya sambil meyakini bahwa Tuhan akan menggenapi seluruh janji-Nya kepada umat-Nya. Musa setia berbuat baik, setia menjaga hatinya bersih dan penuh belas kasihan Allah, dan setia dalam imannya. Demikian pula, sepatutnyalah kita tidak menyerah dalam perjalanan iman kita, karena Tuhan pasti memberikan upah kepada kita pada waktu yang tepat.
Mengandalkan Allah yang Selalu Tepat dalam Bekerja
Setelah Musa memiliki keturunan, tibalah waktunya bagi Tuhan untuk bertindak atas umat-Nya. “Lama sesudah itu, matilah raja Mesir,” (Kel. 2:23a) dan ketika itu, bangsa Israel masih mengeluh tentang perbudakan yang mereka alami oleh Mesir. Mereka berseru-seru kepada Tuhan dalam penindasan itu. Banyak orang berpikir bahwa Allah mendengar doa mereka itu dan membebaskan mereka “hanya” karena berbelas kasihan atas penderitaan mereka yang telah terlalu memprihatinkan hati-Nya. Padahal, Tuhan tetap berdaulat di atas segala sesuatu. Tuhan bertindak menjawab seruan doa umat-Nya menurut waktu-Nya dan cara-Nya yang tepat. “Allah mendengar mereka mengerang, lalu Dia mengingat kepada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub. Maka Allah melihat orang Israel itu, dan Allah memperhatikan mereka,” (Kel. 2:24-25).
Musa, sementara itu, bekerja seperti biasa. Dia setia melakukan bagian yang seharusnya dilakukannya. Masa hidupnya di Midian kini menempanya melalui kerja keras dan kesendirian bersama Tuhan. Dulu sebelum lari ke Midian, Musa hidup di istana Mesir dengan segala kemewahannya. Menurut pendapat banyak orang, masa itulah masa keemasan Musa,; tetapi kini Musa hidup berjuang tanpa bisa mengandalkan siapa pun kecuali bergantung pada Tuhan dalam imannya, bekerja sebagai gembala kambing domba mertuanya di padang gurun. 40 tahun yang dilewatinya seperti ini menjadi masa pelatihan Tuhan untuk babak kehidupan Musa selanjutnya, yaitu memimpin bangsa Israel selama 40 tahun pula berjalan di padang gurun sambil bergantung pada Tuhan dalam iman. Tanpa masa pelatihan ini, tentu Musa tak akan sanggup menunaikan tanggung jawabnya dari Tuhan. Yang baik menurut pandangan kita ternyata belum tentu yang tepat menurut pandangan Tuhan. Musa tidak menyadarinya, tetapi Tuhan sedang bekerja melalui perjalanan imannya. Kita akan melihat buah dari pengaturan Tuhan ini di babak 40 tahun berikutnya dalam kehidupan Musa, di edisi mendatang.